Dalam teori ekonomi makro, uang berperan sebagai medium pertukaran, satuan hitung, serta penyimpan nilai. Peran ini hanya akan optimal apabila uang yang beredar di sistem perekonomian benar-benar terserap melalui aktivitas konsumsi, investasi, maupun belanja pemerintah. Apabila uang tidak terserap atau mengalami excess liquidity, maka fungsi intermediasi perbankan terganggu dan target pertumbuhan ekonomi berpotensi tidak tercapai.Â
Dalam konteks Indonesia, fenomena ini sering muncul ketika terdapat ketidakseimbangan antara kebijakan moneter dan fiskal, serta ketika perilaku masyarakat lebih cenderung menahan uang dibanding menggunakannya untuk aktivitas produktif. Dalam kerangka makroekonomi, pemerintah sering menggunakan instrumen fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui belanja negara.Â
Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah mengucurkan dana sebesar Rp200 triliun ke dalam sistem perekonomian dengan harapan meningkatkan konsumsi, investasi, serta mempercepat pemulihan ekonomi. Akan tetapi, berdasarkan teori fiskal dan moneter, injeksi likuiditas yang besar tidak otomatis mendorong pertumbuhan apabila uang tersebut tidak terserap secara optimal oleh sektor riil.
Faktor Penyebab Tidak Terserapnya Dana Rp200 Triliun
- Struktur Belanja Pemerintah. Jika sebagian besar stimulus Rp200 triliun lebih banyak dialokasikan untuk belanja rutin atau subsidi konsumtif (misalnya bansos jangka pendek), dampak pengganda terhadap pertumbuhan jangka panjang rendah. Belanja modal produktif seperti infrastruktur dan teknologi memiliki multiplier lebih besar, namun butuh waktu realisasi lebih panjang. Menurut teori fiskal Musgrave (1959), belanja pemerintah seharusnya diarahkan untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang. Namun jika lebih banyak dialokasikan pada belanja rutin, efek pengganda fiskal menjadi kecil.
- Kendala Intermediasi Perbankan. Uang pemerintah masuk ke perbankan, tetapi bank menerapkan prinsip kehati-hatian tinggi. UMKM yang menjadi target stimulus sering kesulitan memenuhi syarat kredit. Akibatnya, dana mengendap di bank tanpa mengalir ke sektor riil.
- Tingkat Suku Bunga yang Relatif Tinggi. Dalam teori klasik (Dornbusch & Fischer, 1990), tingginya suku bunga mengurangi minat investasi. Di Indonesia, meskipun BI Rate atau BI 7-Day Reverse Repo Rate diturunkan, suku bunga kredit komersial tetap tinggi akibat risk premium.
- Ketidakpastian Ekonomi dan Politik. Faktor global seperti ketegangan geopolitik atau fluktuasi harga komoditas membuat pengusaha menahan ekspansi meskipun dana stimulus tersedia. Dalam kondisi ini, pelaku usaha lebih memilih wait and see, sehingga uang tidak terserap. Keynes menekankan pentingnya expectation. Ketidakpastian politik, gejolak global, atau inflasi yang tidak stabil membuat pelaku ekonomi memilih menahan uang dalam bentuk tabungan atau deposito (Keynes, 1936).
- Daya Beli Masyarakat Lemah. Meski stimulus digelontorkan, jika masyarakat lebih banyak mengalokasikan bantuan untuk tabungan atau pelunasan utang, maka konsumsi agregat tidak meningkat signifikan. Hal ini sejalan dengan teori Keynes bahwa konsumsi bergantung pada marginal propensity to consume (MPC).
- Kapasitas Penyerapan Sektor Riil Rendah. Sektor usaha di Indonesia banyak menghadapi keterbatasan teknologi, manajemen, dan produktivitas, sehingga meskipun ada ketersediaan kredit, sektor riil enggan memperbesar kapasitas produksi (Sukirno, 2010).
Dampak yang Terjadi Terhadap Perekonomian
- Multiplier Effect yang Melemah. Teori fiscal multiplier (Musgrave, 1959) menyatakan bahwa setiap belanja pemerintah akan menciptakan dampak ganda terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun jika Rp200 triliun hanya terserap sebagian, maka multiplier yang diharapkan, misalnya 1,5 sampai dengan 2 kali lipat tidak terjadi. Dampak ekonomi riil menjadi lebih kecil dibandingkan dengan stimulus yang digelontorkan.
- Kredit dan Konsumsi yang Stagnan. Dana Rp200 triliun seharusnya mengalir melalui berbagai skema, seperti subsidi, belanja infrastruktur, atau dukungan UMKM. Jika masyarakat lebih memilih menabung atau jika perbankan masih selektif menyalurkan kredit, maka uang tersebut tidak berputar dalam roda ekonomi. Menurut Keynes (1936), hal ini menciptakan fenomena liquidity trap di mana injeksi dana tidak meningkatkan konsumsi dan investasi.
- Risiko Fiskal Jangka Panjang. Kementerian Keuangan membiayai stimulus ini melalui APBN, sebagian dengan utang. Apabila penyerapan uang rendah, penerimaan pajak tidak meningkat sebanding, sehingga beban utang dan defisit fiskal membesar tanpa menghasilkan pertumbuhan yang signifikan (Dornbusch & Fischer, 1990).
- Kesenjangan Sektor Riil dan Finansial. Friedman (1968) menekankan pentingnya transmisi moneter. Rp200 triliun yang mengendap di sektor finansial tanpa mengalir ke UMKM, infrastruktur produktif, atau investasi baru hanya menimbulkan likuiditas semu. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi stagnan meskipun indikator moneter menunjukkan likuiditas meningkat.
- Tingkat Pengangguran Tinggi. Dengan lemahnya permintaan agregat, perusahaan akan menunda ekspansi, menurunkan produksi, bahkan melakukan efisiensi tenaga kerja. Akibatnya, pengangguran meningkat dan daya beli masyarakat semakin menurun, menciptakan lingkaran melemahkan ekonomi (Mankiw, 2016).
Implikasi bagi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Dana Rp200 triliun yang digelontorkan Kementerian Keuangan menunjukkan komitmen fiskal untuk mendorong pertumbuhan. Agar kebijakan yang sudah diputuskan bisa berjalan dengan efektif, maka kebijakan fiskal harus diarahkan lebih banyak ke belanja produktif dengan multiplier tinggi, seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.Â
Kebijakan moneter Bank Indonesia perlu mendukung dengan menjaga stabilitas suku bunga dan mendorong bank agar lebih agresif menyalurkan kredit, khususnya kepada UMKM, dan koordinasi fiskal--moneter menjadi kunci agar stimulus tidak hanya menambah likuiditas di perbankan, tetapi benar-benar terserap ke sektor riil.
Pengucuran dana Rp200 triliun oleh Kementerian Keuangan merupakan langkah besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun jika uang tersebut tidak terserap optimal, dampak yang dihasilkan jauh lebih kecil dari harapan. Tidak terserapnya uang dalam sistem perekonomian Indonesia menjadi hambatan signifikan dalam pencapaian target pertumbuhan ekonomi.Â
Sesuai dengan teori fiskal dan moneter, uang yang tidak beredar secara produktif akan mengurangi efektivitas kebijakan makroekonomi, melemahkan daya beli, menghambat investasi, dan pada akhirnya menurunkan potensi pertumbuhan. Uang baru akan memberi kontribusi nyata ketika berputar dalam konsumsi, investasi, dan belanja produktif.