Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ibu, Pedagang Bakulan yang Telah Pergi

20 Desember 2022   05:18 Diperbarui: 20 Desember 2022   13:35 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Saban pagi, seperti biasa sebuah sepeda motor terparkir di luar pagar teralis halaman sekolah. Seorang ibu penjual sayur turun sembari menyandarkan sepeda motor itu dengan hati-hati. Sedikit kekeliruan memarkir sepeda motor bisa beresiko jatuh. Sepeda motor akan terban bersama beban berat di atas joknya berupa sebuah gerobak sayur.

"Tomatnya satu kantong, Bu," pinta Bu Atun salah seorang guru kepada tukang sayur.

Baca juga: Nafas Ibu

Bu Sri guru lainnya hanya membeli sebungkus kerupuk untuk mengiringi sarapannya pagi itu. Sebagian guru kerap membawa nasi dari rumah karena tidak sempat sarapan. Keberadaan tukang sayur sangat membantu ibu-ibu dan warga lain yang tidak sempat berbelanja kebutuhan dapur ke pasar pusat belanja kebutuhan sehari-hari.

Tukang sayur mengambil sebuah kantong plastik kecil berisi tomat dan menyerahkannya kepada Bu Atun yang ditukar dengan sejumlah uang ribuan.

Gerobak itu sarat dengan berbagai macam barang jualan. Barang-barang itu tindih-menindih dalam gerobak. Ada sayur-mayur, buah-buahan, dan beberapa jajanan pasar siap santap. Kantong plastik berukuran kecil bergelantungan pada gerobak jualan yang dirancang khusus. Kantong itu berisi toge, kacang tanah, kacang panjang, tomat, tahu, tempe, dan sebagainya. Setiap kantong sekaligus merupakan paket kemasan yang langsung dapat dibeli tanpa ditimbang atau ditakar lagi. Harganya beragam. 

Penjual sayur memiliki pasar sendiri. Pelanggannya terdiri dari para ibu guru, pegawai kantor desa, perawat di puskesmas, atau ibu rumah tangga yang jarang ke pasar.

Melihat penjual sayur itu saya teringat masa kecil ketika almarhumah Ibu menjalani profesi sebagai pedagang bakulan. Saat itu akses jalan belum ada. Ibu berjalan masuk kampung keluar kampung melintasi pematang penghubung antar kampung untuk menjajakan dagangannya. Hampir setiap pagi Ibu menjunjung bakul berisi sayur dan makanan lain yang akan dijajakan.

Almarhumah dikenal pekerja keras. Hampir sepanjang usia pernikahannya beliau membantu ayah menghidupi keluarga. Perannya tidak sekadar sebagai ibu rumah tangga tetapi juga tulang punggung keluarga mendampingi ayah.

Ayah sendiri seorang guru agama yang mengajar di sebuah sekolah dasar kala itu. Penghasilan sebagai guru pada jamannya bukanlah sesuatu yang menjamin kesejahteraan keluarga secara finansial. Kompasianer tentu ingat salah satu lagu Iwan Fals berjudul "Umar Bakri" atau membaca tokoh "Guru Isa" dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung. Dua tokoh fiktif itu memberikan gambaran kehidupan sulit guru pada masa lalu. Umar Bakri digambarkan Iwan Fals hidup bersahaja dan menyedihkan. Pergi ke sekolah dengan sepeda kumbangnya. Puluhan tahun mengabdi tetapi gajinya seperti dikebiri. 

Guru Isa juga cermin yang sama dari wajah guru yang harus menerima takdir ketidakberdayaan untuk mendapatkan kesejahteraan. Mochtar Lubis mendesain kisah kehidupan Guru Isa sebagai guru dengan gaji yang tidak mampu membahagiakan Fatimah, istrinya. Kemelaratan itu memaksa Guru Isa pernah suatu ketika nekat menjual buku milik sekolah untuk kebutuhan makan keluarganya yang sangat mendesak. Dua tokoh di atas menggambarkan kehidupan profesi guru pada suatu masa profesi itu jauh dari kehidupan layak.

Demikian pula dengan Ayah yang menjalani kesehariannya sebagai guru. Kondisi itu membuat almarhumah Ibu memposisikan dirinya tidak saja sebagai ibu rumah tangga yang sehari-hari merawat kami anak-anaknya. Namun juga mendampingi ayah sebagai tulang punggung mencari nafkah untuk keluarga. Ibu juga harus bekerja keras agar kebutuhan kami sekeluarga dapat tercukupi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun