Mohon tunggu...
Muhammad Fajar
Muhammad Fajar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Menggagas Sekolah Virtual di Indonesia, Respon terhadap Revolusi Industri 4.0

10 Maret 2019   11:21 Diperbarui: 10 Maret 2019   11:47 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

A. Pengantar

Revolusi industri 4.0 (industri 4.0) telah merubah seluruh aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali dalam bidang pendidikan. Pendidikan sebagai salah satu barometer kemajuan bangsa harus mampu merespon industri 4.0 dengan baik. 

Respon tersebut dapat berupa memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal tersebut merupakan sebuah ikhtiar bangsa Indonesia untuk mewujudkan pendidikan yang merata, meluas, dan berkeadilan.

Konsep industri 4.0 berawal di Jerman dan diakui oleh negara-negara industri lainnya, meskipun dikenal sebagai "Connected Enterprise" (Perusahaan yang Terhubung) di Amerika Serikat dan "Fourth Industrial Revolution" (Revolusi Industri Empat) di Inggris. Industri 4.0 dibangun atas tiga transformasi teknologi sebelumnya: (1) tenaga uap, yang merupakan kekuatan transformatif abad kesembilan belas; (2) listrik, yang mengubah sebagian besar abad kedua puluh; dan (3) era komputer, awal tahun 1970-an (Cordes & Stacey, 2017).

Perdebatan tentang industri 4.0 dan dampak globalnya berkembang sangat pesat karena diperbincangkan di pelbagai tempat tentang digitalisasi, internet, dan teknologi pintar (Friess & Ibanez, 2014; Vermesan dkk., 2014). Perdebatan tersebut didorong oleh ketidakpastian tentang cara terbaik dan langkah cepat untuk mengeksplorasi inovasi teknologi dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Pendidikan di Indonesia seharusnya dapat mengikuti perkembangan industri 4.0 dengan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada putra-putri Indonesia untuk memperoleh pendidikan. 

Hanya ada dua pilihan, "kemajuan" atau "kemunduran" dengan asumsi, bila pendidikan di Indonesia ingin bersaing dengan negara lain, maka kita harus memanfaatkan industri 4.0 secara maksimal. Namun bila negara kita ingin tertinggal di bidang pendidikan, maka tidak perlu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam sistem pendidikan di Indonesia.

B. Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pelbagai suku bangsa. Dari data yang ada di Badan Informasi Geospasial tercatat bahwa Indonesia memiliki 13.466 pulau yang terdaftar dan berkoordinat (http://www.big.go.id/), jumlah pulau tersebut belum ditambah pulau-pulau yang belum terdaftar. 

Dengan banyaknya pulau dan luasnya Indonesia memungkinkan seluruh pelosok negeri ini belum mendapatkan pendidikan yang merata, meluas, dan berkeadilan. 

Untuk terus memberikan akses pendidikan di pelbagai daerah dan khususnya di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal, pemerintah diharuskan lebih responsif terhadap teknologi dengan memberikan akses pembelajaran yang mandiri serta metode pengajaran dan pembelajaran baru.

Selain akses pendidikan yang jauh, permasalahan lain yang dihadapi Indonesia dalam bidang pendidikan adalah maraknya kasus bullying (kekerasan) di sekolah. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di sekolah sangat meresahkan orang tua. Perilaku tindak kriminal yang terjadi seperti pemalakan, saling menghina, penganiayaan, bahkan hingga pembunuhan kerap terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. 

Hal ini terjadi bisa juga dikarenakan pengaruh globalisasi, kekerasan dari menonton acara televisi, permainan play station yang berbau kekerasan, atau bahkan minimnya kontrol dari orang tua maupun pendidik.

Permasalahan lain yang sangat mendasar dan kurang kita sadari sebagai orang tua maupun pendidik adalah tentang kecerdasan peserta didik antara satu dan lainnya sangatlah berbeda. 

Ada yang suka mata pelajaran matematika, ada yang suka mata pelajaran IPA, ada yang suka mata pelajaran IPS, ada yang suka mata pelajaran Agama, ada juga yang suka mata pelajaran olahraga, ada pula yang suka dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, dll. Di sini nampak bahwa setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

Kebanyakan orang tua di Indonesia memaksakan kehendak anak untuk menempuh pendidikan di sekolah yang disukai orang tuanya, bukan sekolahan yang disukai anaknya. Dengan adanya wacana sekolah virtual memberikan kesempatan kepada peserta didik yang berminat mengembangkan pengetahuannya secara virtual (maya) tanpa memaksakan kehendak peserta didik.

Selain itu, kecenderungan peserta didik saat ini banyak di antara peserta didik kita yang membolos sekolah, dalam artian berangkat ke sekolah namun tidak masuk kelas. Mereka pergi ke sekolah dengan harapan mendapatkan uang saku kemudian uang saku tersebut buat jalan-jalan, nongkrong, bermain play station, dll. 

Hal tersebut disebabkan persepsi sebagian besar peserta didik bahwa sekolah merupakan tempat tradisional yang hanya berkutat dengan sistem ceramah yang membosankan, buku teks sebagai referensi, belajar dibatasi oleh ruangan yang berukuran dua meter persegi tanpa difasilitasi sumber belajar yang memadai. Hal ini membuat peserta didik kurang mengeksplorasi ilmu pengetahuan dari pelbagai sumber yang ada di belahan dunia.

C. Sekolah Virtual

Sekolah virtual pertama kali dikenalkan di Finlandia pada tahun 1993 dengan sebutan "Freenet Finlandia". Freenet Finlandia adalah jaringan berbasis internet untuk sekolah dasar, menengah, dan kejuruan yang dapat diakses secara bebas oleh semua sekolah di negara tersebut. 

Freenet Finlandia ini dikelola oleh Lifelong Learning Institute di Universitas Teknologi Helsinki di Espoo yang menawarkan layanan internet gratis berupa Email, bulletin board, berita, dan WWW kepada setiap pendidik, peserta didik, orang tua, dan mitra Freenet. Program ini dibiayai oleh Dewan Pendidikan Nasional Finlandia dan mitra bisnis (Tella & Tirri, 1999).

Sedangkan di Amerika Serikat, pengajaran dan pembelajaran sekolah virtual dengan sebutan K-12 telah mulai populer sejak awal tahun 1996. Saat itu ada 24 sekolah virtual yang dipimpin oleh pemerintah dan 12 negara bagian dalam proses pembentukan institusi ini (Watson & Kalmon, 2006). 

Pusat Statistik Pendidikan Nasional (https://nces.ed.gov/) melaporkan bahwa 36% dari distrik sekolah negeri memiliki peserta didik yang terdaftar dalam program pendidikan jarak jauh selama tahun ajaran 2002-2003. 

Pada tahun 2006 Michigan menjadi negara bagian pertama yang mewajibkan pembelajaran virtual, dan setiap peserta didik harus memiliki pengalaman belajar virtual sebelum lulus SMA (DiPietro dkk., 2008).

Dalam tingkat sekolah, beberapa lembaga pendidikan di Finlandia mengembangkan sekolah virtual yang diberi nama "Aquarium". Aquarium merupakan jaringan sekolah yang memiliki banyak bagian-bagian dari proyek pengembangannya yang saling terhubung satu sama lain dengan menggunakan jaringan internet. 

Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan layanan pendidikan jarak jauh melalui sistem informasi berbasis pengetahuan yang ditujukan kepada peserta didik (Seppo Tella & Kirsi Tirri, 1999).

Sekolah virtual didefinisikan sebagai organisasi pendidikan yang menawarkan pembelajaran K-12 melalui metode Internet Berbasis Web (jaringan). Pendidikan virtual K-12 merupakan bentuk pendidikan jarak jauh. 

Pendidikan jarak jauh dapat didefinisikan sebagai pendidikan formal di mana mayoritas pengajaran terjadi terpisah antara pendidik dan peserta didik (Verduin & Clark, 1991), yang mencakup metode secara langsung seperti belajar mandiri, video konferensi, dan teknologi instruksional lainnya (Clark, 2001).

Cavanaugh (2004) mengatakan, sekolah virtual dapat kita bayangkan interaksi antara pendidik dan peserta didik melakukan kontak tatap muka pembelajaran di dunia maya sebagaimana kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di sekolah regular pada umumnya. 

Pada waktu tertentu diadakan sekolah konvensional yang mana peserta didik menggunakan komputer online di ruang kelas atau di laboratorium untuk beberapa pelajaran. Sementara pendidik yang terlatih membantu peserta didik dalam proses pembelajarannya.

Lebih lanjut Cavanaugh (2004) menjelaskan bahwa konsep sekolah virtual hanya disepakati secara luas, karena ada sejumlah varian. Beberapa sekolah virtual bersikeras melakukan kontak tatap muka yang telah disepakati, sementara yang lain begitu terorganisir sehingga seorang peserta didik mungkin tidak pernah menginjakkan kaki di kelas. 

Memang, sebagian sekolah virtual tidak memiliki kehadiran fisik sama sekali bagi peserta didik untuk dikunjungi, di beberapa negara gedung perkantoran dapat digunakan untuk memberikan layanan sekolah virtual kepada peserta didik antarnegara atau internasional.

Beberapa istilah lain tentang sekolah virtual merujuk pada lingkungan belajar misalnya kelas virtual, pendidikan elektronik, kelas elektronik, perguruan tinggi elektronik, kampus elektronik, pendidikan online, telekonferensi berbasis komputer, dan komputer virtual (Harasim 1987; Harasim 1990; Henri 1992; Sawyer 1992; Hernes & Haugen 1993). Berikut ini beberapa jenis pembelajaran secara virtual:

1. Fully Online Schools (Sekolah online secara penuh)

Di sekolah ini, peserta didik mengambil pelajaran mereka sepenuhnya secara online. Dalam beberapa kasus, peserta didik datang ke pusat pembelajaran (sekolah) untuk pembekalan. Model ini tidak mengharuskan peserta didik menghadiri kelas.

2. Supplemental Online Programs (Program online tambahan)

Di sistem ini, peserta didik dapat mendaftar pembelajaran online untuk melengkapi bagian dari program penuh waktu di sekolah tradisional. Peserta didik dapat mengikuti pembelajaran online di rumah atau di ruang yang telah ditentukan seperti di gedung sekolah atau lab komputer (Watson dkk., 2013).

3. Blended-Learning Models (Model pembelajaran campuran)

Sekolah online model ini menawarkan pembelajaran campuran yang menggabungkan instruksi online dan tatap muka yang dicampur sepanjang hari sekolah. Dalam model pembelajaran campuran, peserta didik beralih antara pembelajaran online dan tatap muka sesuai dengan jadwal. Mereka mungkin menghabiskan waktu sedikit pada pembelajaran tatap muka, sebagian besar pembelajaran mereka secara online (Staker & Horn, 2012 dalam Locke dkk., 2014).

Setidaknya ada dua tujuan potensial dari pendidikan virtual. Pertama, pendidikan virtual dapat meningkatkan akses terhadap pendidikan dengan memungkinkan peserta didik mengambil mata pelajaran yang tidak ditawarkan di sekolah lokal mereka atau mereka tidak dapat hadir karena kendala pendaftaran atau konflik penjadwalan. Kedua, pendidikan virtual dapat meningkatkan kualitas pendidikan melalui personalisasi, persaingan yang diakibatkan oleh peningkatan pilihan antar penyedia layanan. Bahkan jika sekolah virtual tidak lebih baik daripada sekolah tradisional, mereka mungkin menawarkan kesempatan untuk meningkatkan produktivitas di bidang pendidikan dengan beroperasi dengan biaya lebih rendah (Chingos & Schwerdt, 2014).

Sementara Tella dan Tirri (1999) mengatakan bahwa sekolah virtual memiliki delapan tujuan pedagogis antara lain:

1. Untuk meningkatkan kesempatan sekolah atau pemerataan pendidikan;

2. Untuk mempromosikan pembelajaran yang digunakan sebagai bagian dari wajib belajar;

3. Untuk mempromosikan pedagogi teknologi baru dan konsep pembelajaran baru;

4. Untuk memberikan dukungan pengelolaan (timing, tutoring, mentoring, dll);

5. Untuk membantu menempatkan produk dari sekolah virtual di situs web;

6. Untuk menciptakan standar sertifikasi sekolah virtual;

7. Untuk membantu mengevaluasi sekolah virtual;

8. Untuk membuat forum terbuka (universitas, keluarga, sekolah, perorangan) mengenai pengajaran dan pembelajaran.

Menurut Clark (2001), ada sembilan poin penting dalam upaya pendirian sekolah virtual antara lain: (1) Pendanaan; (2) Teknologi; (3) Kurikulum; (4) Pengajaran; (5) Kelas; (6) Pendidik; (7) Peserta didik; (8) Penilaian; (9) Kebijakan dan Administrasi. Dalam konteks Indonesia perlu ditambahkan yakni (10) Tenaga kependidikan, dan (11) Akreditasi.

D. Menggagas Sekolah Virtual di Indonesia

Di Finlandia, sekolah virtual sudah didirikan mulai tahun 1993 yang digagas oleh Menteri Pendidikan Finlandia bekerja sama dengan dewan bisnis penyedia jaringan. Saat ini sudah tahun 2019, berarti kurang lebih 26 tahun Finlandia telah memanfaatkan teknologi dalam bidang pendidikan. Maka tidak heran bila Finlandia sangat maju dalam bidang pendidikan bahkan selalu mendapat peringkat terbaik di dunia, sebab mereka telah memulainya 26 tahun yang lalu.

Lalu bagaimana dengan sistem pendidikan di Indonesia? Bila Indonesia menginginkan penguatan dan pemerataan pendidikan, tidak ada salahnya Indonesia mengadopsi sistem pendidikan di Finlandia yang telah mengembangkan sekolah virtual. 26 tahun yang lalu mereka telah menggunakan dunia virtual sebagai basis pendidikannya dalam memanfaatkan teknologi, sedangkan sistem pendidikan di Indonesia belum memanfaatkannya secara maksimal.

Agar pemerintah Indonesia lebih tanggap dengan perkembangan teknologi dan memprioritaskan pendidikan untuk semua, merata, dan berkeadilan, alangkah lebih baiknya bila pemerintah bekerja sama dengan sektor swasta menggagas sekolah virtual. Daripada sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan dunia virtual sebagai tempat untuk menghujat satu sama lain seperti yang terjadi akhir-akhir ini, baik itu lewat facebook, twitter, instagram, email atau lainnya alangkah lebih baik dimanfaatkan di sektor pendidikan.

Bila pemerintah telah bekerja sama dengan pihak swasta penyedia jaringan internet. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Agama membuat grand planning (perencanaan besar) tentang sekolah virtual melalui sekolah Induk di setiap kabupaten atau kota. Kemudian sekolah percontohan tersebut mengelola sekolah virtual dengan menyusun kebijakan, administrasi, pendanaan, teknologi, kurikulum, pengajaran, kelas, pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, penilaian, dan akreditasi.

1. Pengelolaan Sekolah Virtual

Pengelolaan sekolah virtual dapat melalui Learning Management System (LMS). LMS adalah program perangkat lunak berbasis server yang berinteraksi langsung dengan database. Database tersebut berisi informasi tentang pengguna, mata pelajaran dan konten (isi). Dalam artian, LMS menyerupai sistem data lain yang dirancang untuk e-commerce, sumber daya manusia, dan catatan peserta didik (Pia, 2010).

LMS merupakan tempat untuk kegiatan belajar dan mengajar di dunia maya yang tidak bergantung pada batas ruang dan waktu (Ullman & Rabinowitz, 2004). Sistem ini memungkinkan lembaga pendidikan untuk mengelola sekolah online secara penuh atau campuran (sekolah dengan tatap muka dan online) dengan sumber yang sama. Pembelajaran klasikal yang menggunakan LMS biasanya dilakukan untuk kegiatan tambahan di sekolah dengan web (Schmidt, 2002).

John Phillipo dan Sarah Krongard mengatakan, ketika kita menggunakan LMS, tenaga pendidik dan kependidikan memerlukan database relasional berbasis web yang menghubungkan kurikulum, sumber pembelajaran, strategi penilaian, data peserta didik, dan keahlian staf.

Saat ini, pembelajaran online telah tersebar di seluruh dunia. Banyak aplikasi pembelajaran yang dirancang khusus dalam dunia maya. Berikut ini contoh aplikasi sistem LMS baik komersial maupun gratis yang dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran antara lain:

a. www.blackboard.com

sebuah situs aplikasi pendidikan yang komperehensif yang dapat diakses melalui handphone kapan saja dan di mana saja. Dalam aplikasi ini terdapat fitur penilaian, rubrik interaktif, dan laporan terpadu.

b. www.desire2learn.com

situs ini dirancang secara terpadu untuk pembuatan, pengiriman, pengelolaan pembelajaran online. Termasuk di dalamnya terdapat aplikasi yang dapat diakses lewat handphone. Terdapat pula penilaian, alat untuk menyiarkan presentasi secara langsung.

 c. www.edmodo.com

sebuah situs aplikasi online gratis yang dipadukan dengan media sosial untuk menyesuaikan pembelajaran. Situs ini dirancang khusus untuk penggunaan kelas, terdapat pula program penilaian, diskusi, pekerjaan rumah, dan pembelajaran lewat handphone. Komunitas edmodo menghubungkan pendidik dengan pendidik lain secara global.

d. www.edu20.org

situs ini menawarkan paket gratis maupun premium dengan penyimpanan file tak terbatas. Situs ini biasa digunakan dalam K-12 yang menampilkan pengiriman isi, kalender pendidikan, diskusi, konferensi video, blog, dan alat wiki berbasis instruksional. Terdapat pula alat penilaian, buku kelas online, rubrik, laporan perkembangan, aplikasi yang dapat diakses handphone.

e. sites.google.com

situs web gratis dan dapat disesuaikan dengan pengaturan untuk mengakses pelbagai informasi dan terintegrasi dengan google document dan google calendar.

f. www.moodle.org

aplikasi web gratis yang dapat digunakan pendidik untuk membuat sistus pembelajaran online yang efektif. Termasuk di dalamnya komunitas pendidik dan pusat pendukung.

g. www.rcampus.com

Sebuah situs yang mengelola instruksional isi, buku, kelas, penilaian, dan kolaborasi. Termasuk di dalamnya aplikasi e-portofolio, dan rubrik perkembangan peserta didik setiap waktu.

h. www.schoology.com

situs ini mengelola diskusi online dan tersambung dengan media, fitur ini memungkinkan pendidik berbagi materi pembelajaran secara luas. Adapun sistem penilaian aplikasi ini menggunakan tes yang digunakan sebagai umpan balik kepada peserta didik untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan peserta didik (www.k12blueprint.com).

Selain itu, masih banyak lagi web atau aplikasi-aplikasi pembelajaran virtual yang dirancang untuk pendidik maupun peserta didik dan dapat digunakan di sekolah virtual, seperti yang telah digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui portal Rumah Belajar di http://belajar.kemdikbud.go.id sebagai laboratorium maya yang menurut penulis merupakan embrio dari sekolah virtual di Indonesia.

E. Kesimpulan

Gagasan tentang sekolah virtual pada pendidikan dasar dan menengah merupakan respon terhadap revolusi industri 4.0 dan salah satu alternatif dari pelbagai permasalahan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah virtual merupakan sebuah konsep penguatan pendidikan yang dilakukan melalui internet berbasis web di era industri 4.0. Sekolah virtual dapat dikatakan pula sebagai sekolah jarak jauh yang dilakukan di dunia maya tanpa harus tatap muka di kelas atau kehadiran fisik antara pendidik dan peserta didik. 

Sekolah virtual dapat dilakukan dengan cara fully online schools (sekolah online secara penuh), supplemental online programs (program online tambahan), dan blended-learning models (model pembelajaran campuran).

Ada tujuh manfaat dari sekolah virtual pertama, peserta didik lebih mudah mengakses dan mencari informasi dari pelbagai sumber belajar. Kedua, dengan adanya sekolah virtual dapat memberikan manfaat yang besar kepada peserta didik yang jarak rumah dan sekolahnya jauh. Ketiga, sekolah virtual memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mencari sumber informasi yang tidak terbatas dari seluruh penjuru dunia. Keempat, dengan adanya sekolah virtual dapat meminimalisir bullying (kekerasan) karena tidak terjadi kontak secara langsung antara peserta didik maupun dengan pendidik. Kelima, jadwal kelas virtual lebih fleksibel sesuai dengan keinginan peserta didik. Keenam, sekolah virtual memberikan wadah kepada peserta didik sesuai dengan minat dan bakat. Ketujuh, sekolah virtual memberikan kesempatan pada disability (penyandang cacat) untuk sekolah dari rumah tanpa harus datang ke sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun