Rupanya Adit tahu kalau saya membutuhkan bantuannya. Saya memang sering meminta bantuannya untuk membeli sesuatu atau membuang stok sampah yang sudah memenuhi bak kecil di sudut ruangan saya. Atau hal lain yang memungkinkan dilakukan anak-anak seusianya.
"Saya butuh air minum,"
"Air minum?"
"Ya. Air minum."
"Yang kemarin sudah habis?"
"Habis."
"Sekarang mau beli lagi?"
"Ya, begitu. Ini uangnya. Belikan yang botol besar. Sekalian masukkan botol ini ke dalam karung."
Saya memberikan botol plastik kosong untuk dikumpulkan dengan botol bekas lainnya. Sekolah berinisiatif mengumpulkan botol-botol bekas untuk dijadikan bahan ecobrick. Sebuah program sekolah yang bertujuan mengurangi sampah di sekitar sekolah.
Saya juga menyodorkan selembar 20 ribuan. Aditya tersenyum sumringah. Senyum itu menunjukkan sebuah harapan bahwa saya akan memberikan sebagian uang kembalian kepadanya. Memang begitu. Biasanya saya selalu memberikan uang kepada anak-anak kalau saya meminta mereka membeli sesuatu. Tidak banyak. Tetapi itu cukup membuat mereka senang. Mungkin dengan begitu mereka merasa dihargai.
"Ke mana Dit?" tanya Topan teman sekelasnya di gerbang sekolah sambil berlari mengejar Aditya. Pada saat yang sama, tampak Heri, Reza, dan Yuga menyusul di belakangnya.
Saya kembali ke ruangan untuk melanjutkan perkejaan. Sepuluh menit berlalu, Aditya sudah kembali dengan sebotol air mineral produk lokal. Aditya langsung menuju ruangan saya. Dia melangkah masuk dengan sedikit membungkukkan tubuh sebagai sikap hormat.
"Ini airnya, Pak,"
"Terima kasih, ya," tanpa menoleh saya terus berkonsentrasi pada screen laptop.
Aditya sejenak diam dan meletakkan botol itu di atas meja. Di samping botol, dia juga meletakkan uang kembalian. Aditya membalikkan badan hendak keluar.
"Adit!" saya memanggilnya sebelum langkahnya mencapai pintu.
"Iya Pak."
Saya melirik uang kembalian di atas meja. Ada selembar uang 10 ribu, dua lembar 2 ribu, dan sekeping uang logam seribu rupiah. Saya mengambil selembar 2 ribu dan kepingan logam.
"Ini buat Adit."