Namun bagi masyarakat miskin ini jadi masalah, jangankan untuk menyediakan HP, saat membeli paket internet saja mereka harus berpikir dua kali. Mereka kwatir tidak bisa mencukupi kebutuhan primer-nya. Belum lagi diminta untuk mengoperasionalkan HP dengan segala macam aplikasinya, dimata mereka itu masih asing dan sangat sulit untuk di pahami. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Menurut saya berikut ada dua solusi yang bisa kita terapkan dalam menyikapi persoalan Kelas Online:
Alihkan Dana PKW Untuk Kelas Online
Seminggu yang lalu saya bertukar pendapat dengan salah seorang anggota Dewan kabupaten Aceh Utara, yang sekaligus pemilik sebuah Sekolah Menengah Atas. Beliau mengatakan belum lama ini Kemendikbud melalui Direktorakat Kursus dan Pelatihan telah menggulirkan sebuah program yang bertajuk Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW). Program ini digagas untuk lembaga pendidikan dan LSM, dengan bantuan dana bisa dikatakan lumayan besar.Â
Diprediksikan peserta yang akan mengikuti menelan biaya sekitar Rp.6000.000 per siswa. Bapak dewan tersebut berencana akan mengajukan proposal untuk ikut dalam program PKW. Kemudian saya mencoba membayangkan, jika peserta yang akan ikut pelatihan tersebut berjumlah sekitar 100 orang, maka akan menghabiskan biaya sekitar Rp.600.000.000. Baca lengkap di laman berikut.
Program tersebut bersifat pendidikan ekstra dan hanya berakhir dengan selembar sertifikat tanpa adanya rencana tindak lanjut yangn jelas. Apa jadinya bila dilakukan oleh beberapa sekolah, yang akan mengikut sertakan seribuan siswanya, maka akan ada serapan dana dalam jumlah milyaran bahkan lebih. Bukankah dana tersebut sebaiknya dialihkan untuk menambal kekurangan lain yang menyangkut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Sistem Karantina Siswa
Saya berpikir untuk mengakali persoalan kelas online perlu menyatukan siswa dalam satu tempat yang aman. Sistem ini bisa dikatakan karantina atau lebih enak untuk disebut dengan Boarding School. Kebanyakan orangtua sudah lelah terhdap belajar secara online, bila memang memungkin sudah bisa menerapkan sistem  asrama yang memungkin siswa untuk belajar secara tatap muka dan kembali bisa bermaian dengan teman sekelasnya.
Memang akan banyak tantangan untuk melaksanakan metode ini, kita butuh fasilititas pendukung. Berbicara tentang fasilitas, lagi-lagi membuat kita geleng-geleng kepala, karena akan menguluarkan dana lagi. Setiap tantangan pasti ada jalan keluarnya, misalnya dengan memfungsikan bangunan sekolah untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Karena siswa sudah menetap satu tempat, maka jadwal belajar akan bisa di sesuaikan dengan pembagian waktu menyesuaikan dengan keadaan dan jumlah ruang tersisa setelah adanya ruang kelas yang dijadikan tempat tinggal mereka.
Tentunya dalam melakukan motode ini tetap harus memperhatikan dan menerapkan protokol kesehatan. Setelah menjalani semacam rapid test ataupun uji klinis lainnya, dan mendapatkan hasil yang dirasa aman untuk dilaksanakan boarding school. Maka program ini saya rasa menjadi salah satu solusi juga dalam mengatasi polemik Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Menunggu kapan akan berakhir pandemi Covid-19 ini, hingga saat ini belum ada kepastiannya dan bahkan angka penyebarannya semakin tinggi. Siap ataupun tidak, kita harus bisa mengambil langkah-langkah yang nyata untuk lahirnya generasi cerdas di era pandemi ini. Jangan sampai dunia melebelkan siswa era pandemi adalah siswa yang tidak bisa diandalkan akibat merenggangnya kedisiplinan belajar masa-masa dilanda ketakutan terhadap virus corona.
Banda Aceh, 02 Agustus 2020
Moehib Aifa