Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu yang Gamang

14 Juni 2020   17:28 Diperbarui: 14 Juni 2020   17:32 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup 

Hari itu,  ku tatap Bunda.  Dengan sisa-sisa air mata, ketelusuri rupa kasih, yang sudah selama ini tercurahkan kepada anak-anaknya. Ku pasang  telinga, dengan maksud, bukan mendengarkan isak tangisnya, melainkan sekedar mendengar desah harapnya. Ku pasang mulut, bukan untuk bertanya banyak hal kepadanya, melainkan sekedar mengucapkan doa, dengan harapan Sang Bunda, dapat kembali bugar seperti sedia kala.

Bunda sudah tergeletak cukup lama. Entah berapa lama. Dalam hitungan kalender sudah hampir 3 idul fitri terlewat, dengan posisi yang tetap sama. Tergeletak di pembaringan. Entah berapa lama, bunda tergeletak. Hanya saja, gunta-ganti matahari di saban harinya, sudah teracuhkan cukup lama.

Hari-harinya, Sang Bunda hanya menatap lelangit rumah, dengan asa bisa hadirnya cahaya kemurahan Tuhan tuk kembali bisa bermain dengannya. Hari-harinya, Bunda hanya merasakan pembaringan, sebagai sandaran hidupnya.

Hilir mudik saudara, kini sudah mulai reda.  Sisanya hanya udara kamar, yang semakin hari semakin akrab dihirupnya. Kadang nyamuk menemaninya. Untuk sekedar melepas penat dan kesepiannya, alunan music kerap  hadir di telinganya, yang terpasang dan dipasangkan oleh Suami, yang terkasih selama ini.

Suatu hari, Suami tercintanya, yang juga adalah Mertuaku, pernah membawanya ke rumah sakit. Dengan cekatan, seolah berperan sebagai malaikat, dokter pun memeriksa ke sana ke mari, sambil berucap mengenai nasib tubuh-Bunda yang dianggapnya sudah mulai menuai.

Dokter memang bukan Malaikat apalagi Tuhan, tetapi ucapan dan sikapnya, kerap menjadi rujukan lebih dan  melebihi kewenangan Tuhan. "harus begini, harus begitu. Tidak boleh begini tidak boleh begitu.".

Ucapan dokter, menjadi firman, yang hampir tidak ada satu orang pun membantahnya.  Siapapun dia, dalam jabatan apapun dia, akan termangu, tertunduk dan patuh dihadapan Firman Dokter. Termasuk Mertuaku saat itu.

Ada memang gerutuan. Gerutuan dibalik ruang operasi. "Sial, memangnya dia Malaikat. Memang hidup diatur sama dia..."  Gerutuan beberapa pasien selepas konsultasi dengan dokter. "Resepnya mahal lagi...."

Dibalik ucapannya itu sendiri, hadir sebuah ketakutan. Takutan ucapan Tuhan berbaju Putih benar. Bunda sakit diabet, dan darang tinggi. Komplikasinya, membuat proses penyembuhan membutuhkan waktu dan kesabaran yang luar biasa. Dibalik gerutuannya, hadir sebuah kehawatiran, jika resep tidak ditebusnya, akan berdampak memburuknya kepada Bunda.

Sudah rahasia umum. Dalam derita ekonomi seperti apapun, dalam derita batin ketidakpuasan seperti apapun, keluarga pasien akan kembali melangkahkan kaki menuju apotek yang ditunjukkan resep. Disanalah transaksi kembali dilakukan, walau dalam hati, terdapat sisa-sisa kekesalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun