Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menunda Pekerjaan, Penyebab dan Cara Mengatasinya

10 Februari 2024   22:48 Diperbarui: 11 Maret 2024   00:45 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menyelesaikan tugas (sumber dokumen pribadi)

Selama beberapa hari di akhir bulan Januari 2024, saya harus berkutat menghadapi pelaporan keuangan sekolah. Pengerjaan pelaporan dimulai dengan melakukan analisis Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS). 

Hasil analisis menunjukkan bahwa beberapa point perencanaan awal dalam RKAS harus mengalami perubahan. Salah satu penyebanya, karena faktor harga barang. Pada tahap penganggaran harga yang ditetapkan ternyata mengalami pergeseran dari harga saat pembelanjaan dilakukan. 

Perubahan rencana juga disebabkan oleh adanya perubahan kegiatan yang tidak terealisasi dan pembiayaannya dialihkan kepada kegiatan lain yang relevan. Tahap ini memerlukan keseriusan dan ketelitian. 

Setelah menganalisis RKAS dan melakukan perubahan,  tahapan selanjutnya adalah mengumpulkan dan menyusun bukti pembelanjaan barang dan jasa. 

Bagian ini mencakup kwitansi atau bukti pembayaran yang dilakukan sekolah (bendahara). Bukti pembayaran itu kemudian dilampirkan dengan nota belanja yang dikeluarkan oleh penyedia barang atau jasa. Penyedia ini bisa bersifat perorangan dan perusahaan (toko, warung, minimarket, dan sebagainya).

Bukti belanja atau kuitansi tersebut dicatat sedemikian rupa sesuai tanggal pembelanjaan secara berurut. Beberapa bukti pembelanjaan yang terkait dengan kegiatan harus dilengkapi dengan Surat Perintah Tugas. 

Lampiran lainnya adalah Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) jika kegiatan itu dilaksanakan di luar sekolah dan memerlukan biaya transportasi.

Sejumlah kegiatan yang terkait dengan pelatihan, workshop, bimbingan teknis, dan kegiatan lain disertai dengan panduan kegiatan, daftar hadir, catatan kegiatan, dan undangan jika memang ada undangan peserta dari luar.

Berhari-hari saya harus menyelesaikan laporan tersebut dan itu terasa agak melelahkan. Saya tidak bermaksud menulis keluhan atas kelelahan tersebut. Justru ini menjadi sebuah objek refleksi atas perilaku kerja saya yang doyan menunda-nunda pekerjaan.

Untungnya rekan-rekan di sekolah tidak membiarkan saya sendiri. Mereka ikut terlibat membantu menyelesaikan laporan tersebut. 

Ada yang membantu mencetak beberapa dokumen yang masih tersimpan dalam soft file, menyusun bukti pembelanjaan sesuai tanggal pembelanjaan, mencatat sejumlah belanja barang inventaris, atau memeriksa kembali susunan pelaporan.

Saya dan banyak orang kerap menghadapi situasi serupa dan menimbulkan tekanan psikologis. Dibutuhkan ketenangan saat berhadapan dengan situasi mendesak semacam itu. Maka, hikmah sederhana namun sangat penting atas pengalaman di atas adalah tidak menunda pekerjaan. 

"Jangan menunda pekerjaan!" merupakan pesan yang berlaku universal bagi manusia di mana saja dan kapan saja.

Mengapa menunda pekerjaan?

Ternyata saya tidak sendiri memiliki kebiasaan menunda-nunda seseuatu, dalam hal ini pekerjaan. Dilansir dari Mcclean, menurut studi tahun 2014, 20-25% orang dewasa di seluruh dunia adalah orang yang suka menunda-nunda secara kronis. Secara pribadi saya kerap menunda pekerjaan karena beberapa faktor. 

Pertama, saya tidak sedang merasa nyaman untuk menyelesaikannya. Pada titik ini pekerjaan itu tampak sebagai sesuatu yang membosankan. Kesan inilah yang terasa ketika berhadapan dengan laporan keuangan.

Saya dan mungkin banyak orang kadangkala dihadapkan kepada suatu kondisi dimana sebuah pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan riang gembira dan penuh semangat. Sebaliknya pekerjaan itu terasa menjemukan dan menguras energi.

Mungkin ini yang dimaksud oleh Jenny Yip, psikolog klinis dan direktur eksekutif Little Thinkers Center, Los Angeles, Amerika Serikat. Yip menyebutkan bahwa menunda pekerjaan berarti, "...memikirkan hal ini menyusahkan saya. Oleh karena itu, sulit bagi saya untuk menyelesaikan pekerjaan." (sumber : CNNIndonesia)

Kedua, saya sering menganggap masih ada waktu untuk menyelesaikannya. Beberapa pekerjaan tampak tidak begitu mendesak dan membiarkannya tergeletak di atas meja kerja. 

Saya memilih untuk tidak menyentuhnya sama sekali.. Namun, tanpa disadari perputaran jarum jam dan pergantian hari membawa saya tiba pada batas waktu yang makin mepet. Saat mendekati daedline saya baru menyadari bahwa seya telah melakukan kesalahan dengan menunda pekerjaan.

Ketiga, ketika berhadapan dengan pekerjaan yang terasa tidak menarik, saya memilih melakukan aktivitas lain yang memberikan semacam kesenangan. 

Aktivitas lain itu tentu saja untuk hal-hal yang bersifat positif, misalnya, menulis. Seperti Kompasianer, pada umumnya, menulis kerap membuat saya asyik dan memalingkan diri dari pekerjaan lain yang seharusnya diselesaikan.

Faktor pemicu seseorang menunda pekerjaan berbeda-beda. Setiap orang akan menghadapi situasi yang berbeda-beda. 

Sebagaimana dikutip dari Republika.co.id, pemicu itu bisa berupa stres dan kecemasan, takut gagal dan mendapatkan umpan balik negatif, kecenderungan pada perfeksionisme, depresi, dan pikiran impulsif yang menganggap menunda pekerjaan tidak menimbulkan resiko di kemudian hari.

Bagaimana mengatasi kebiasaan menunda pekerjaan?

Banyak orang percaya bahwa menunda pekerjaan bukanlah didasari sifat pemalas. Hal ini lebih disebabkan oleh amburadulnya pengelolaan waktu. 

Terlepas dari penyebab penundaan tersebut, saya menyadari satu hal bahwa perilaku ini dapat mengganggu produktivitas dan pencapaian individu maupun organisasi.  Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya? 

Pertama, Hal utama yang harus dibangun adalah kesadaran diri untuk berubah. Kesadaran ini dapat dimulai dengan memperbaiki cara pandang terhadap kebiasaan tersebut. 

Pengalaman di atas juga menyadarkan saya bahwa ada dampak negatif yang muncul akibat kebiasaan menunda pekerjaan, seperti, hasil hasil pekerjaan yang tidak optimal, dan kehilangan fokus karena limit waktu yang terbatas.

Bahkan, saya merasakan adanya semacam tekanan psikologis dalam bentuk kecemasan karena khawatir tidak dapat menyelesaikannya tepat waktu.. 

Kedua, adanya prinsip skala prioritas dalam menyelesaikan pekerjaan. Saya yakin setiap orang menggunakan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari. 

Saya sendiri pada dasarnya memiliki prinsip ini dalam menyelesaikan pekerjaan. Hanya saja dalam pelaksanaannya sering bermasalah karena faktor di atas tadi sehingga membuatnya menjadi kacau balau. 

Memang tidak mudah untuk menyelesaikan pekerjaan ketika kita berhadapan dengan pekerjaan yang membosankan. Namun dengan menyadari dampak atau resiko yang ditimbulkan akan memberikan motivasi yang kuat untuk menyelesaikannya.

Ketiga, saya mencoba membuat daftar tugas agar tetap berada pada jalurnya. Ini mungkin bersifat teknis dan sederhana tetapi akan sangat membantu memantau rentetan tugas atau pekerjaan yang telah, sedang, dan akan diselesaikan. 

Daftar tersebut juga dapat menjadi pedoman dan pengingat tentang tugas mana yang menjadi prioritas dan dapat ditunda. Daftar tugas tersebut dapat dilengkapi dengan menempatkan tanggal jatuh tempo di samping setiap item.

Keempat, jika ada waktu senggang periksa tugas-tugas tersebut. Pilihlah salah satu yang dianggap penting. Ketika mulai berpikir untuk menunda, mungkin perlu sedikit memaksakan diri beberapa saat untuk mengerjakannya. Andaipun tidak selesai paling tidak pekerjaan itu dapat dikurangi. Tinggalkan jika rasa bosan itu sudah mencapai ubun-ubun.

Cara mengatasi kebiasaan buruk menunda pekerjaan di atas bersifat relatif. Cara tersebut tidak mutlak karena pengalaman setiap orang tentu berbeda. 

Lombok Timur, 10 Februari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun