Kantor pusat Direktorat Jenderal Pendidikan Sekolah terlihat megah di pagi itu. Matahari baru saja mengintip dari balik gedung-gedung tinggi, menyinari lapangan apel di mana puluhan pegawai berkumpul dengan rapi. Di tengah kerumunan, seorang pejabat tinggi, Bapak Tawil, berdiri gagah di atas podium. Suaranya lantang menggema. Â
"Saya tegaskan sekali lagi, tidak ada toleransi untuk penyuapan di instansi ini! Gratifikasi dalam bentuk apa pun adalah pelanggaran etik dan hukum. Kita harus menjaga integritas!"
Sorak-sorai pegawai mengiyakan. Di barisan belakang, Aldo, seorang pegawai baru yang polos dan idealis, mengangguk antusias. Baginya, pidato itu seperti angin segar di tengah kabar buruk tentang korupsi yang sering ia dengar. Â
Beberapa minggu kemudian, Aldo mendapat tugas menangani permohonan izin mendirikan sekolah. Terdapat seseorang pemilik Yayasan Sekolah bernama Pak Giwo. Prosesnya berjalan lancar, dan Pak Giwo sangat terbantu. Suatu sore, ia mendatangi meja Aldo dengan amplop cokelat. Â
"Ini sedikit terima kasih, Mas," bisik Pak Giwo sambil menyodorkan amplop. Â
Aldo menolak dengan halus. "Maaf, Pak, saya tidak bisa menerima ini. Layanan kami memang sudah seharusnya." Â
Melihat penolakan itu, Pak Giwo justru tersenyum kecut. "Kalau begitu, saya serahkan langsung ke atasan Bapak saja." Â
Tak lama, dari balik pintu kantor Bapak Tawil, Aldo melihat Pak Giwo masuk. Penasaran, ia berjalan mendekat. Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, ia menyaksikan Pak Giwo menyerahkan amplop itu. Bapak Tawil awalnya berpura-pura menolak, tapi akhirnya mengambilnya dan menyimpannya dengan cepat di laci meja. Â
Aldo terpaku. "Tapi tadi pagi, beliau bilang gratifikasi dilarang..."
Keesokan harinya, Aldo sengaja menunggu Bapak Tawil di ruang kerjanya. Dengan hati-hati, ia bertanya, "Pak, izin bertanya. Kalau ada yang memberi uang terima kasih setelah kita membantu, apakah itu diperbolehkan?".Â
Bapak Tawil menghela napas, wajahnya berubah serius. "Oh, tidak boleh itu do. Itu bagian dari gratifikasi. Kita harus menghindari itu."
Aldo mengangguk, tapi di dalam hatinya bergolak. "Padahal beliau sendiri menerimanya."Â
Ia teringat kutipan dari penulis Rusia abad ke-18 bernama Denis Leary yang pernah ia baca:Â
"Setiap orang punya rahasia di balik layar, dan saya punya sejuta rahasia di balik layar, percayalah. Saya menguji batasan itu; saya memaksakannya. Setiap kali seseorang yang berwenang menyuruh saya untuk tidak melakukan sesuatu, saya melakukannya hanya untuk mencari tahu mengapa mereka melarangnya." Â
Hidup memang penuh dengan manipulasi. Orang yang berpidato lantang tentang kejujuran, bisa saja justru yang paling dalam kubangan kepalsuan. Larangan yang digaungkan seringkali bukan untuk ditaati, tetapi untuk menutupi pelanggaran si pembuat aturan.
Rahasia di balik larangan? Kepalsuan dan kemunafikan. Aldo belajar satu hal: jangan percaya pada jawaban yang sederhana, karena kebenaran seringkali tersembunyi di balik pertanyaan. Â
(Selesai)
Malang, 5 April 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI