Mohon tunggu...
Firsty Ukhti Molyndi
Firsty Ukhti Molyndi Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger

Seorang blogger tuna daksa dari Palembang. Memiliki minat tulis-menulis sejak kecil. Menulis berbagai problematika sehari-hari dan menyebarkan kepedulian terhadap kaum disabilitas. Blog: www.molzania.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Tanggapan Disabilitas terkait Debat Capres Tema Inklusi

5 Februari 2024   14:23 Diperbarui: 6 Februari 2024   08:02 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya sedang memanfaatkan layanan publik untuk disabilitas di Samsat Palembang

Debat capres kelima kemarin terasa istimewa. Soalnya ketiga calon akan membahas tema kesejahteraan sosial. Salah satu sub-topik bahasannya mengenai kesejahteraan sosial dan inklusi. 

Mendengar kata-kata inklusi ini, saya sebagai penyandang disabilitas bersemangat. Dibanding topik-topik sebelumnya, saya menunggu-nunggu momen di mana saya mendengarkan gagasan ketiga para calon pemimpin negara, tentang nasib dan teman-teman saya lima tahun mendatang.

Pertanyaan yang muncul dalam debat kemarin sangat menarik. Mengenai konsesi dan penyediaan data disabilitas. 

Konsesi sendiri mengandung pengertian komitmen pemerintah dan pihak swasta untuk penyediaan infrastruktur dan layanan publik. Sementara data disabilitas penting untuk mewujudkan konsesi tersebut.

Di Indonesia, konsesi dan data disabilitas ini masih sangat kurang. Ketersediaan infrastruktur dan layanan publik disabilitas yang baik baru ada di kota-kota besar. Terutama di Jakarta.

Sementara itu di kota-kota lain, jumlahnya bisa dibilang sedikit. Bahkan banyak yang masih belum tersedia. Gak usah jauh-jauh, lihat saja di Palembang yang menjadi kota tempat tinggal saya. 

Di sini, masih banyak area yang belum aksesibel. Pun pemeliharaan sarana dan prasarana publik. Banyak yang rusak dan dibiarkan terbengkalai. Baru bergerak untuk diperbaiki, jika sudah viral.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menyoroti bahwa data disabilitas Indonesia tidaklah mencukupi. Data yang disajikan tidak komprehensif. Rasio angka disabilitas di negeri ini sangat kontras dengan prevalensi global. Di Indonesia, angka resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya berkisar 4 – 5 persen. Sementara rata-rata global mencapai 15 persen.

Menurut Pak Prabowo sebagai pembicara pertama, partainya sudah sejak awal mengusung pembentukan UU Disabilitas. Capres nomor dua tersebut sering mengirim tim-tim atlet disabilitas untuk bertanding di luar. 

Makanya dirinya berkomitmen untuk membentuk Pendidikan khusus. Sekaligus merekrut pekerja disabilitas di lingkup pemerintahan dan Kementerian Pertahanan. Termasuk berkerja sama dengan pihak-pihak luar untuk menyediakan teknologi-teknologi terbaru untuk membantu disabilitas.

Beberapa hal saya sependapat dengan Pak Prabowo. Saya berterima kasih kepada kinerja partai Gerindra dalam mewujudkan UU Disabilitas. 

Apresiasi saya juga kepada Pak Prabowo karena telah mendukung atlet-atlet disabilitas Indonesia untuk berprestasi. Sayangnya Pak Prabowo sempat kepelintir lidah saat keluar pernyataan tentang terminologi kata normal untuk mewakili non-disabilitas.

Dalam panduan gaya bahasa disabilitas, yang dikeluarkan oleh National Center on Disability and Journalism Universitas Arizona, terdapat kata-kata sensitif untuk disabilitas. 

Di antaranya menggunakan istilah normal dan tidak normal. Kata-kata ini rentan disalahartikan, malah menimbulkan kesan diskriminasi. Penggunaan kata yang tepat adalah disabilitas dan non disabilitas.

Menurut UU Disabilitas, salah satu poin yang tertera adalah menghapus diskriminasi. Upaya ini sejalan dengan langkah para aktivis menyebarkan kampanye “disability awareness”. Tujuannya agar masyarakat lebih memahami kondisi yang dihadapi kaum disabilitas. Sungguh disayangkan, jika perbandingan diskriminatif ini justru dilontarkan oleh calon pemimpin negeri.

Berikutnya tentang pendidikan khusus untuk disabilitas. Menurut saya ide tentang pendidikan khusus sudah sangat usang. Di luar negeri, tidak ada lagi istilah “sekolah khusus” tersebut. 

Di sana, non disabilitas dan disabilitas saling berbaur. Bersekolah di satu tempat yang sama, yaitu sekolah inklusi. Pemerintah memfasilitasi pengadaan sarana dan prasarana disabilitas. Tujuannya agar disabilitas bisa mendapatkan pendidikan yang setara.

Terkait penyediaan data disabilitas, Pak Prabowo kurang menyampaikan gagasan tersebut. Adapun gagasan mengenai hal itu, justru disampaikan oleh kedua lawan debatnya. 

Pak Ganjar, capres nomor tiga, menyatakan negara berkomitmen terhadap data disabilitas. Disabilitas harus diberikan ruang berpendapat dan menyalurkan aspirasi. Negara hadir untuk mewujudkan keinginan tersebut. Dirinya menyampaikan tindakan solutif pendataan lewat penggunaan e-KTP Sakti.

Saya setuju terhadap apa yang disampaikan oleh Pak Ganjar. Selama ini, pemerintah kurang melibatkan disabilitas dalam membuat suatu kebijakan. Akibatnya bukannya membantu, malah kebijakan tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara optimal.

Contoh kecilnya adalah saya menemukan ramp yang kondisinya curam di suatu museum. Sebagai pengguna kursi roda, hal tersebut malah akan membahayakan. Semestinya sebelum membangun ramp, pengelola museum mengajak disabilitas daksa untuk berperan aktif. Kami yang disabilitas bisa memberikan sumbang saran mengenai pembangunan ramp yang baik dan tepat. Toh, pada akhirnya fasilitas tersebut memang ditujukan untuk pengguna kursi roda seperti kami. Namun karena dibangun serampangan, malah tidak bisa dimanfaatkan.

Terkait dengan pendataan e-KTP, solusi tersebut relatif bagus. Memang berdasarkan data Dukcapil, hingga akhir 2022 perekaman e-KTP sudah mencapai 99,37 persen. Sebanyak 199,78 juta jiwa masyarakat Indonesia sudah memiliki e-KTP. Akan tetapi pas pelaksanaan, akan ketemu banyak hambatan. Terutama untuk profiling data disabilitas. 

E-KTP yang sudah tercetak belum memuat informasi mengenai hal ini. Saya pernah mencoba untuk melakukan penambahan data mengenai disabilitas. Soalnya saya melihat informasi di IG Mbak Angkie Yudistia, bahwa disabilitas mesti ke dukcapil terdekat untuk melakukan penambahan data.

Namun pas ke sana, saya malah ditolak dan disuruh pulang. Alasannya karena pihak dukcapil belum memahami aturan penambahan data disabilitas. Saya malah disarankan untuk ke Dinsos biar bisa didata. Padahal saat itu, niat saya ingin menyukseskan program pemerintah terkait data disabilitas. Bukan ingin mendapat bantuan sosial.

Dari pengalaman tersebut, saya berkesimpulan bahwa rupanya masih terdapat koordinasi yang buruk, antara pemerintah dan jajaran di bawahnya. Padahal himbauan penambahan data bagi disabilitas itu sudah diberitahukan. Disabilitas hanya perlu datang ke Dukcapil untuk menyampaikan jenis dan derajat kedisabilitasannya. Tetapi masih tidak ada aturan yang jelas. Pegawai Dukcapil itu mengaku disabilitas biasanya datang ke situ jika ingin merekam e-KTP. Bukan memperbaharui data mengenai disabilitasnya.

Untuk itu, Pak Anies banyak menambahkan ide-ide baru mengenai data disabilitas. Capres nomor satu itu menyarankan untuk membangun data komprehensif lewat kolaborasi. Dinas-dinas terkait berkerjasama dengan dasawisma PKK untuk mendata penyandang disabilitas di wilayahnya. Barulah setelah data tersebut ada, pemerintah akan menyiapkan anggaran.

Mengenai solusi yang diberikan oleh Pak Anies, saya sepakat. Tetapi masih kurang satu, yaitu komunitas disabilitas setempat. Saya sepemikiran kalau para ibu-ibu PKK dan komunitas disabilitas ini lebih mengetahui tentang kondisi daerahnya masing-masing. Sehingga akan memudahkan dalam pendataan profil dan aspirasi disabilitas.

Selain itu, Pak Anies menambahkan kalau bantuan yang diberikan pemerintah bukan berbentuk charity. Melainkan pemenuhan hak asasi. Selama ini memang bantuan sosial untuk disabilitas diberikan dengan tujuan sekadar simpati. Dari pengakuan beberapa teman disabilitas, mereka sering menerima bantuan sosial dalam bentuk sembako.

Pemberian sembako ini memang diperlukan untuk bisa bertahan hidup. Namun bantuan semacam itu tidak bersifat produktif. Malah acapkali menimbulkan masalah baru. Para disabilitas disuruh untuk mengambil sendiri bantuan yang diberikan. Sementara ongkos untuk pergi ke tempat pembagian sembako mahal. Seringnya malah lebih besar daripada harga sembako itu sendiri. Walhasil disabilitas mengeluh dan memilih untuk tidak pergi.

Teman saya mencontohkan, seorang penyandang kursi roda disuruh untuk mengambil sembako seharga Rp. 50.000. Tetapi ongkos pulang-perginya naik mobil online mencapai Rp. 100.000.

Tentu hal ini tidak sepadan. Padahal kebanyakan kaum disabilitas berasal dari menengah ke bawah. Lantas, kenapa bukan pihak pemberi bantuan yang turun langsung menghampiri rumah-rumah para disabilitas tersebut? Mengapa justru disabilitas yang disuruh menemui?

Masalah-masalah seperti ini penting untuk dikaji ke depannya. Di sisi lain, seorang disabilitas kebutuhannya berbeda. Ada yang butuh bantuan modal usaha. Ada yang butuh alat bantu. Ada yang belum bekerja. Ada yang sakit berbaring di rumah saja. Tidak melulu membutuhkan sembako. Ayolah pemberi bantuan, kalian harus lebih kreatif lagi..

Dalam segi pendidikan, Pak Anies menyarankan untuk memodifikasi sekolah. Alih-alih menyiapkan sekolah khusus. Kita sudah ada sekolah luar biasa yang menampung anak-anak disabilitas. Saatnya mendukung sekolah umum untuk menjadi sekolah inklusi. Tugas pemerintah menyiapkan sarana dan prasarananya. Agar anak-anak disabilitas dapat pula berteman dengan anak non disabilitas. Sehingga mereka dapat saling memahami satu sama lain.

Kesimpulan saya mengenai debat capres, presiden terpilih nantinya dapat mewujudkan keseluruhan gagasan di atas. Saya rasa alih-alih hanya mewujudkan sebuah gagasan saja, lebih baik menyatukan keseluruhan gagasan para capres di atas. Toh, masing-masing gagasan punya kelebihan dan kekurangan. Sehingga terjalin upaya kolaboratif untuk mewujudkan Indonesia yang ramah untuk disabilitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun