Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar: Antara Kreativitas Guru dan Kebahagiaan Peserta Didik

30 Agustus 2020   11:41 Diperbarui: 30 Agustus 2020   11:36 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan "Merdeka Belajar" sudah diambil.  Kebijakan yang menjadi upaya perbaikan terhadap kondisi pendidikan di negeri ini.  Sesuai dengan janji Mas Menteri Nadiem Makarim setelah proses pembelajarannya di Kementerian Pendidikan dilakukannya.

Apa "Merdeka Belajar"

Ada empat kebijakan dalam program "Merdeka Belajar".  Pertama, perubahan USBN (Ujian Sekolah Berstandar nasional) menjadi tinggal US sebagai penentu kelulusan peserta didik.  Selama ini, acuan dalam penyelenggaran pendidikan tentunya adalah UU Sisdiknas.  Akan tetapi, dalam pelaksanaan pendidikan sendiri ada beberapa persoalan berkaitan ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan UU Sisdiknas itu sendiri.

Salah satu dari ketidakkonsistenan pelaksanaan pendidikan dengan UU Sisdiknas adalah penyelengaraan Ujian.  Siapa yang berhak menguji seorang peserta didik?  Dalam UU sisdiknas sudah dituliskan dengan sangat jelas bahwa yang berhak menguji seorang peserta didik adalah guru.  Bukan kementerian pendidika dan kebudayaan.  Mesakukkan unsur standar nasional, sangat jelas memasung apa yang seharusnya menjadi hak seorang guru.

Pelaksanaan ujian sekolah juga cukup dilaksanakan oleh sekolah.  Sehingga sekolah dapat dinilai melalui kemampuan melaksanakan ujian sekolah ini.  Sekolah memang dituntut untuk mampu menerjemahkan setiap kompetensi yang ada dalam kurikulum.

Guru dalam kondisi demikian akan semakin terpacu untuk mampu menerjemahkan setiap kompetensi dalam proses pembelajarannya.  Selama ini, banyak guru yang tidak mampu menerjemahkan komptensi dalam kurikulum karena semua sudah diatur di kementerian.  Semua sudah ada. Tinggal duduk rapi.  Dan segalanya sudah tersedia.

Guru yang dimanja seperti ini, jelas tak memiliki kreativitas apa pun.  Guru cenderung pasrah pada aturan demi aturan yang membelenggu dirinya.  Menjadi guru yang baik cenderung dimaknai sebagai guru yang diam dan taat pada apa yang sudah digariskan oleh kementerian atau dinas pendidikan.

Jika ada guru yang mencoba berkreativitas kadang malah menjadi guu yang bunuh diri.  Karena setiap guru yang mencoba keluar dari pakem akan dicap sebagai guru bandel dan tak tahu aturan.  Guru yang mencoba memahami kebutuhan peserta didik dan kebutuhan lingkungannya memang terkadang harus keluar dari pakem yang selalu bersifat nasionalistik tersebut.  

Dan keluar pakem berarti akan dihukumi sebagai keluar jalur oleh Dinas Pendidikan dan oleh pengawas sekolah.  Pengawas lebih sering muncul sebagai monster yang siap melahap apa pun kreativitas guru yang muncul.

Belum lagi bicara kondisi kepala sekolah yang sangat penakut terhadap aturan.  Aturan seperti malaikat kebenaran yang tak boleh diutak atik sedikit pun.  Tafsir merupakan tindakan desersi yang harus selalu dihindari.

Kedua, penghapusan UN.  Kungkungan yang paling nyata terhadap kreativitas guru adalah makhluk yang bernama UN tersebut.  "Merdeka Belajar" telah menghapus kukungan kreativitas guru tersebut melalui penghapusan UN.

Apa keberhasilan seorang guru di sekolah?

Tak ada ukuran lain selain nilai UN.  Bahkan di Jakarta, nilai UN seorang siswa akan mempengaruhi tunjangan kinerja gurunya.  Guru yang mengajar di sekolah bagus seperti SMP N 115 Jakarta dan SMA N 8 Jakarta akan selalu mendapat tunjangan kinerja lebih baik dari guru yang mengajar di sekolah lain.

Nilai UN menjadi bah malaikat sekaligus monster.  Sehingga, kegiatan di sekolah harus semuanya menuju ke satu arah yaitu kenaikan nilai UN peserta didik.  Pada setiap bulan Juli, peserta didik kelas sembilan akan selalu diingatkan, sekaligus diteror dengan keharusan memiliki UN tinggi. Karena nilai UN adalah segalanya bagi kehidupan mereka.

Pembelajaran di kelas sudah tidak ada senang-senangnya sama sekali.  Semua mata hati dan pikiran cuma terisi oleh strategi memenangkan UN.   Dan air muka setiap peserta didik sudah terpenuhi oleh soal-soal UN.

Persaingan untuk mendapatkan nilai tertinggi semakin parah.  Sehingga, peserta didik, bukan hanya mempersiapkan UN ketika bulan Juli, di hari pertama ketika menginjakkan kaki di kelas sembilan, tetapi mereka sudah memprediksi UN ketika baru saja menginakkan kaki di sekolah tersebut.  Dari mulai kelas tujuh sudah mulai melakukan pendalaman-pendalaman materi menghadapi UN yang akan mereka hadapi tiga tahun mendatang.

Alangkah tersiksanya peserta didik di negeri ini.  Sehingga, penghapusan UN dari dunia pendidikan adalah sebuah pembebasan yang paling nyata terhadap kondisi tegang karena perang menghadapi UN.

Bukan hanya peserta didik.  Guru juga selalu mendapat intimidasi dari kepala sekolah.  Guru mapel UN kelas sembilan selalu dimanja sekaligus selalu diancam akan dipindah mengajar di kelas delapan atau kelas tujuh jika perolehan UN sama dengan perolehan tahun lalu, apalagi jika turun.  Pelaku intimidasi biasanya kepala sekolah.  

Kenapa kepala sekolah melakukan intimidasi?  Karena kepala sekolah juga posisi diintimidasi oleh kepala dinas.  Nilai UN turun, kepala sekolah akan dibuang menjadi kepala sekolah di sekolah pinggiran.  

Kenapa kepala dinas melalukan intimdasi?  Karena kepala dinas juga diintimidasi oleh walikota atau bupati jika nilai UN turun di kota atau kabupaten tersebut, maka kepala dinas harus siap siap meninggalkan kursi empuknya.  Dan bupati tentu diintimjdasi oleh rakyatnya, jika UN turun secara politis akan dimanfaatkan oleh lawan politik untuk menyerang dia dalam pilkada berikutnya.

UN menjadi pembunuh kreativitas guru.  Jangankan membuat kreativitas lebih, baru membuat soal berbentuk esai saja sudah ditegur karena tidak akan berpengaruh terhadap nilai UN.  Cukup drill  peserta didik dengan soal-soal pilihan ganda.  Soal esai memang melatih pemikiran kritis tapi tak berpengaruh terhadap nilai UN.  Maka tinggalkanlah!

Ketiga, RPP cukup satu lembar.  Apa sih yang dimaksud dengan RPP selama ini?  Hanya bukti administratif.  Guru tak pernah bikin RPP sendiri, cukup kopi paste.  Cukup punya, walau entah mendapatkannya dari mana.  Sehingga, jangan terlalu heran jika kemudian muncul para pedagang RPP berkeliling ke sekolah-sekolah menjajakan dagangannya berujud RPP yang sudah jadi.

Bagaimana guru memahami RPP jika membuatnya saja tak pernah?

Hal ini terjadi karena RPP yang terlalu membebani.  Guru yang sudah harus mengajar dengan jam mengajar cukup banyak karena keharusan agar mendapatkan uang sertifikasi sesuai aturan kementerian yang sudah mematok minimal jam mengajar, di sisi lain, guru juga harus melakukn penilaian yang semakin njlimet sesuai aturan kementerian, tetap harus membuat RPP yang hingga 13 komponen tersebut.  Maka, jalan pintas menjadi wajar dilakukan guru untuk menyiasati waktu mereka yang sudah habis.  Membeli RPP.

Padahal RPP seharusnya menjadi jiwa dalam pembelajaran.  RPP harusnya menjadi ruh sebuah proses di kelas.  RPP menjadi sebuah perencanaan matang yang sangat berkonteks di kelas masing-masing.  Tak ada RPP yang sama untuk semua guru.  Bahkan untuk guru yang mengajar mapel yang sama di sekolah yang sama.  Karena setiap kelas dan setiap peserta didik memiliki karakteristiknya masing-masing yang tak boleh diabaikan oleh seorang guru dalam proses pembelajaran di kelas.

Jika guru membuat RPP sendiri.  Guru mendasarkan pada konteks kelasnya masing-masing.  Mendasarkan pada perkembangan masyarakat di lingkungannya.  Maka, guru sangat bisa mengeluarkan kreativitasnya masing-masing.  Guru akan dicintai oleh peserta didiknya karena mampu membangun harapan yang sesuai dengan harapan mereka dalam proses pembelajarannya. 

RPP satu lembar jelas menjadi sebuah jalan keluar yang sangat bagus untuk meningkatkan keativitas guru.  Karena guru sudah tidak terbelenggu hanya pada tuntutan adminkistratif belaka.  Guru bisa melanglang, mengeluarkan segala potensi yang dimilikinya.

Keempat, menuju zonasi yang berkeadilan.  Guru pandai tak seharusnya berkumpul di sekolah yang memiliki fasilitas lengkap dan peserta didik yang rata-rata dari orangtua mampu.  Guru hebat harus dididtribusikan ke seluuruh sekolah.  Sehingga setiap sekolah dapat berlari bersama.

Peserta didik yang dizonasikan dan guru yang diredistribusi akan menjadikan setipa sekolah menjadi sekolah yang hebat.  Tak ada lagi kastaisasi sekolah.  Tak ada lagi ada perbedaan perlakuan yang diskrimkiatif.

Setelah "Merdeka Belajar"

Solusi "Merdeka Belajar" baru menjadi langkah pembuka menuju pendidikan nasional yang bermutu.  Harus ada langkah-langkah lanjutan yang lebih untuk membangun pendidikan nasional bermutu tersebut.

Pertama, menciptakan suasana belajar di sekolah.  Sekolah bukan hanya menjadi ajang pembelajaran bagi peserta didik.  Sekolah juga harus menjadi ajang belajar para gurunya. 

 Bukan pemandangan aneh jika guru selalu merasa sudah bisa.  Mereka sulit sekali diajar belajar karena mereka merasa sudah pada tahap mengajar.  Kalau sudah mengajar berarti berhenti belajar.  Padahal, perkembangan dunai begitu cepat.  Keenganan guru untuk belajar akan menjadi guru semakin tertinggal.  Dan guru yang tertinggal akan menjadikan ketertinggalan yang akut terhadap peserta didiknya.

Membangun suasana belajar harus menjadi prioritas.  Saat pandemi Covid-19 muncul, terlihat sekali bagaimana gagapnya para guru dalam menjalankan suasan baru yaitu pembelajaran jarak jauh secara daring.  Banyak sekali yang gagap dengan teknologi.  Hal demikian menjadi bukti terang bederang bahwa guru selama ini memang enggan untuk terus belajar. 

Jangan tanyakan tentang kompetensi profesional guru.  Uji Kompetensi Guru yang sudah dilakukan oleh kementerian sudah sangat jelas menunjukkan bagaimana rendahnya kompetensi guru.  Dorongan untuk terus belajar akan menjadikan guru dapat menyesuaiakn keilmuannya. 

Kedua, dorongan peningkatan kreativitas guru.  Guru selama ini terbelenggu aturan-aturan yang tak jelas tujuannya.  Ketika aturan yang membelenggu itu dibuka, guru harus mampu membangun kreativitasnya setinggi mungkin.  Tak ada alasan apa pun, untuk terus amlas berkreasi.

Program Guru Penggerak seharusnya menjadi rangkaian yang sangat baik untuk mendorong kreativitas guru dalam pemebelajaran.  Bukan hanya diberi ruang, kreativitas guru dalam program guru penggerak justru dipicu dan dipacu agar semakin melambung tinggi.

Omong kosong besar jika pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan berupaya meningkatkan mutu pendidikan ansional tanpa menyentuh kreativitas guru yang sekarang ini mandeg. Guru adalah inti dari kemajuan pendidikan.  Guru yang hebat akan mampu memajukan pendidikan walaupun kurikulum berantakan.  Janganlah, pemerintah terlalu sibuk dengan kurikulum tapi melupakan gurunya.  Sudah saatnya, guru menjadi prioritas dalam setiap program pemerintah.

Semoga kepala sekolah penggerak, pengawas penggerak, dan kepala sudin penggerak akan menjadi jalan kreativitas guru semakin menaik menjulang hingga ke aras paling diharapkan.

Jika semua itu terpenuhi, sekolah akan menjadi temapat paling membahagiakan peserta didik.  Suatu hari, akan banyak peserta didik yang enggan pulang ke rumah karena sekolah sangat menyenangkan hatinya.  Tak ada lagi mimpi sekolah hebat, karena sudah emnjadi kenyatan.

Demikianlah sumbang saranku sebagai guru. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun