Mohon tunggu...
Mochammad Ariq Ajaba
Mochammad Ariq Ajaba Mohon Tunggu... Pramusaji - Mahasiswa Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus

Seorang mahasiswa yang berusaha peduli tentang dunia perpolitikan di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sepenggal Cerita Pendakian Pertama di Puncak Natas Angin Gunung Muria

19 Juni 2020   00:20 Diperbarui: 8 April 2021   08:21 9381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesona Puncak Natas Angin Gunung Muria dengan Kehadiran Elang Terbang di Langit Biru. dokpri.

Bagi kalangan pendaki khususnya pendaki asal Jawa Tengah, pasti sudah tidak asing lagi mengetahui Puncak Natas Angin. Ya, banyak kalangan pendaki mengatakan, saat berada di Jawa Tengah, belum lengkap rasanya bila belum mendaki Gunung 3 M (Merapi, Merbabu, Muria).

Sampai sekarang ini, penulis baru bisa mendaki ke Gunung Muria saja, karena disamping penulis masih terbilang pemula dalam dunia kependakian, disamping itu juga Gunung Muria letaknya berada di kota tempat penulis tinggal, yaitu Kota Kudus.

Gunung ini memiliki lima puncak (menurut pengetahuan penulis : Puncak Natas Angin, Puncak 29, Puncak Argopiloso, Puncak Abiyoso, dan Puncak Argojombangan). Bayangkan saja, satu gunung memiliki 5 puncak, dengan pesona alam yang indah pada setiap puncaknya, membuat penulis tidak terburu-buru untuk mendaki gunung di luar kota.

Dari kelima puncak tersebut, penulis baru menggapai 3 puncak saja. Salah satunya yang kini penulis ceritakan, yaitu Puncak Natas Angin.

Puncak Natas Angin merupakan puncak tertinggi di Gunung Muria, ketinggiannya berkisar 1700 mdpl. Bila ingin mendaki ke puncak tersebut, cukup mudah akses jalan dari pusat Kota Kudus menuju basecamp pendakian. Dari Alun-Alun Simpang 7 Kudus, cukup menuju ke arah utara, lalu mengikuti arah jalan yang bertuliskan ke arah Kecamatan Gebog, kemudian menuju ke arah Desa Rahtawu (Desa paling utara di Kabupaten Kudus).

Dari desa ini sudah bisa merasakan sensasi hawa dinginnya udara daerah pegunungan. Apalagi, penulis beserta rombongan kala itu berangkat menuju basecamp pendakian pada malam hari berkisar jam 9 malam. Memang sudah sesuai rencana jika start tracking pendakian pada malam hari, supaya pada dini hari sudah sampai di puncak nya dan pagi hari nya bisa menikmati sunrise di puncak (rencana awal). 

Penulis beserta rombongan sampai di basecamp tepat pukul 22.00 WIB. Basecamp tersebut kalau tidak salah bernama basecamp pertapaan abiyoso, karena sebelum sampai puncak, melewati sebuah gapura. Konon tempat tersebut sebagai tempat pertapaan abiyoso (maaf kalau salah).

Bagi pendaki pemula puncak natas angin sangat cocok untuk digapai. Tak khayal jika puncak natas angin sering dikunjungi oleh remaja-remaja yang baru pertama kali muncak. Termasuk penulis sendiri. Estimasi waktu dari basecamp menuju puncak kurang lebih memakan waktu 4 jam. Namun, berhubung pada pendakian kali ini ada dua orang yang baru pertama kali muncak, yaitu penulis dan satu rekan perempuan membuat perjalanan pendakian terkesan molor.

Terlebih rekan perempuan penulis selalu minta break setiap 15 menit sekali. Maklum, namanya juga pemula dan baru pertama kali muncak. Walaupun begitu, penulis dan rombongan tetap menikmati perjalanan di malam hari kala itu, tanpa merasa mengeluh sama sekali.

Karena itulah nikmatnya pendakian yang bisa langsung bergesekan dengan alam. Suasana damai, udara sejuk berhembus pada setiap nafas masing-masing, ditambah dengan selingan berupa gurauan dari rekan lain membuat kami tak merasakan lelah sedikitpun.

"Semangat-semangat" , "Ayo puncak lima menit neh yoo" , "Pokoke tekan puncak kudu gawe mie, serius aku ngeleh" . Itulah beberapa kalimat yang penulis masih ingat, yang bisa dikatakan sebagai kata penyemangat dalam setiap langkah kami saat mendaki.

Dan benar-benar terasa betapa alami nya gurauan-gurauan tersebut, berbeda disaat bergurau seperti biasanya yang terkadang malah terkesan garing. Pendakian terus berlanjut, diiringi lagu Zona Nyaman, Aku Tenang, milik Fourtwnty, dan beberapa lagu indie lainnya  membuat perjalanan kami benar-benar terasa lengkap.

Tak terasa kami sampai di pos 3, dimana jalur ini setelahnya berupa trek seperti memutari gunung. Bahasa anak gunung apa ya, intinya setelah pos 3  jalur trek nya naik dengan pola zig-zag sampai ke atas.

Jujur, namanya juga manusia, rasa lelah pasti berdatangan. Ditambah tekstur jalan berupa tanah bebatuan membuat tenaga kami terkuras. Apalagi rekan perempuan kami yang kala itu setiap ujung pola zig-zag meminta istirahat. Tapi tak mengapa, kami saling mengerti. Inilah nikmatnya kebersamaan, tidak egois, selalu mengedepankan kebersamaan. 

Jangan khawatir, pendakian malam hari bukan berarti perjalanan gelap gulita, selama membawa senter pasti tetap bisa lanjut mendaki, ditambah cahaya rembulan membuat indahnya pendakian malam hari kala itu. Belum lagi jika menengok kearah selatan, para pendaki pasti akan disuguhkan berbagai cahaya-cahaya lampu dari rumah penduduk. Indah sekali, itulah kalimat yang pasti keluar dari mulut insan masing-masing.

Sesekali kami mengabadikan momen tersebut pada setiap smarthphone kami, sekedar untuk memperindah story instagram dan whatssapp kami. Hehehe. Tapi berhubung diatas tidak ada sinyal, mau tidak mau nge-post nya waktu turun gunung. Wkwkwkwk.

Kala itu, jam menunjukkan pukul 01.00. Ternyata kami tidak sesuai dengan rencana awal, yang seharusnya pada jam tersebut kami sudah berada di puncak natas angin, ternyata kami masih di Pertapaan Abiyoso. Faktor pengalaman menjadikan kami tidak sesuai dengan estimasi waktu, mau tidak mau kami bermalam di tempat tersebut. Karena, seluruh rombonan termasuk penulis sendiri sudah merasakan lelah yang tak karuan. 

Singkat cerita, keesokan harinya. Kami sama sekali tidak ketinggalan momen sunrise. Terbangun dengan kondisi masih ngantuk, namun dengan cepat rasa kantuk hilang disaat duduk termenung menghadap Sang Surya terbit. Tak lupa kami mengabadikan momen sunrise tersebut. Walaupun belum sampai puncak, pemandangan kala itu benar-benar bagus. Betapa indah ciptaan=Nya.

Lanjut, kami memutuskan untuk tetap mendaki menuju puncak. Dengan trek yang naik, seolah-olah kepala kami bertemu dengan lutut terus-menurus, ditambah trek yang cukup licin membuat kami harus berhati-hati kala itu. Kemudian, trek tersebut berubah menjadi jalan setapak yang landai, sedikit menanjak, samping kanan kiri kami berupa jurang.

Menyadarkan kami semua bila kami sudah berada di Dragon Track atau Jalur Naga, jalur yang terkenal di perjalanan menuju Puncak Natas Angin. Kala itu, cuaca sedang bersahabat dengan kami, membuat kami menjadi rileks dan menikmati setiap perjalanan kami.

Kurang lebih pukul 09.00 WIB, kami sudah berada di Puncak Natas Angin, perasaan senang, bahagia, terharu, lelah, bercampur menjadi satu dalam pikiran kami. Khususnya penulis dan rekan perempuan kami yang sama-sama pemula sekali.

Baca Juga: Sebelum Mendaki ke Gunung Lawu, Bukit Mongkrang Sangat Cocok untuk Pendaki Pemula

Seperti biasa, kami berfoto ria di sana. Walaupun sesampainya disana kami bertemu dengan kabut, tidak membuat kami sedikitpun merasa kecewa, justru kami bersyukur akan nikmat-Nya yang telah diberikan kepada setiap insan di bumi.

Terasa cukup untuk mengabadikan momen, kami langsung turun, kami juga menyadari kala itu jika kami harus mengejar waktu karena salah satu rekan kami pukul 14.00 WIB harus berangkat kerja. Bisa terbayang bagaimana kami turun dengan sedikit melangkah cepat namun tetap hati-hati. Ada yang unik disaat perjalanan turun, kami melihat sekumpulan binatang menyerupai kera (posturnya melebihi kera) sedang mengayun-ayun di pohon. 

Hal tersebut membuat kami percaya, bahwa kawasan Gunung Muria masih terbilang asri, belum sepenuhnya dijamah oleh manusia untuk kepentingan duniawi.

Inilah yang harus dilestarikan bersama, tidak merusak ekosistem hutan supaya hewan yang bisa hanya dilihat di daerah gunung bisa tetap hidup dan terjaga kelestariannya. Tidak hanya hewan saja, tumbuh-tumbuhan juga, jangan asal menebang pohon sembarangan. Biarlah alam bertumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya tanpa campur tangan manusia. 

Tak terasa berada di penghujung kepenulisan, kesimpulan yang dapat penulis ambil dari perjalanan pendakian ini, hidup di dunia jangan bersifat sombong, angkuh, karena kita semua hanya bagian terkecil dari alam semesta ini.

Sudah sepantasnya kita senantiasa bersyukur akan nikmat-Nya, menata sikap kita untuk selalu menabur kebaikan kepada sesama, alam. Karena sejatinya kita hidup berdampingan dengan alam semesta. Dan tak kalah penting, dari pendakian ini penulis semakin yakin akan hobi baru penulis, yaitu mendaki gunung.

Meskipun pada setiap perjalanan menuju puncak rasa lelah, ingin cepat turun, namun percayalah, rasa candu akan terus menghiasi hidup kalian bila sudah sampai dirumah. Maka dari itu, mendaki gunung itu mengasyikan! Salam Lestari!

Nb: Pendakian dilaksanakan bulan Desember 2019, dan dengan rasa bangga saya angkat ke bentuk penulisan di Kudus, 19 Juni 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun