Malas berolahraga adalah kehidupanku selama 25 tahun. Asyik dengan buku atau bahkan sekedar bermain sosial media dengan dalih update informasi terbaru. Beberapa tahun ini rasanya terlalu banyak tantangan hingga rintangan dalam mempertahankan hidup. Setelah badai panjang di Oktober 2019 karena ribuan salahku, aku mengapresiasi diriku yang berhasil bangkit menyelesaikan studi sarjana berkat Dosen Pembimbingku yang luar biasa di awal Tahun 2022 lalu. Meski sempat menghilang 3 minggu, namun karena motivasi tertentu yang aku temui di akhir 2021 aku menyelesaikan bab pembahasanku dalam waktu 2 minggu. Â Lulus tepat waktu 3 tahun 7 bulan, meski telfonku sempat berdering di pagi hari "mas kamu pahamkan dengan tugas akhirmu ?". Pada kesempatan lain aku ingin bercerita bagaimana hebatnya Dosen Pembimbing Sarjana-ku, bukan hanya membimbing dalam tugas akhir namun juga kehidupan terlebih dalam seni kehidupan berumah tangga, beliau juara. Bahkan mungkin jika dibuat novel aku sudah menyiapkan beberapa judulnya "Rindu Bengawan Solo" Â atau "Ketika Jarak Menjadi Doa: Sepucuk Rindu dari Surakarta untukmu yang Jauh di Sana" atau "Putri Solo, Tunggu Aku Kembali".
Dunia kerja telah menyibukkan diriku pada sesuatu yang asing. Sebagai lulusan sarjana hukum terlalu banyak gap antara "das sollen" dengan "das sein" yang harus dihadapi. Ilmu di bangku kelas yang kuhadiri tiap pagi itu ternyata hanya menyumbang 50 % (lima puluh persen) kemudahan, sisanya seperti seni mempertahankan hidup yaitu belajar mandiri atau tidak akan mengerti selamanya sampai mati. Â Merasa kurang ilmu pada dua tahun lalu, aku memutuskan melanjutkan pendidikan di Kota Lunpia, almamater yang sama dengan pendidikan sarjanaku. Kehidupan yang seharusnya beranjak bahagia karena bekerja di lingkungan suportif, memiliki pasangan, memiliki kedua orangtua yang sangat menyayangi diriku. Namun bayangan indah itu sirna, bagaimana tidak baru sehari masa orientasi pendidikan, masih ingatkah pada motivasiku untuk bangkit pada 2021 lalu ? pergi meninggalkan karena terhalang restu. Â Meski telah berusaha meningkatkan pendidikan, telah bekerja, mungkin itu belum cukup bagian sebagian orang. Tak perlu dihakimi karena hidup adalah pilihan terlebih jodoh itu terkadang misteri. Namun aku semakin menyadari bahwa kehidupan ini memang terkadang membutuhkan motivasi, tapi pada akhirnya semua itu bergantung pada diri sendiri.
Lantas, setelah sekian purnama yang terjadi mengapa akhirnya baru bergerak untuk "Berlari Bukan Hanya Membakar Kalori, Namun Juga Memori" ? Layaknya peribahasa tak ada asap kalau tak ada api. Namun di sini bukan tempat bercerita untuk itu. Intinya tak ada kata terlambat. Â Akan jauh lebih baik jika kisah mendalam itu dituliskan secara serius atau dilanjutkan dalam sebuah Novel dalam judul "Tak Selalu di Garis Bahagia" novel proyek setelah skripsi yang tak pernah kunjung usai atau bahkan aku dapat menggantinya dengan judul khusus "Kau dan Aku Sama Saja" atau bahkan jika lebih mendalam "Tak Selamanya Diam itu Emas" atau jika ingin lebih meromantisasi maka aku akan memilih judul "Hati Seluas Samudera" atau "Gemuruh Hatimu Tak Pernah Kutahu". Â Perlu dipanjang-panjangkan karena tiada mungkin kita menduga dalamnya lautan dalam hati seseorang tanpa pernah diungkapkan.
Hari ini aku memilih berlari bukan hanya sekedar "Membakar Kalori, Namun Juga Memori". Mengenang dan menemukan kembali bahwa masih ada halaman indah nan baik di kampus patung kuda, meski sebagian besarnya penuh derita dan nestapa. Â Pagi ini, langit di atas Kampus Diponegoro masih malu-malu membuka dirinya. Kabut tipis menggantung rendah di antara pepohonan hijau yang mengelilingi Fakultas, menciptakan siluet halus seperti lukisan cat air yang belum kering. Dedaunan basah oleh embun semalam, dan udara terasa sejuk, sejuk yang bukan hanya menyentuh kulit, tapi juga menusuk ke dalam pikiran. Di kejauhan, kicauan burung bersahutan, seolah sedang menyusun simfoni kecil untuk menyambut pagi. Jalanan kampus belum sepenuhnya ramai. Hanya dipenuhi pelari dengan mata setengah terbuka, sebagian besar mereka membawa kalori dan memori.
Sama seperti diriku, yang tatapannya kosong, membawa kalori dan memori. Pikirannya jauh terlalu jauh hingga aku hampir tak mendengar suara burung, tak mencium aroma tanah basah, tak peduli lagi pada kesejukan udara yang biasanya aku syukuri. Hanya terus berlari membakar kalori dan memori. Meski berlari namun rasanya seperti terhenti, bak berdiri di tengah persimpangan, tanpa tahu arah mana yang benar-benar menjadi tujuan, meski telah ditentukan. Apakah ini selalu tentang jatuh hati ? Aku yakin bukan. Namun ada keraguan yang diam-diam menghantui: "Benarkah aku tahu ke mana harus melangkah, setelah lari ini usai?" Tapi ini bukan tentang soal berlari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI