Mohon tunggu...
Qomarul Huda
Qomarul Huda Mohon Tunggu... Guru - Bapak satu anak

Masih belajar dunia tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Siswa Madrasah, Sudah Merdeka Belajar kah?

20 Februari 2021   09:10 Diperbarui: 20 Februari 2021   09:29 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika terpilih menjadi presiden RI peridode kedua, Presiden Jokowi mengingatkan para menteri untuk membuat gebrakan-gebrakan dalam lima tahun ke depan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mencetuskan sebuah program kebijakan yaitu merdeka belajar. Secara eksplisit, program ini untuk menciptakan suasana belajar menyenangkan baik itu bagi siswa, guru maupun sekolah.

Untuk dapat mewujudkan pendidikan yang sesuai dengan merdeka belajar, tentu banyak faktor pendukung. Suasana belajar yang nyaman, guru yang tidak banyak diberikan beban, persamaan hak dan kewajiban dan lain sebagainya. Dalam dunia pendidikan formal di Indonesia, kita mengenal setidaknya dua institusi pendidikan yaitu sekolah dan madrasah. 

Selama ini masih ada dikotomi antara sekolah dengan madrasah baik dari sisi pemerintah maupun dari pandangan masyarakat. Dalam hal ini tentang sekolah dan madrasah negeri yang didirikan oleh negara walaupun keduanya berada dalam payung yang berbeda. Sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara madrasah berada dibawah Kementerian Agama.

Sampai saat ini terkadang masih terdapat ketimpangan antara kedua institusi tersebut. Misalnya dari segi dana bantuan yang diberikan cenderung berat sebelah dengan porsi lebih besar kepada sekolah umum daripada madrasah. Sekolah umum mendapat suntikan dana dari pusat dan pemerintah daerah, sedangkan madrasah hanya dari pusat.

Pemasungan Prestasi

Pengamat pendidikan, Muhammad Abduh kepada Republika.co.id (18/7/2019) mengatakan bahwa madrasah masih kurang perhatian dari pemerintah sehingga ada anggapan kualitas pendidikan di madrasah masih kurang. Sekolah SDN, SMPN, dan SMAN di bawah naungan Dinas Pendidikan (Disdik) pemerintah daerah. Sehingga mendapat alokasi dana anggaran dan perhatian lebih besar, terutama dari pemerintah daerah.

Kita pernah tercengang dengan berita tahun 2015 siswi di Kabupaten Semarang yang juara OSN tingkat SD gagal bertanding di provinsi hanya karena diskriminasi statusnya sebagai siswa Madrasah Ibtidaiyah (MI). Kasus ini sampai mendapat perhatian serius Menteri Agama waktu itu, Lukman Hakim Saifudin. Kejadian semacam ini bertentangan dengan semangat Merdeka Belajar yang menginginkan siswa merasa suasana yang menyenangkan bebas berekspresi.

"Pemasungan" prestasi ini jika masih terjadi lagi, bisa mempengaruhi kondisi psikologis siswa. Ia merasa apa yang telah ia raih kurang mendapat apresiasi. Bagaimana tidak, sebagai juara tingkat kabupaten seharusnya bisa maju ke tingkat propinsi. Namun hak itu tidak ia dapatkan. Seharusnya ada aturan yang jelas karena masalah ini sudah berlangsung lama sehingga tidak ada lagi perbedaan hak antara siswa madrasah dengan sekolah

Berbicara tentang Merdeka Belajar, Direktur Kurikulum, Sarana Prasarana, Kesiswaan, dan Kelembagaan Kemenag, Ahmad Umar kepada CNN (7/1/2020) mengatakan bahwa Kemenag sebenarnya sudah menerapkan konsep yang sama, pembelajaran yang tidak mengekang guru dan siswa sebelum Mendikbud meluncurkan program Merdeka Belajar. Ia mencontohkan MTs Yanbu'ul Quran di Kudus yang memprioritaskan program hafalan Al-Qur'an dibanding pelajaran umum lainnya. Ini menyesuaikan kurikulum dan arah sekolah yang ingin mencetak hafalan Al-Quran.

Problematika Iuran Sekolah

Ketika akhir-akhir ini sekolah negeri sedang gencar menggratiskan biaya pendidikan, namun hal ini belum terjadi di lingkungan madrasah. Ini menjadi problematika dan tantangan besar bagi madrasah saat dibukanya PPDB. Masih banyak orangtua yang mempertimbangkan faktor ekonomi untuk memasukkan anaknya ke sekolah umum karena gratis SPP (dan mungkin juga uang gedung). Pada sektor ini, tentu daya tarik madrasah berkurang dan harus berpikir keras apa yang bisa ditawarkan seperti prestasi (akademik-non akademik) juga mutu lulusan yang berpengetahuan agama (serta tahfidz jika ada). Kita tentu sudah paham bahwa "persaingan" untuk mencari siswa baru semakin ketat dengan menjamurnya sekolah swasta baru.

Nah, yang terbaru dalam hal seleksi perekrutan satu juta guru PPPK yang akan berlangsung tahun ini yang kemungkingan tidak termasuk dengan tenaga pendidik di bawah Kementerian Agama (setidaknya hingga tulisan ini dibuat). Salah satu syarat mengikuti seleksi PPPK yaitu guru harus database di Dapodik, di sisi lain guru madrasah punya wadah sendiri yaitu Simpatika. Hal ini menjadi sebuah ironi karena guru yang sudah mengabdi cukup lama tidak mempunyai kesempatan yang sama. Ini diperparah dengan kabar penghentian CPNS guru.

Padahal, lebih dari 80% guru madrasah di bawah Kementerian Agama merupakan honorer/non-ASN. Paling tidak dengan menjadi PPPK kesejahteraannya bisa lebih meningkat. Pihak Kementerian Agama saat ini masih berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait dan berharap mendapat kuota PPPK, paling tidak 100 ribu dari satu juta yang diusulkan.

Perlunya Sinergitas

Kasus-kasus di atas mungkin hanya beberapa contoh ketimpangan dalam dunia pendidikan di negara kita karena adanya dikotomi dalam institusi pendidikan yang bertentangan dengan nilai Merdeka Belajar. Saya berharap pemerintah bisa memberlakukan secara adil dan proporsional. Anak-anak mempunyai hak dan kesempatan yang sama walaupun dalam naungan yang berbeda karena undang-undang sudah mengaturnya. Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat (1) tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah dijelaskan bahwa "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu".

Hal pengalokasian bantuan, hendaklah bisa berlaku adil dan tidak meng-anaktiri-kan madrasah. Sinergi antara Kemenag dengan pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan supaya ketimpangan ini tidak berlarut-larut. Ini juga berlaku pada kebijakan menggratiskan biaya pendidikan. Pemerintah hendaknya juga memikirkan sebisa mungkin kebijakan ini juga menyentuh ranah madrasah. Ini penting supaya madrasah bisa tetap bersaing dan tidak semakin ditinggalkan.

Di atas sudah disinggung bahwa sebagian besar guru madrasah bukan berstatus ASN/PNS. Untuk itu diharapkan ada kuota yang cukup banyak dalam perekrutan PPPK tahun ini dan setelahnya. Selain untuk menaikkan kesejahteraan guru madrasah, juga mungkin untuk mengurangi beban gaji guru honorer yang selama ini ditanggung oleh pihak madrasah. Setidaknya opsi PPPK ini bisa menjadi salah satu solusi.

Ketidaksamaan hak guru tentu sedikit menciderai semangat Merdeka Belajar. Sudah menjadi rahasia umum jika guru di SMA negeri di Jawa Tengah gajinya ditanggung oleh Pemerintah Provinsi. Sedangkan guru di MA negeri gaji masih ditanggung madrasah masing-masing. Tentu penghasilan yang diterima diantara guru tersebut berbeda cukup jauh. Guru SMA negeri saat bisa tersenyum dengan jumlah penghasilan yang bisa dibilang cukup layak. Hal ini berbeda dengan guru madrasah yang gajinya menyesuaikan kondisi keuangan madrasah. Guru tidak bisa fokus dalam proses pembelajaran karena bisa jadi memikirkan nasib yang tidak menentu.

Para pemangku jabatan seharusnya bisa duduk bersama menyamakan persepsi dan bersinergi untuk menemukan jalan keluar permasalahan ini. Antara siswa madrasah dan sekolah punya hak dan kewajiban yang sama, begitu pula dengan tenaga pendidiknya. Dalam hal ini mungkin ada perwakilan dari Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Keuangan.

Guru dan siswa mempunyai peranan besar dalam menentukan arah pendidikan di Indonesia. Dengan pemenuhan hak-hak siswa, madrasah yang mendapat perhatian lebih dari pemerintah, guru madrasah mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan guru sekolah, bukan tidak mungkin merdeka belajar akan benar-benar terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun