Mohon tunggu...
Mochacinno Latte
Mochacinno Latte Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

day dreamer, art holic, coffee holic, painter, technocrat wanna be, author for his own satisfaction, idea creator

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ontran-ontran Ngarcopodo Seri 7 : Kyai Srondol Al Maidah Nikmatul berfatwa

26 Oktober 2016   20:02 Diperbarui: 27 Oktober 2016   15:12 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Minggu Pagi di desa Parang Pojok tak seperti biasanya, Minggu ini terasa sepi, nglangut dan sedikit berkabut macam hati yang lagi kalut. Pagi itu begitu dingin terasa, padahal ini musim kemarau, tapi entah kenapa sedari subuh gerimis rintik-rintik menaburi Tanah Ngarcopodo, memberikan kedamaian bagi mereka yang semalem lemburan nonton bola, dan main koprok, memberi kelonggaran bagi para petani untuk bernapas dan beristirahat barang sejenak, sebab palawija dan padi mereka tak perlu dipompakan air.

Namun dari kejauhan ujung desa sayup-sayup terdengar obrolan dan sesekali tawa renyah dari kejauhan. Obrolan khas kaum proletar khas kaum bawah yang hampir termarjinalkan oleh kuasa-kuasa serakah kaum borjuis yang haus tahta, derajat harta dan tahta. Mereka ngobrol, ngganyik tak tentu arah di warung Yu Ginah, warung di sebrang Pasar Impres Parang Pojok. Tak pernah sepi, selalu ramai dan riuh bak acara ILC di tipi-tipi selalu ada perdebatan dan cengkrama khas kaum bawah yang merdeka.

“mmmh mememmeh… mhhhmmm mhhm mhhm haam (ndak terima pokok nya besok kita habisi)” Bagong sontak berusaha berteriak-teriak dengan mulut yang penuh dengan gedang goreng melihat tayangan brita TV. Terang saja gedang goreng yang tadinya aman tentram dan damai di dalam mulut Bagong muncrat. Yang sedinya cuwilan-cuwilan gedang goreng dalam mulut itu menunggu proses biologis dengan terarut dan penuh amanah, mendadak menyembur keluar, muncrat kesana-kemari, membabi buta, liar tak bertuan seperti brita-brita hoax  dari Buzzer yang menjadi viral di dunia sosmed, dan perkopian jagad Ngarcopodo pun jadi riuh.

Semburan-semburan itu liar bagai isyu-isyu politik hari ini, menyambar menyemprot apa saja di depannya tanpa pandang bulu, tanpa ampun dan tanpa tedeng aling-aling, dengan telak dan tepat pula muka Yu Ginah yang sedinya menyodorkan kopi pesanan Bagong terjebak oleh arus semburan liar pisang goreng Bagong. Susur nikmat Yu Ginah dalam mulut pun terkontaminasi oleh aroma asam ludah Bogong yang terkandung di dalam semburan gedang goreng.

“aseeeeeeeeeeeeeem………… Kang Bagooooooong….” Yu Ginah kaget, marah, nesu, dan mbesengut. Disautnya susur dalam mulutnya, lalu dia celupkan susur itu ke kopi yang sedianya di hidangkan untuk Bagong. dan

“plaaaak….” Sukses itu susur nempel di jidat Bagong.


Bagong pun kaget dan njondil. Keduanya sama-sama kaget, persis seperti kondisi masyarakat Ngarcopodo jaman sekarang yang mudah kagetan dan gumunan terhadap sesuatu yang dianggapnya bikin gumun.

“hahahaha… bruakakakaka…. Cekakaka” Lenon dan Cahyo ngekek tak terkendali melihat kejadian itu yang kebetulan mereka lagi ngewarung juga di Warung Yu Ginah.

“ngopo to Kang Bagong? ada apa?, kok kagetnya sampai membabi buta begitu” ucap Lenon penuh selidik.

“hahahaha, iya nggilani tenan, lagian Sampeyan ngomong apa to Kang Bagooong… telan dulu, kunyah dulu, baru bicara.” Tuah Cahyo sambil nyruput kopinya.

“lhaa… lhaa… lhaa ini lho. Besok itu Minggu tow? Katanya mau ada demo besar-besarnya, dari berbagai Ormas Islam dan berbagai organisasi daerah. Masih inget tow? Masalah kasus penistaan agama tempo hari oleh Lurah ibu kota ngarcopodo si Kohar itu. Ini sudah keterlaluan, harkat dan martabat saya terberangus saudara. Saya ndak terima apa iya kalian mau diam saja, menyaksikan keyakinan kita diinjak-injak, dicemoohkan, dijadikan bulan-bulanan? Aku tidak terimaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……….” Bagong bicara penuh semangat setengah pidato, berdiri di atas kursi kaki kanan dinaikkan di atas meja, tangan kiri malang kerik berkacak pinggang sedang tangan kanan mengacung kepalan kedepan sambil mengenggam gedang goreng.

“heh muduun muduun.. turuun turuun, tadi mukaku sampeyan semprot nanti kalau sampai kenapa napa. Tak balang munthu ulekan sambel sampeyan Kang!!” teriak Yu Ginah mengamankan kondisi dan situasi sebelum terjadi kerusuhan di warung kecilnya.

“iya Yu.. haduh.. mangaap mangap, habis saya menggebu-ngebu semangat sekali kalau masalah yang satu ini, ndak terima saya, saya tidak mau diinjak-injak” sayut Bagong membela diri.

Lenon malah mesam-mesem sambil nyauri menjawab “gaya mu kang kang, Lagu lu.., lawong mbeliin hand body buat istri kamu wae masih nyicil sama Lik Limbuk kok nggaya, wuu…” Lennon Nyindir agak nyiyir ala komentator jamaah Sosmediyah yang budiman.

“hahahaha… “ Cahyo malah tertawa terbahak-bahak ngga karu karuan, sambil menahan kelu diperutnya, ketawa sejadi-jadinya, gulung koming ROL kata anak masa kini.

“weeh malah diguyu, malah ngakak, kamu sekalian minta tak demo apa Yo.. Cahyo… tak demo didepan rumahmu 7x24 jam x 30 hari x 12 bulan, ben kapok biar kapok, perlu tak bawain PPIS (Pederasi pembela Islam Sih), mauu.. mauu…” semprot Bagong sewot bukan kepalang,

Dipegangnya krah Cahyo dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya masuk ke dalam slempitan ketiaknya, siap-siap membaui Cahyo dengan jurus andalannya “Ketiak Like n Share, dijamin masuk syurga”.

Yang terjadi, Bukannya Cahyo girap-girap ketakutan tapi malah tambah kepingkal-pingkal.. “muhahahahah… muahaha.. muahahaha” tawa Cahyo menjadi-jadi bagai para Wakil Rakyat ngarcopodo mendapat Gratifikasi wanita Slavik dari para Cukong Proyek mata sipit.

“heeeh.. wis-wis, sudah sudah. Ini apa tow. Ngapain kalian pada ribut. Yang rusuh kan Kelurahan sebelah, ngapain kita ikut campur. Biarin saja, ayo ngopi lagi, cerita bola tadi malam saja… politik melulu, ngga seru, bosen aku.” Lenon merelai mereka, dengan menarik tangan keduanya, untuk kembali duduk bareng dan makan telo atau ubi rebusnya Yu Ginah.

“sek lho Kang, mohon maaf ini, sepurane, aku ora ngece lho iki, tidak menghina. Keki saja, sampeyan sama seja dengan mereka-mereka itu yang waton njeplak, asal halo-halo masjid, mbokya sabar dulu, lawong Kang Bagong itu Sholat aja senen-kemis kaya puasa sunah kok, nggodain Jeng Prapti Janda ujung desa tiap hari, kok mau membela Alloh. Mau membela agamaNya. Wong sampeyan membela diri sendiri dari api neraka jahanam saja ndak becus, sampeyan memantaskan diri didepan Gusti saja belum bisa, kok mau membela. Ibaratnya kalau ada perang di sebuah kerajaan, maka kita harus latihan dulu, badan sehat, kuat, ahli bela diri, baru mengajukan diri untuk membela kerajaaan. Lha sampeyan penyakitan, kudis, kurap, paru-paru, ginjal dll.. apa nanti ndak malah ngrepoti para rombongan yang sedianya mau tempur.. gimana itu. Haha” cerocos Cahyo bagai juru kampanye ngarcopodo.

“Lho kan.. lho kan mulai, tak buntel tali jemuran bener ini mulut mu Yoo.. Cahyo. “ mangkel Bagong sembari ngremet telo rebus.

“uwiiis too.. ra usah sok-sokan ikut-ikutan orang-orang itu, sok-sokan jadi Ahli tafsir, sok-sokan mrekenteng padahal nggak paham, ngaji aja ngga pernah kok sok-sokan jadi ahli tafsir. Ndak usah ikut-ikutan ngremin Al Maidah 51. Wis sini-sini ngopi.” Ajak Lenon kembali merelai mereka.

Mereka meneruskan obrolannya serunya walau masih terjadi perang dingin kecil-kecilan antara Bagong dan Katon. Terdengar dari kejauhan suara cekiki tawa seorang tua, makin mendekat makin keras dan makin menjadi-jadi.

“muahahaha.. cekikiki… ahihihi.. muahahahaha…” njedul keluar mak bedunduk dengan payung daun pisangnya, dari kabut pekat pagi itu dan menyingkap gerimis Kyai Srondol ketawa geli sejadi-jadinya.

Terang saja semua yang ada di situ mendadak jadi diam dan ndomblong terheran-heran dengan tingkah Kyai Srodol, semua mematung pada posisi masing masing.

 sejurus kemudia Lenon menanya dengan sedikit nada menghardik, “ ngopo to Mbah Kyai, ada apa Mbah Yayi.. enten nopo, datang-datang kok njegigrik tertawa ndak karu-karuan, mbok ya uluk salam gitu biar kaya Kyai beneran gitu lho, kaya di tipi-tipi itu.” Hardik lenon menyela tawa Sang Kyai.

“Muahahahahahah… ahihihi.. koplaak.. koplaak.. ahihihi.. iki apik iki… muahahaha” timpal Sang Kyai membalas pertanyaan Lenon dan tak mempedulikannya, malahan dia tertawa menjadi-jadi.

“Kyai Sableng..!!” celetuk Bagong.

“Pak Kyai mau ngunjuk apa? Minum apa nih?” Sahut Yu Ginah mencoba mencari perhatian.

“muaahahaha.. ahihihi” makin kepingkel-pingkel Kyai Srondol, tak karu-karuan sambil megangi perutnya.

“nyoooh…. !!” sekonyong-konyol Cahyo nyumpelin telo rebus ke mulut Kyai Srondol dengan tidak sopannya.

Sukses telo sebesar kepalan tangan itu mendarat ke mulut Kyai Srondol, menyumpal tanpa pandang bulu, tanpa tedeng aling-aling dan tanpa ada muata SARA serta tidak lagi meperdulikan Hak Asasi Manusia tentang freedom of speech kebebasan berbicara kata orang-orang pinter itu, tapi malah kadang-kadang menjadi tak bernorma dan tak bermoral karena kebablasan.

 Telak saja Kyai Srondol klimpungan, mendadak buntu jalan suaranya, yang tersisa hanya isak sesenggukan dan air mata tawa. Sambil mesam mesem Kyai Srondol mengeluarkan ubi rebus dari mulutnya dan kembali memasukkan kemulutnya digigitnya sambil mesam-mesem.

“hehehe… enak telonya, makasih ya. Ini namanya Alloh Maha pemura, rejeki datang bisa dari mana saja. Lagi ketawa-tawa senang, eh, tahu tahu ada telo godog masuk mulut saya, tanpa diundang, tanpa dicari-cari bahkan diantarkan. Apa itu ngga hebat? Ahihihi” cerocos Kyai Srondol tetap positive sambil cengengesan memegang telonya.

“weeeh.. jiaan, onten nopo to Mbah Kyai, ada apa. Kok sajak kepingkel-pingkel begitu” seloroh Cahyo mencoba tenang.

“Iya Mbah Kyai, ada apa tow? Mengganggu diskusi seru kami saja ah.” Sahut bagung menimambahi.

Sang Kyai Srondol al Maidah Nikmatul mesam-mesem lalu menyahuti pertanyaan penasaran mereka.

“kalian ini lucu, lucuu tenan. Ngapain kalian meributkan Lurah desa lain. Lha mbok desamu sendiri diurusi. Desa sendiri kalian bangun, diri sendiri diperbaiki, ndak usah sok-sokan ngerti policik dan politik, ndak usah sok-sok an membela agama. Wong membela anak istri dari fitnah dunia saja belum tentu becus kok. Arep neko-nego, sungguh ironi sekali kan?. Lucunya lagi orang macam saya ini tidak digugu lagi di jaman sekarang, tidak didengarkan lagi di jaman sekarang. Pokoknya maunya mendengarkan apa-apa yang sekiranya sama dengan pandangan sendirinya, asal sama dengan faham dia sudah merasa paling benar. Paling bater tanya sama Syech Google atau dapat nemu dari boardcast BBM, WA, Line dan lainya.. lucu too.. lucuu… ahihihii” ditutup dengan ngekek, Kyai Srondol mencoba menjelaskan.

“kandani to Kang Bagong” timpal Cahyo.

“Iya Kang Bagong, ndak usah ikut-ikutan gendeng, melu-melu gila, kita ini bayar cicilan saja kembang kempis kok pakai ngurusi orang lain segala” Tambah Lenon tak kalah gesit sambil melahan tahu bacem di depannya.

“tu kaan.. kalian ini memang apatis terhadap agama, macam liberalis saja bah. Huh!!.. apa kalian terima kalau kalian dipimpin orang macam begitu. Bukan karena apa-apa, tapi kalau bisa jangan sampai kita nanti memilih pemimpin seperti itu. Lagian kan haram hukumnya memilih pemimpin non-muslim. Ingat itu Al Maidah 51. Ingaat… pokoknya besok saya berangkat ke Desa sebelah ikutan demo, kalau perlu akan saya bawa spanduk sama spidol, biar tak orek-orek tak coret-coret tembok rumah Pak Lurah Kohar itu.. “ penuh semangat Bagong membela, dan menggebu nggebu.

Tampaknya tak dapat redakan lagi nafsu bagong, emosinya sudah di ubun-ubun, tak lagi mempedulikan apapun.

“ahihihi..sek-sek, sebentar to, gini lho..” Kyai Sodron mencoba menenangkan.

Lalu lanjutnya “emang Lurah itu siapa? Pemimpin? Mbahmu koprol kui. Ahihihi, pemimpin kok dibayar sama yang dipimpin? Ahihi” sambil ngunyah sisa ubi rebus Kyai Srondol menjawab.

“lho gimana to Kyai? Wah ra bener iki. Kok yang dipimpin mbayar pemimpinnya, ya ngga lah.” Jawab Bagong lugas.

“we e e e.. lho iya, lha kalian mbayar pajak tiap bulan itu buat apa? Ya buat mbayar para Babu, para pembantu eksklusive itu, tepatnya “dispesialkan”, mana ada seorang pemimpin yang mbayar anak buahnya atau anggotanya. Yo ndak to ya. Jelas Pimpinan tertinggi di tangan rakyat, rakyat berkuasa, kita-kita ini yang nggaji mereka. Para orang-orang di sana itu kan pembantu kita. Utusan kita untuk mengurus desa. Bukan pemimpin, maka itu jelas berbeda dengan artian dari Al Maidah 51, lha wong interpretasinya tentang makna pemimpin saja sudah pada salah kaprah kok. Ahihihihi… “ berhenti sejenak Kyai Srondol sambil menengguk kopinya, sebelum ia melanjutkan berfatwa.

Lalu lanjutnya “Pemimpin itu menjamin kehidupan anggota yang dipimpinnya bahkan dengan nyawanya, melindungi. Seperti pak sopir yang mengendalikan busnya. Maka dengan segenap hati dia akan hati-hati di jalan supaya nyaman dan selamat semuanya, jika ugal-ugalan nyawa 50 orang di dalam bus bisa melayang. Seperti kamu juga Gong, Cahyo, Lenon. Kalian ini adalah pimpinan keluarga masing-masing. Semua nyawa keluarga, anak dan istri di panggung, di pundak kalian. Hidup mati dan kelangsungan hidup mereka. Lha kalau Pak Lurah yang kalian ributkan itu? Apa iya akan menanggung kelangsungan hidup kalian, apa iya akan peduli dengan kematian atau kehidupan kalian. Ndak sama sekali tow? Paling banter pedulinya mentok sama urusan pajak kuburan kalian ahihihi… jalan kalian pergi ke tempat kerja alus, mbantu kalian dalam persuratan lancar, mbantu kalian memberikan surat tanah yang syah. Gitu… lho yaaa…” Fatwa Kyai Srondol panjang lebar.

“jadi kalau pembantu ada salah ya sebaiknya dikandani, dibilangi, dikasih tahu mana yang benar. Lagian kan sudah minta maaf, jadi jelas mau bagaimana pun tafsirannya Al Maidah 51, ndak ada masalah dengan ini tow? ya to Yu ginah” tambah Sang Kyai sambil berkeling genit pada Yu ginnah.

“aah Pak Kyai ini pakai acara ngedipin mata segala, mbok itu gorengannya dilarisi. Tapi bener juga lho Kang Bagong kata Pak Kyai tadi, saya setuju” Yu Ginah menggaguki setuju.

“weeh.. yo rai so. Iki piye tow? Kok dadi molak-malik. Aku mumet aku… trus piye umbul-umbulku dan benderaku nanti, udah siap-siap demo ini” Babong mendadak pusing

Lenon dan Cahyo menganggung, entah setuju, entah paham atau malah tidak ngerti.

“sekarang begini kalau misalnya mau begitu, lalu bagaimana dengan tempat-tempat yang mayoritas penduduknya Non-Islam, apa mereka harus dimerdekakan ya? Terang saja kan probabilitas terpilihnya pemimpin Islam susah di tempat-tempat tersebut. Tapi saya setuju dengan Kyai Gendeng ini. Tos dulu mbah Kyai.” Sahut Lenon menyetujui sambil memberikan Hi five ke Kyai Srondol.

“nah gitu dooong… ahihihi… wong kaya kitu aja ribut sampai terbawa mimpi.” Seloroh kyai sambil ngemplok potongan terakhir telo godog ditangannya..

“hahahahaha….” Sahut mereka tertawa bersama.

Keriuah sesaat itu kembali damai dan ceria di minggu pagi itu, hujanpun mulai reda dan matahari mulai nempak sinarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun