Political Branding dan Ideological Consistency
Ormrod dkk menekankan bahwa keberhasilan strategi political marketing juga tergantung pada konsistensi ideologis dan kohesi pesan. Seorang pemimpin yang sering "menjual pengampunan" tanpa dasar moral dan hukum yang kuat, justru dapat merusak brand politiknya. Jika Presiden konsisten membangun brand kepemimpinan berintegritas dan reformis, maka setiap tindakan abolisi/amnesti harus dijustifikasi dengan narasi nilai seperti keadilan restoratif, rekonsiliasi nasional, atau penghargaan terhadap jasa tokoh. Kegagalan membangun narasi ini akan membuat keputusan tersebut dianggap sebagai "politik balas budi" dan memperlemah legitimasi kepemimpinan di mata publik.
Environmental Analysis dan Tactical Responsiveness
Buku "Political Marketing: Theory and Concepts" dan "The Phenomenon of Political Marketing" juga menekankan bahwa political marketing harus selalu mempertimbangkan lingkungan politik; media, opini publik, oposisi, dan lembaga negara lain. Dengan kata lain, keputusan abolisi/amnesty harus menjadi bagian dari taktik adaptif terhadap tekanan politik. Jika Hasto diserang oleh oposisi atau media sebagai simbol keterlibatan elite dalam skandal, maka respons Presiden melalui strategic silence atau public statement (bukan abolisi langsung) bisa menjadi bentuk pengelolaan citra politik yang lebih tepat. Demikian pula, jika Lembong dianggap sebagai korban konflik kepentingan antar elite, maka keputusan amnesti bisa menjadi alat untuk menurunkan tensi dan menunjukkan keberpihakan pada stabilitas politik nasional.
Analisis Strategi Political Marketing
Dalam kerangka O'Shaughnessy, keputusan yang diambil Presiden untuk memberikan abolisi dan amnesti dapat dilihat sebagai political marketing dalam bentuk:
Product Repackaging. Presiden dapat mengemas keputusan abolisi sebagai bentuk reformasi hukum, menyuarakan bahwa "hukum tidak boleh dijadikan alat politik", sehingga mendulang simpati dari masyarakat sipil dan pemilih moderat.
Audience Segmentation. Segmentasi target audiens menjadi penting. Publik pro-Hasto dan kalangan nasionalis akan melihat ini sebagai bentuk keberpihakan politik terhadap kader partai. Sementara dalam kasus Lembong, pemberian amnesti atau perlindungan hukum bisa dilihat sebagai bentuk "perlindungan" terhadap kalangan profesional dan investor.
Emotional Branding. Amnesti bisa menjadi simbol "rekonsiliasi nasional" atau "politik memaafkan", yang memperkuat narasi kepemimpinan humanis. Ini beresonansi dengan strategi emotive marketing sebagaimana dikaji O'Shaughnessy.
Crisis Containment. Dalam kondisi krisis atau skandal politik, abolisi atau amnesti dapat digunakan untuk meredam gejolak dan meminimalkan kerugian elektoral jangka panjang, menjadikan ini sebagai instrumen damage control ala political marketing.
Akan tetapi, pemanfaatan kewenangan ini juga menimbulkan dilema etis. Apabila digunakan secara manipulatif, akan berpotensi melemahkan supremasi hukum dan menciptakan persepsi bahwa kekuasaan berada di atas hukum. O'Shaughnessy sendiri mengingatkan bahwa political marketing yang tidak berakar pada nilai akan merusak kepercayaan publik dan menjadikan politik hanya sebagai "pertunjukan" pencitraan.