Langkah ini justru mempertegas bahwa relasi antara elite politik dan rakyat sedang berada pada titik nadir. Publik melihatnya bukan sekadar soal rotasi, melainkan bukti nyata betapa jarak antara janji dan kenyataan begitu menyakitkan.
Demokrasi Massa atau Anarki?
Pertanyaan besar yang muncul: apakah aksi penggerudukan rumah Sahroni adalah wujud dari demokrasi massa atau sekadar anarki?
Secara normatif, demokrasi memberikan ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, melakukan protes, bahkan menuntut pertanggungjawaban wakilnya. Namun, ketika protes berubah menjadi perusakan dan penjarahan, esensi demokrasi tercoreng.
Di sisi lain, aksi brutal ini tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari akumulasi kekecewaan mendalam: korupsi yang tak kunjung selesai, gaya hidup mewah pejabat yang mencolok, dan ucapan-ucapan politisi yang merendahkan rakyat. Ketika saluran formal tidak mampu menyalurkan aspirasi, rakyat mencari jalan sendiri---meski destruktif.
Dengan kata lain, amuk massa adalah gejala dari "krisis representasi" dalam demokrasi Indonesia.
Refleksi Demokrasi di Indonesia
1. Demokrasi yang Tersandera Oligarki
Banyak pengamat menilai bahwa demokrasi Indonesia kini tersandera oligarki. Partai politik dikuasai elite yang dekat dengan modal besar, sehingga rakyat hanya menjadi penonton. Ketika wakil rakyat tampil dengan gaya hidup mewah, jarak sosial semakin nyata.
2. Kegagalan Komunikasi Politik
Ucapan Sahroni adalah contoh kegagalan komunikasi politik. Di tengah gejolak, seorang politisi seharusnya meredakan ketegangan, bukan memprovokasi. Kata-kata yang merendahkan justru memperkeruh keadaan.