Kewenangan Presiden untuk memberikan abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Namun dalam praktiknya, pemberian abolisi dan amnesti bukan hanya tindakan hukum semata, tetapi juga menjadi bagian dari strategi politik. Dalam konteks ini, political marketing menjadi lensa yang relevan untuk menganalisis motif dan dampak dari kebijakan tersebut. Nicholas J. O'Shaughnessy dalam buku "The Phenomenon of Political Marketing" Tahun 1990, menjelaskan bahwa politik modern beroperasi layaknya pemasaran, di mana persepsi publik menjadi arena utama untuk mempertahankan kekuasaan dan legitimasi.
Dalam buku "Political Marketing: Theory and Concepts" Tahun 2013, Ormrod dkk memperluas konsep political marketing menjadi lebih strategis dan relasional, tidak lagi sekadar taktik kampanye, melainkan sebagai kerangka kerja interaktif antara aktor politik dan masyarakat. Ormrod dkk. memperkenalkan pendekatan "Strategic Political Marketing", yang mencakup aspek partai/kandidat sebagai organisasi pemasaran, interaksi partisipatif dengan pemilih, dan adaptasi terhadap lingkungan politik.
Konsep Political Marketing
O'Shaughnessy mengemukakan bahwa political marketing bukan sekadar promosi kandidat atau partai, tetapi proses kompleks untuk membentuk persepsi, menjual citra, dan membangun relasi emosional antara elite politik dan masyarakat. Ia membagi political marketing dalam beberapa dimensi utama: produk politik (policy dan ideologi), promosi (komunikasi publik), distribusi (akses ke kekuasaan dan opini publik), serta branding kandidat dan partai. Dalam konteks ini, keputusan Presiden dapat dimaknai sebagai bagian dari strategi membentuk citra kepemimpinan yang inklusif, tegas, atau bahkan rekonsiliatif.
Political Relationship Marketing
Ormrod dkk. menyatakan bahwa hubungan antara partai/kandidat dengan publik harus dipahami seperti hubungan bisnis dengan pelanggan: berorientasi jangka panjang, berkelanjutan, dan berbasis kepercayaan. Dalam konteks ini, keputusan Presiden memberikan abolisi atau amnesti bukan hanya untuk "mengatasi krisis", melainkan juga sebagai strategi membangun loyalitas politik dalam jangka panjang, baik terhadap pendukung maupun elite partai dan jaringan teknokrat.
Amnesti atau pengampunan terhadap tokoh seperti Lembong bisa dilihat sebagai sinyal kepada komunitas profesional dan investor bahwa pemerintah tetap memberikan ruang "rekonsiliasi" dan penghormatan atas kontribusi mereka di masa lalu. Dukungan politik terhadap Hasto bisa dimaknai sebagai penguatan hubungan emosional dengan akar rumput PDIP dan konsolidasi internal partai.
Market Orientation dalam Political Strategy
Buku "Political Marketing: Theory and Concepts" dan "The Phenomenon of Political Marketing" memperkenalkan konsep market-oriented party, yakni partai atau pemimpin politik yang bersikap adaptif terhadap keinginan dan harapan pemilih. Dalam konteks ini, Presiden dapat membaca peta persepsi publik terkait keadilan, loyalitas politik, dan stabilitas nasional, lalu mengemas keputusan abolisi atau amnesti sebagai produk politik yang sesuai dengan selera mayoritas pemilih.
Dalam situasi di mana publik merasa hukum digunakan secara selektif, pemberian abolisi dapat dikomunikasikan sebagai koreksi atas penyimpangan sistem hukum itu sendiri, dan karenanya mendapatkan simpati. Sebaliknya, jika publik menghendaki penegakan hukum tanpa kompromi, maka tidak mengambil tindakan abolisi atau amnesti juga bisa menjadi market signal bahwa Presiden mendengar aspirasi rakyat.
Political Branding dan Ideological Consistency
Ormrod dkk menekankan bahwa keberhasilan strategi political marketing juga tergantung pada konsistensi ideologis dan kohesi pesan. Seorang pemimpin yang sering "menjual pengampunan" tanpa dasar moral dan hukum yang kuat, justru dapat merusak brand politiknya. Jika Presiden konsisten membangun brand kepemimpinan berintegritas dan reformis, maka setiap tindakan abolisi/amnesti harus dijustifikasi dengan narasi nilai seperti keadilan restoratif, rekonsiliasi nasional, atau penghargaan terhadap jasa tokoh. Kegagalan membangun narasi ini akan membuat keputusan tersebut dianggap sebagai "politik balas budi" dan memperlemah legitimasi kepemimpinan di mata publik.
Environmental Analysis dan Tactical Responsiveness
Buku "Political Marketing: Theory and Concepts" dan "The Phenomenon of Political Marketing" juga menekankan bahwa political marketing harus selalu mempertimbangkan lingkungan politik; media, opini publik, oposisi, dan lembaga negara lain. Dengan kata lain, keputusan abolisi/amnesty harus menjadi bagian dari taktik adaptif terhadap tekanan politik. Jika Hasto diserang oleh oposisi atau media sebagai simbol keterlibatan elite dalam skandal, maka respons Presiden melalui strategic silence atau public statement (bukan abolisi langsung) bisa menjadi bentuk pengelolaan citra politik yang lebih tepat. Demikian pula, jika Lembong dianggap sebagai korban konflik kepentingan antar elite, maka keputusan amnesti bisa menjadi alat untuk menurunkan tensi dan menunjukkan keberpihakan pada stabilitas politik nasional.
Analisis Strategi Political Marketing
Dalam kerangka O'Shaughnessy, keputusan yang diambil Presiden untuk memberikan abolisi dan amnesti dapat dilihat sebagai political marketing dalam bentuk:
Product Repackaging. Presiden dapat mengemas keputusan abolisi sebagai bentuk reformasi hukum, menyuarakan bahwa "hukum tidak boleh dijadikan alat politik", sehingga mendulang simpati dari masyarakat sipil dan pemilih moderat.
Audience Segmentation. Segmentasi target audiens menjadi penting. Publik pro-Hasto dan kalangan nasionalis akan melihat ini sebagai bentuk keberpihakan politik terhadap kader partai. Sementara dalam kasus Lembong, pemberian amnesti atau perlindungan hukum bisa dilihat sebagai bentuk "perlindungan" terhadap kalangan profesional dan investor.
Emotional Branding. Amnesti bisa menjadi simbol "rekonsiliasi nasional" atau "politik memaafkan", yang memperkuat narasi kepemimpinan humanis. Ini beresonansi dengan strategi emotive marketing sebagaimana dikaji O'Shaughnessy.
Crisis Containment. Dalam kondisi krisis atau skandal politik, abolisi atau amnesti dapat digunakan untuk meredam gejolak dan meminimalkan kerugian elektoral jangka panjang, menjadikan ini sebagai instrumen damage control ala political marketing.
Akan tetapi, pemanfaatan kewenangan ini juga menimbulkan dilema etis. Apabila digunakan secara manipulatif, akan berpotensi melemahkan supremasi hukum dan menciptakan persepsi bahwa kekuasaan berada di atas hukum. O'Shaughnessy sendiri mengingatkan bahwa political marketing yang tidak berakar pada nilai akan merusak kepercayaan publik dan menjadikan politik hanya sebagai "pertunjukan" pencitraan.
Pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden tidak hanya merupakan tindakan hukum, tetapi juga dapat menjadi bagian dari strategi political marketing. Melalui pendekatan dari Ormrod, Henneberg, dan O'Shaughnessy, dapat disimpulkan bahwa kewenangan Presiden dalam memberi abolisi dan amnesti dapat dianalisis sebagai bagian dari strategi political marketing yang bersifat relasional, responsif, dan berbasis segmentasi publik.
Dalam konteks kasus Hasto dan Lembong, setiap keputusan Presiden bukan hanya produk hukum, melainkan juga produk politik yang berfungsi membangun dan mempertahankan kepercayaan politik, serta memperkuat narasi ideologis dan branding kepemimpinan dalam arena demokrasi kontemporer. Oleh karena itu, transparansi, akuntabilitas, dan kehati-hatian mutlak diperlukan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut agar tidak mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI