Semalam kita tidur, kita sadar bahwa semalam kita bermimpi atau tidak bermimpi. Walaupun kita tidur ternyata Kesadaran kita tidak tidur padahal tidur adalah bentuk kematian kecil. Sekarang kita terjaga, kita sadar bahwa sekarang kita sedang membaca tulisan ini. Kita menyadari pikiran dan perasaan kita larut membaca tulisan ini. Kita menyaksikan gerakan pikiran dan perasaan muncul dan lenyap membaca tulisan ini dari huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat, paragraf per paragraf. Di antara gerakan pikiran dan perasaan ada kekosongan. Walaupun ada kekosongan pikiran, kesadaran kita tetap ada, yang menyaksikan tetap ada. Sekarang saksikan yang menyaksikan pikiran dan perasaan. Maka seketika penyaksian lenyap, hanya ada keberadaan (being). Apapun pikiran dan perasaan sadari bahwa kita adalah dasar dari pikiran dan perasaan itu. Kita adalah dasar dari semua. Kita adalah kekosongan itu sendiri. Pengalaman Ketuhanan adalah ketika kita tidak menjadi apapun atau siapapun. Seandainya sejak kecil kita tidak diberi nama dan identias maka kita hanya hidup... hanya hadir sebagai Kesadaran/Ketuhanan. Itu bukan tentang pengalaman kesaktian, beraura kharismatik, berenergi super dan label-label identitas palsu yang dilekatkan kepada orang-orang tercerahkan. Pengalaman Ketuhanan adalah ketika kita hanya ada...tanpa ego dengan semua dinamika pendaman emosinya menjadi siapapun atau memiliki apapun....Kesadaran bukan tentang kemenjadian..melainkan hadir sebagai keseluruhan.. just ordinary...
Sekarang sadari penglihatanmu atas background tulisan ini. Tunggu 1 (satu) menit. Apa yang terjadi? Apa yang ada? Hanya background putih. Hanya kehadiran. Hanya keberadaan. Sekarang sadari penglihatanmu atas tulisan ini. Tunggu 1 (satu) menit. Background putih tetap ada bukan? Tetaplah hadir di background putih, bukan huruf-huruf tulisannya. Kita akan menyadari bahwa background putih tetap ada. Ia adalah dasar semua tulisan berikut huruf-hurufnya. Ketuhanan adalah background/dasar/esensi semua "tulisan berikut huruf-huruf" semesta sekaligus "tulisan berikut huruf-huruf". Sekarang lihat kembali tulisan ini, lalu mata kita tutup. Gelap? Kosong secara visual? Tunggu 1 (satu) menit. Bukankah kita tetap bisa melihat kegelapan itu? Bukankah kita tetap bisa menyaksikan kegelapan itu? Bukankah kita tetap bisa menyadari kekosongan itu? Ada yang menyaksikan kegelapan itu...ada yang menyaksikan kekosongan itu, walaupun mata tidak bisa melihat. Sekarang telinga kita tutup. Sunyi? Kosong secara audio? Tunggu 1 (satu) menit. Bukankah kita tetap bisa mendengar suara kesunyian? Bukankah kita tetap bisa menyaksikan suara kesunyian? Bukankah kita tetap bisa menyadari suara kesunyian? Ada yang menyaksikan suara kesunyian itu...ada yang menyaksikan kekosongan itu, walaupun telinga tidak bisa mendengar. Lebih dalam lihatlah terus....dengarkan terus....seketika kita memahami bahwa yang dilihat dan yang melihat satu, yang mendengar dan yang didengar satu...utuh...tidak ada dualitas. Cukup hadir di posisi itu. Itulah pengalaman Ketuhanan. Satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. Walaupun kita tidur atau jaga. Walaupun mata kita buta, walaupun telinga kita tuli, walaupun kita mati. Ada yang telah ada, sedang ada dan selalu ada.
Jika kita bercermin diri, membersihkan semua pendaman emosi kita. Menerima, merelakan dan memeluk semua gambar, suara dan sensasi di seluruh tubuh kita. Ketika kita menyelami seluruh keadaan kehidupan dengan berbagai dinamikanya di dalam ke medan pengalaman pikiran dan perasaan apa adanya. Lebur, sirna, bersih dari berhala-berhala dalam diri yang menuhankan ego, akal, sains dan teknologi serta tuhan-tuhan palsu lainnya. Me"nol"kan ego identitas kita. Mengalami Keheningan/Cinta. Mengalami keselarasa dengan kehidupan alam semesta di semua tingkatan. "Knowing" memahami hukum-hukum alam semesta tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan bagaimana mendayagunakan kekuatannya. Saat itu juga kita sebenarnya kita sedang mengalami Ketuhanan. Pemahaman tentang "Ketuhanan" dapat disingkap melalui kesadaran. Dengan sifatNya sebagai satu keutuhan (oneness) yang sejati , absolute-infinite dan menjadi esensi serta manifestasi semua. Mengalami “Ketuhanan/Kesadaran”, hanya bisa ketika tidak ada diri dengan ego identitasnya dan lebur menghilang di dalamNya. Bila kita melampaui tubuh dengan segala pernik-pernik dunia fisik fana , melampaui pemikiran dan akumulasi berjuta memori maka dengan kesadaran kita mampu mengalami, menguji dan menyaksikan "Ketuhanan" dengan kejelasan. Alam semesta yang relative ini akan lenyap dalam absolute nya "Ketuhanan".
Ketangkasan (knack) spiritual terbesar adalah bisa menerima dan melepaskan "pressure" dari kemelekatan segala pernik-pernik dunia fisik fana pemikiran dan akumulasi berjuta memori yang kita kumpulkan serta mengalami kemerdekaan. Merelakan kemelekatan terhadap ego dengan semua pendaman emosinya. Melepaskan keterikatan terhadap apapun termasuk dunia 3 (tiga) dimensi kita. Menundukkan dan menyerahkan ego dengan semua pendaman emosinya di dalam diri serendah-rendahnya hingga berada dalam kondisi medan titik nol (zero quantum field). Menyadari diri fana/sirna. Kita menjadi no thing, no body, no one, no time, no where. Semuanya sudah hilang. Semuanya sudah tidak ada. Kita bukan apa-apa. Kita bukanlah tubuh kita. Kita bukan siapa-siapa. Kita bukanlah nama kita. Kita bukanlah pekerjaan/karir kita. Kita bukanlah bisnis kita. Kita bukanlah status dan identitas kita. Kita bukanlah jabatan kita. Kita bukanlah kekayaan kita. Kita sejatinya tidak ada. Semua nama, ilmu, pekerjaan/karir, bisnis, pasangan, status, jabatan, kekayaan, kekuatan yang kita bangga-banggakan dan kita melekat dengannya, semua hanya ilusi. Semua tidak ada artinya. Semuanya sudah hilang. Semuanya sudah tidak ada. Flow, masuk di medan kuantum, dimana ruang, waktu, materi dan energi sudah tidak eksis lagi. Lepas dari dualitas. Tidak merisaukan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Lepas dari takut (khouf) dan sedih (huzn). Melebur di dalam "satu/oneness keutuhan yang sejati, absolute-infinite serta menjadi esensi dan manifestasi semua semesta. Menjadi everything, everybody, everyone, everytime, everywhere. Menyatu dengan segalanya. Berada dalam one consciousness. Mengalami ekstasi, ledakan suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur, cinta kasih, rasa keberlimpahan serta pencerahan (hidayah) seakan menyirami terus-menerus. Lepas dari dualitas. Tidak ada ketakutan (khouf) dan kesedihan (huzn). Menyatu dengan segalanya. Ini adalah pengalaman pencerahan. Mengenal diri sejati kita. Mengalami sejatinya kehidupan. Seperti setetes air yang menenggelamkan diri di samudera, larut dan menghilang bersama samudera serta memahami samudera dengan kejelasan. Namun setetes air bukanlah samudera. "Ketuhanan" tidak dapat dipersempit menjadi wujud manusia atau alam semesta, tapi manusia dan alam semesta adalah ungkapan empiris "Ketuhanan" yang berbeda dalam segala hal. Keberadaan "Ketuhanan" tidak bergantung pada alam semesta yang terbatas dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi namun meresapi apa pun yang ada. Tak ada tempat di dunia ini di mana tidak ada kehadiran "Ketuhanan" di situ. Ungkapan-ungkapan yang terkesan antropomorfis yang disampaikan orang-orang ber"Ketuhanan", seringkali itu adalah bahasa cinta yang diajukan sebagai upaya meng-imanensi-kan "Ketuhanan" dalam kehidupan, sehingga "Ketuhanan" dianggap teman/sahabat/bahkan kekasih yang bisa dirasakan kehadiran-Nya sangat dekat. Sama sekali bukan esensi dari Tuhan itu sendiri. Namun begitu tetap waspada karena bila bahasa cinta tidak disadari maka terjebak dalam shadow sosok "Ketuhanan". "Ketuhanan" secara bukanlah sosok atau bersifat manusia/personal (antrophomorphisme) atau melekat pada hal-hal bersifat makhluk lainnya yang memiliki banyak keterbatasan, dilahirkan/dibentuk dan bisa sakit/rusak/mati.
Pada saat mengalami pencerahan, mengenal diri sejati kita, knowing "Ketuhanan", ledakan kebahagiaan, suka cita, kedamaian, keikhlasan, rasa syukur yang dalam, cinta kasih, rasa keberlimpahan, keseimbangan hidup, pertolongan dan dukungan semesta serta hidayah (petunjuk) seakan menyirami terus-menerus. Namun pengalaman ini bukan tujuan dari spiritual atau ber"Ketuhanan". Pengalaman ini hanyalah side effect dari pengalaman "Ketuhanan" dan menyaksikanNya melalui kesadaran kita dengan kejelasan. Puncak spiritual atau pengalaman ber"Ketuhanan" adalah terlahir kembali menjadi sejatinya diri kita (be true to ourself) sebagai daya "Ketuhanan" yang bebas merdeka dan menebarkan banyak kebaikan dan cinta kepada sesama/alam semesta (blessing others). Menjadi manusia merdeka, tanpa ada ketakutan (khouf/khoufun) dan kesedihan (hazn/yahzanun). Menjalani pembelajaran dan pengabdian (dharma/ibadah) hidup dengan penuh kenikmatan dan sadar penuh hadir utuh di sini di saat ini.
Pengalaman pencerahan ini bukan delusi sebagai jenis gangguan mental di mana penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi, sehingga ia meyakini dan bersikap sesuai dengan hal yang ia pikirkan sebagaimana yang dinyatakan Richard Dawkins. Karena sebagaimana disampaikan David R. Hawkins, M.D., Ph.D bahwa pencerahan itu ada, scientific proven dan merupakan kesadaran yang sangat tinggi serta memiliki energi yang sangat kuat, berada pada level energi 700-1000 poin. Bahkan karena sangat kuatnya, kekuatan vibrasi, frekuensi dan energi 1 individu yang mengalami pencerahan di level energi 700-1000 poin ini setara dengan kekuatan 70-100 juta individu dengan kesadaran di level energi di bawah 200 poin. Manusia-manusia yang berada di level kesadaran tinggi ini sering berperan sebagai "pilar jagad" yang menjaga kedamaian manusia dan keseimbangan alam, terutama keseimbangan planet bumi dimana kita tinggal.
Dalam penelitian David R. Hawkins, M.D., Ph.D selama kurang lebih 29 tahun yang mengukur energi yang dikeluarkan manusia dalam skala pendaman emosi tertentu melalui tes kinesiologi ditemukan bahwa pendaman emosi manusia dan level energi yang dihasilkan bertingkat-tingkat mulai dari dari satuan 0 sampai 1000 poin yang mana skala kurang dari 200 poin disebut force dan skala lebih dari 200 poin disebut power. Manusia dengan tingkat pendaman emosi sangat banyak dan energi kurang dari 200 poin masih struggle dengan dirinya sendiri (contracted), seperti membenci diri sendiri, merasa sengsara, meratapi masa lalu, menyalahkan pihak luar dirinya, apatis, putus asa, terlalu needy, berlama-lama dalam kesedihan, banyak sekali trauma/luka batin/hambatan-hambatan emosi, mengkhawatirkan masa depan, sangat melekat pada ego, sangat terobsesi dan kompulsif. Bila keinginan tidak tercapai masuk dalam frustasi, marah dan kebencian. Bila keinginan tercapai masuk dalam membangga-banggakan diri, kesombongan dan pamer. Manusia dengan pendaman emosi sangat sedikit dan energi lebih dari 200 poin mulai berkembang dengan baik (expanded), mulai letting go, merasa aman dan nyaman, mengambil tanggungjawab, berniat mengembangkan diri, tau apa yang harus dilakukan, mau berkontribusi bagi kehidupan agar lebih baik, welas asih, memiliki abundance mentality dan loving kindness, bersyukur, flow dalam suka cita, kepuasan hidup, kedamaian. Dan manusia yang mengalami pencerahan pendaman emosi menjadi ilusi alias tidak ada. Level energinya 700-1000 poin.
Keempat, apakah manusia butuh "Ketuhanan"?
Tanpa Ketuhanan, kita semua ini tidak ada. Bila kita memahami bahwa sebenarnya tidak ada keterpisahan antara "Ketuhanan", diri dan kehidupan maka pertanyaan ini tidak diperlukan bahkan ini pertanyaan yang salah memahami "Ketuhanan". Pertanyaan ini secara tersirat menganggap "Ketuhanan" adalah sosok yang terpisah dengan diri kita dan kehidupan. Segala sesuatu di diri kita dan alam semesta ini adalah perwujudan "Ketuhanan". Jadi kita sebenarnya kita tidak butuh Tuhan sosok yang terpisah dengan diri kita karena sejatinya diri kita ini adalah "Ketuhanan" dan semuanya adalah perwujudan "Ketuhanan". Dan "Ketuhanan" sebenarnya tidak membutuhkan apapun di alam semesta. Tidak ada satupun di alam semesta ini yang lebih sejati, lebih hakiki, lebih besar daripada "Ketuhanan". Dia satu keutuhan/oneness yang sejati, absolute -infinity serta menjadi esensi dan manifestasi semua. "Ketuhanan" tidak membutuhkan manusia dan alam semesta. Karena sejatinya diri kita manusia dan alam semesta ini adalah perwujudan "Ketuhanan". Mau ber"Ketuhanan" atau tidak, Dia akan tetap ada memancarkan diriNya. "Ketuhanan" sejati akan tetap memancarkan keberlimpahan karunia dan cintaNya ke seluruh penjuru alam semesta, ke seluruh makhluk walaupun seluruh makhluk di alam semesta ini mengingkariNya.
Susah dan senang, sukses dan gagal datang dan pergi, tapi saat roda hidup berputar ke bawah dan saat sesuatu menjadi buruk ber"Ketuhanan" membawa posisi kita di pusat roda dan memberi pegangan hidup tetap dalam kedamaian. Ber"Ketuhanan" membuat membawa kita ke zona energi tinggi, membuat kita berbuat baik dengan cinta tanpa syarat tanpa batas. Ber"Ketuhanan" membawa hidup kita sadar penuh, hadir utuh. Ber"Ketuhanan" memberi kita cinta untuk memeluk ego, keinginan dan hawa nafsu untuk tenggelam ke samudera kesadaran. Inilah kekuatan ber"Ketuhanan". Ber"Ketuhanam" membawa kita flow dan mengembangkan hal terbaik dalam diri kita untuk melayani sesuatu yang lebih besar diri kita sendiri. Saat kita mengembangkan hal terbaik dalam diri kita untuk melayani sesuatu yang lebih besar diri kita sendiri maka pembatas antara alam sadar dan alam bawah sadar terbuka. Dan kita akan lebih mudah (effortless) mencapai healing, success dan happiness. Namun sebaliknya ketika kita merasa hebat, mengandalkan diri kita sendiri dan hidup untuk diri kita sendiri maka ada pembatas yang kuat antara alam sadar dan alam bawah sadar. Ini seperti dinding yang menyulitkan kita (effortfull) mencapai healing, success dan happiness. Mau ber"Ketuhanan" atau tidak ber"Ketuhanan" kita tetap membutuhkan kesadaran ini.
Ber"Ketuhanan" bukan sekedar merubah pandangan dari Ketuhanan sosok parsial ke sosok universal. Bila demikian itu hanya perubahan kepercayaan. Ber"Ketuhanan" dan percaya Tuhan adalah kalimat yang secara esensi memiliki makna berbeda. Ber"Ketuhanan" tidak ada jarak antara diri kita, kehidupan dan "Ketuhanan" karena sudah benar-benar mengalami "Ketuhanan" di dalam diri dan kehidupan. Begitu kita sudah mengalami dan menyaksikan dengan jiwa raga (syahadah) maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan. Seperti kita sudah mengalami guyuran air hujan maka sebenarnya tidak diperlukan lagi kepercayaan kepada guyuran air hujan. Ketika kita mengalami "Ketuhanan" kita menyaksikanNya dengan kesadaran murni kita. Ber"Ketuhanan" membawa diri kita mengalami kemurnian, keikhlasan, kedamaian, kepenuhan, kekuatan, penuh kasih sayang, penuh keberlimpahan dan cinta, keseimbangan dan kebahagiaan. Inilah sebagian kecil dampak pengalaman ber"Ketuhanan".