Sehingga, dulu kita tidak asing dengan media masa framing. Untuk media-media besar exelent seperti surat kabar online, surat kabar cetak, dan stasiun  pertelevisian terkadang masih membungkus framing dengan kehati-hatian. Dibalik framing yang berisi propaganda, mereka masih menjaga etika jurnalistik.Â
Di sisi lain, terdapat media-media ekstrim yang mempunyai tujuan untuk mengunggulkan dan menjatuhkan lawan politik. Tetapi, media massa sebagai alat politik dirasa masih jauh dari efektif jikalau dibanding dengan media sosial. Selain, itu media masa cenderung lebih mahal pengelolaannya dan penikmatnya lebih sedikit. Jauh berbeda dibanding media sosial yang lebih murah pengelolaannya.
Media sosial masih menjadi bagian medan pertempuran seperti momen pilpres dahulu. Bahkan, konsumennya lebih banyak dan lebih di pilih oleh masyarakat karena sekarang semua orang mempunyai gadget/gawai di genggaman tangan untuk mengaksesnya.
Pertempuran di media sosial memang bukan pertempuran fisik, tetapi pertempuran propaganda. Ada yang masih mengedepankan keilmiahan, tetapi ada pula  yang liar berisi hoax. Ada yang masih mengedepankan aturan nilai-nilai, tapi ada pula yang sudah mengusung konten SARA. Di media sosial, kita bisa melihat grup-grup cuci otak propaganda, akun-akun bodong atau abal-abal propaganda. Apalagi, kita juga sekarang sudah tidak asing dengan para  buzzer yang bermain di bawah tanah yang bekerja meramaikan media dengan tujuan kepentingan mengontrol opini publik. Buzzer bekerja untuk kekuatan politik yang mempekerjakannya.
Sederhananya perang propaganda lewat medan media sosial antara penguasa dan oposisi ini. Masing-masing kepentingannya klasik. Penguasa menggunakan media sosial untuk menjaga elektabilitasnya di masyarakat agar tetap mendukungnya. Sedangkan oposisi untuk mempengaruhi masyarakat agar kekuatan mereka beralih memilih berpihak pada oposisi dengan dengan iming-iming politik yang lebih baik.
Nyatanya, dinamika yang ramai di medsos yang direkayasa ini berpengaruh pada kehidupan nyata. Karena, kehidupan nyata adalah hasil dari berfikir yang cara berfikir itu terbangaun oleh media sosial yang dikonsumsi setiap hari.
Apakah masyarakat tidak sadar bahwa, media sosial telah mempengaruhi pikiran mereka? Sebagian besar masyarakat sudah terlalu capek dan tersita waktunya oleh kerja-kerja teknis untuk mencari sesuap nasi.Â
Sehingga, masyarakat sudah tidak punya waktu lagi untuk mengkroscek apakah sajian informasi itu benar atau tidak. Mereka, lebih banyak memilih menelan bulat-bulat dan segera membuat kesimpulan.Â
Bahkan, orang-orang yang sudah mempunyai wawasan (tokoh dan intelektual) dalam mencerna dan menyikapi media pun terkadang terpaksa terseret arus propaganda. Walaupun, untuk orang-orang ini, mereka terbawa arus karena kepentingan ataupun karena ancaman.
Selain itu, pasca pemilu 2019, masyarakat sudah terlanjur terpolarisasi dalam kelompok-kelompok. Walau, pemilu sudah usai. Masing-masing kelompok sudah tersita, apakah ia berada dalam lingkar penguasa atau lingkar oposisi.Â
Kubu pendukung penguasa tentu, akan mati-matian menjaga kelompok masyarakat ini agar setia menjadi pendukungnya. Sedangkan kelompok pendukung oposisi ini akan mempengaruhi agar mereka berbelok mendukungnya.Â