Mohon tunggu...
Muhammad Fajar
Muhammad Fajar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Menggagas Sekolah Virtual di Indonesia, Respon terhadap Revolusi Industri 4.0

10 Maret 2019   11:21 Diperbarui: 10 Maret 2019   11:47 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Selain akses pendidikan yang jauh, permasalahan lain yang dihadapi Indonesia dalam bidang pendidikan adalah maraknya kasus bullying (kekerasan) di sekolah. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di sekolah sangat meresahkan orang tua. Perilaku tindak kriminal yang terjadi seperti pemalakan, saling menghina, penganiayaan, bahkan hingga pembunuhan kerap terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. 

Hal ini terjadi bisa juga dikarenakan pengaruh globalisasi, kekerasan dari menonton acara televisi, permainan play station yang berbau kekerasan, atau bahkan minimnya kontrol dari orang tua maupun pendidik.

Permasalahan lain yang sangat mendasar dan kurang kita sadari sebagai orang tua maupun pendidik adalah tentang kecerdasan peserta didik antara satu dan lainnya sangatlah berbeda. 

Ada yang suka mata pelajaran matematika, ada yang suka mata pelajaran IPA, ada yang suka mata pelajaran IPS, ada yang suka mata pelajaran Agama, ada juga yang suka mata pelajaran olahraga, ada pula yang suka dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi, dll. Di sini nampak bahwa setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

Kebanyakan orang tua di Indonesia memaksakan kehendak anak untuk menempuh pendidikan di sekolah yang disukai orang tuanya, bukan sekolahan yang disukai anaknya. Dengan adanya wacana sekolah virtual memberikan kesempatan kepada peserta didik yang berminat mengembangkan pengetahuannya secara virtual (maya) tanpa memaksakan kehendak peserta didik.

Selain itu, kecenderungan peserta didik saat ini banyak di antara peserta didik kita yang membolos sekolah, dalam artian berangkat ke sekolah namun tidak masuk kelas. Mereka pergi ke sekolah dengan harapan mendapatkan uang saku kemudian uang saku tersebut buat jalan-jalan, nongkrong, bermain play station, dll. 

Hal tersebut disebabkan persepsi sebagian besar peserta didik bahwa sekolah merupakan tempat tradisional yang hanya berkutat dengan sistem ceramah yang membosankan, buku teks sebagai referensi, belajar dibatasi oleh ruangan yang berukuran dua meter persegi tanpa difasilitasi sumber belajar yang memadai. Hal ini membuat peserta didik kurang mengeksplorasi ilmu pengetahuan dari pelbagai sumber yang ada di belahan dunia.

C. Sekolah Virtual

Sekolah virtual pertama kali dikenalkan di Finlandia pada tahun 1993 dengan sebutan "Freenet Finlandia". Freenet Finlandia adalah jaringan berbasis internet untuk sekolah dasar, menengah, dan kejuruan yang dapat diakses secara bebas oleh semua sekolah di negara tersebut. 

Freenet Finlandia ini dikelola oleh Lifelong Learning Institute di Universitas Teknologi Helsinki di Espoo yang menawarkan layanan internet gratis berupa Email, bulletin board, berita, dan WWW kepada setiap pendidik, peserta didik, orang tua, dan mitra Freenet. Program ini dibiayai oleh Dewan Pendidikan Nasional Finlandia dan mitra bisnis (Tella & Tirri, 1999).

Sedangkan di Amerika Serikat, pengajaran dan pembelajaran sekolah virtual dengan sebutan K-12 telah mulai populer sejak awal tahun 1996. Saat itu ada 24 sekolah virtual yang dipimpin oleh pemerintah dan 12 negara bagian dalam proses pembentukan institusi ini (Watson & Kalmon, 2006). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun