Malam berjalan begitu lambat sekali. Biasanya bangun sudah Subuh, sekarang jam 2 sudah terbangun dan tak bisa tidur lagi.Â
Ada seekor cicak terbengong sendirian di dekat fotoku. Mungkin dia juga sedang memandangku dengan penuh pertanyaan. Biasanya kamar ini gelap, sekarang terang terus.Â
"Tok tok.. "
Aku diamkan saja.Â
"Tok tok... Ini ibu. "
Aku bangun untuk membukakan pintu. Malas banget. Pasti akan diajak ngobrol banyak lagi.Â
"Aku takut Mas Diyo seperti bapak. "
"Tidak semua seperti itu. Kamu harus bisa membuang bayang bayang itu. "
"Tapi bu, Bapak juga dulu baik. Baik banget. Tapi... "
"Lupakan bapakmu. Kamu harus hadapi masa depan mu sendiri. "
"Aku takut, Bu. "
Sudah seminggu ini, ibu selalu menguatkan tekadku yang nyaris tersungkur di titik minus. Mas Diyo sudah datang bersama keluarga nya sebagai tanda kesungguhan hatinya untuk menjadi bagian hidupku. Justru aku yang semakin dibayangi ketakutan.
"Diyo beda, " kata Arini sahabatku yang sudah punya dua bocah lucu lucu.Â
"Gara-gara bapak. "
"Jangan salahkan bapakmu. Kamu harus memaafkan dan melupakan segala kesalahan bapakmu. Jangan terus seperti ini. Hidupmu sendiri yang menjadi mengerikan nantinya. "
Arini kadang mengeluhkan suaminya juga. Yang tidurnya ndengkurlah. Yang mandinya lamalah. Yang kalau ngopi gelasnya ditaruh asallah.
"Bukan berarti berkeluarga tak ada masalah. Kamu kan tahu sendiri aku juga sering cerita sama kamu. Tapi enaknya juga banyak. Tapi aku gak bisa cerita banyak yang enak enak. Apalagi kalo gituan... "
"Ih.. "
Aku harus tetap melangkah ke depan. Betul kata ibu. Betul kata Arini. Inj duniaku. Aku yang menjadi aktornya. Bukan bapak. Sekali lagi, bukan bapak.Â