Mohon tunggu...
Dwi Septiyana
Dwi Septiyana Mohon Tunggu... Guru - Pegiat literasi dan penikmat langit malam

Pegiat literasi dan penikmat langit malam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Penunggu Sungai

6 November 2021   17:20 Diperbarui: 6 November 2021   19:45 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

"Mana mau diajak balap lari, jalan saja masih ngesot!"

"Ingat ya, kalian jangan main sama anak kampungan itu, nanti ketularan bego."

Orang tuanya sendiri pun mengamini apa yang mereka lakukan terhadapku. Aku ingin menangis sejadi-jadinya ketika sebuah kerikil tepat mengenai mata kananku. Perih. Sesaat setelah itu seorang anak kecil berlari sekencang mungkin sambil membanggakan keberanian dirinya kepada anak kecil lainnya.

Dengan langkah kaki yang berat, aku memaksakan untuk pulang ke rumah. Setelah menyeka lelehan air di sudut mata yang semakin memerah karena lemparan kerikil tadi, aku beranikan diri untuk masuk ke rumah. Aku mengucap salam. Abah hanya melihat dengan sudut matanya sambil ongkang-ongkang kaki di kursi reyot satu-satunya yang ada di ruang tamu. Hanya Ambu saja yang menjawab salamku, walaupun tanpa ekspresi.

"Dari mana?" Katanya dengan ketus.

Aku menunjukkan jari ke arah bantaran sungai.

"Dari bantaran sungai lagi?" Tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk pelan.

"Lain kali jangan main ke sana lagi. Mending bantu-bantu di rumah. Jagain si bungsu, bantu cuci piring, cuci baju. Pijitin abahmu itu, seharian mikirin bagaimana mencari uang buat makan."

Bagiku kata-kata Ambu itu seperti kaset yang diputar terus menerus. Diulang diputar lagi setiap hari, "kamu nggak kasihan sama Ambu tiap hari kerja seperti ini, hah? Mau jadi anak bandel, niru-niru Si Gofar jadi preman pasar tukan malakin lapak?"
Lalu sederet kalimat panjang akan menyemburat dari mulutnya sampai berbuih. Ingin rasanya segera beranjak dari tempat itu, tetapi tidak mungkin. Diam mendengar ocehan Ambu dengan mata yang semakin memerah atau dikurung di kamar mandi seharian.

***

Arus sungai yang sama di kampungku itu semakin mengayal. Permukaan airnya hanya menyisakan tiga jengkal dari dasar, dengan warna semakin pekat dan bau yang menusuk hidung. Pohon nangka yang sesekali menjadi tumpuan untuk salto menceburkan dirinya ke sungai, kini tinggal menyisakan daun kering, buahnya selalu membusuk menggantung pada dahan yang sudah rapuh. Gelas plastik Ale Ale, stereoform Sabana, atau pembalut Softex sesekali lewat di hadapanku, mengapung barengan dengan benda kekuningan yang menggumpal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun