Dalam era digital dan globalisasi, tantangan baru muncul bagi akuntan dan auditor syariah. Teknologi seperti big data, blockchain, dan AI membuka peluang sekaligus risiko bagi praktik audit. Kode etik profesi harus terus diperbaharui agar tetap relevan, misalnya dengan memasukkan aturan tentang penggunaan teknologi untuk menjaga kerahasiaan data dan mencegah penyalahgunaan informasi (Nasution, 2019).
Lebih jauh, kompetensi auditor yang memahami kode etik Islam dengan baik menjadi faktor kunci untuk menghadapi tantangan tersebut. Pelatihan etika berbasis Islam dan sertifikasi profesional menjadi sarana untuk memperkuat kapasitas auditor agar mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengabaikan nilai-nilai moral (Wulandari & Khasanah, 2021).
Â
Hubungan Kode Etik dengan Standar Audit Syariah
Kode etik profesi akuntan Islam tidak berdiri sendiri, melainkan bersinergi dengan standar audit syariah yang dikeluarkan oleh organisasi seperti AAOIFI dan Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI). Standar ini mengatur prosedur teknis audit, sementara kode etik memastikan auditor menjalankan prosedur tersebut dengan integritas moral dan spiritual.
Integrasi ini menjadikan audit syariah bukan sekadar proses verifikasi laporan keuangan, tetapi juga sebuah proses evaluasi kepatuhan yang holistik terhadap prinsip-prinsip Islam. Ini mempertegas bahwa audit syariah adalah perwujudan dari konsep ibadah sekaligus profesionalisme (Nasution, 2019).
Â
Studi Kasus: Dampak Pelanggaran Kode Etik
Kasus-kasus pelanggaran kode etik auditor di lembaga keuangan syariah telah menunjukkan dampak negatif yang besar terhadap industri. Misalnya, kegagalan auditor dalam mengungkap praktik riba tersembunyi atau ketidakpatuhan syariah dapat menimbulkan krisis kepercayaan dan kerugian besar bagi nasabah.
Oleh karena itu, lembaga pengawas dan asosiasi profesi terus menekankan pentingnya penguatan kode etik melalui pengawasan ketat, pelatihan etika berkelanjutan, dan sanksi tegas bagi pelanggar (AAOIFI, 2021).
Â