Sore itu, kamu meneleponku. Kamu katakan kalau kamu ingin bertemu. Sore itu juga.Â
"Saat senja masih manja, " katamu dengan suara ria.Â
Dan sore itu, kamu mengungkapkan cintamu. Kamu bilang, tak ada salahnya jika perempuan yang menyatakan cintanya duluan. Walaupun belum terbiasa.Â
Kamu memang serba terburu.Â
Datangmu begitu kilat. Pergimu tak kalah cepat. Ketika suatu sore aku lihat ada panggilan darimu.Â
"Iya. Senja ini juga. "
Dan di tempat yang sama, di senja yang tak kalah jingganya, kamu bilang bahwa kita sepertinya lebih baik berpisah sementara.Â
Tak ada penjelasan. Katamu juga. Karena cinta memang cuma bisa dirasakan. Penjelasan kata kata hanya kebohongan atas nama cinta.Â
Hanya saja kali ini kamu tak mau memelukku lagi.Â
Maaf, ya?Â
Tak ada air mata. Tak ada duka. Tak ada yang luka.Â
Aku sendiri tetap tersenyum melihat semua tingkahmu. Tapi, kali ini sebetulnya aku pengen memelukmu. Anggaplah sebagai pertanda perpisahan. Sebagai ucapan terimakasih karena sudah mencintaiku juga boleh.Â
Sayang, aku tak bisa mengungkapkan. Entah. Tapi kamu sudah tak mau mengerti. Kamu sudah menjadi kamu lagi.Â
Kemudian, setiap sore, setiap senja adalah senja dan sore yang sama. Datang dan pergi begitu saja. Aku juga tak peduli.Â
Kadang aku lihat pasangan yang sedang menikmati senja. Mereka begitu mesra. Mereka begitu bahagia.Â
Saat itu, aku sering teringat kamu. Ingin memelukmu.Â