Mohon tunggu...
Mimah Nur Baiti
Mimah Nur Baiti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mimah Nur Baiti dengan nama pena mneequeen akrab dipanggil Ima di kampus adalah anak bungsu yang keras kepala, suka melamun, sering cemberut dan hobi ngomong sendiri. Ima senang membaca dan menulis cerpen sejak umur 12 tahun. Salah satu karyanya terpilih untuk diterbitkan di dalam buku antologi cerpen Seribu kisah; Sebuah kasih; Palung; Pulang (2022).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemilau Sayap Bercahaya: Joko Swiwi Sebagai Cermin Kompleksitas Manusia

16 Desember 2023   21:54 Diperbarui: 22 Desember 2023   08:22 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang dikenal kepiawaiannya dalam menulis cerpen. Salah satu karya SGA yang terkenal adalah "Joko Swiwi" pada kumpulan cerpen berjudul "Linguage" (2007). SGA dalam cerpen ini merangkai kisah imajinatif menggelitik dan unik dengan latar belakang kondisi sosial yang nyata. Dari sekian banyaknya cerita-cerita yang mengangkat tema sosial, SGA berhasil menghadirkan cerita pendek dengan nuansa yang berbeda.

Tema karya ini tidak hanya sekadar menghibur, tetapi juga menyelipkan pesan-pesan filosofis dan kritik sosial. Dalam cerpen ini, SGA menyinggung soal wabah flu burung, keadaan para wanita yang menjadi tenaga kerja di luar negeri, peperangan saudara antar kampung dan tokoh Joko Swiwi yang menjadi cermin terhadap respon masyarakat dalam menghadapi suatu perbedaan. 

SGA dalam cerpen ini mengisahkan tokoh utama bernama Joko Swiwi yang kelahirannya diawali dengan keanehan, menghadirkan manusia dengan sepasang sayap yang melekat pada tubuhnya. Dengan sayapnya itu Joko Swiwi tidak perlu naik turun perbukitan untuk bersekolah seperti kebanyakan anak seusianya, ia tinggal terbang melewati langit. Bahkan setelah dewasa, diceritakan oleh SGA kemampuan terbangnya semakin tinggi dan hebat, sesekali membuat para pilot helikopter terkaget-kaget saat kebetulan Joko Swiwi dengan penuh pesona dan indah melintas di depannya. 

SGA menggambarkan Joko Swiwi sebagai seorang pemuda tampan yang jika sedang terbang membuat para petani pencangkul ladang menghentikan pekerjaan mereka dan menjadikan para gadis berteriak kesenangan sambil menunggunya untuk diajak mandi bersama. Namun, Joko Swiwi digambarkan memiliki karakter yang baik dan sopan yang dimuat dalam kutipan, “Joko Swiwi adalah pemuda sopan, ia bukan tukang intip, bukan pula lelaki kurang ajar. Maka ia tidak akan terbang merendah untuk melihat-lihat perempuan mandi, melainkan akan terbang meninggi, makin tinggi, dan makin tinggi.”

Untuk menyinggung masalah ketenagakerjaan wanita di luar negeri, SGA menghadirkan tokoh bernama Poniyem yang merupakan Ibu Joko Swiwi. Poniyem adalah TKI cantik yang tahu-tahu sudah mengandung tujuh bulan saat kembali ke tempat asal tanpa tahu siapa yang telah menghamilinya. 

SGA menggabungkan elemen fiksi dan keadaan sosial dengan cara yang unik lewat penggambaran Poniyem sebagai perempuan yang setiap malam selalu memimpikan hal yang sama, yaitu bercinta dengan banyak makhluk bersayap, sehingga menjadi tidak jelas siapa sebenarnya Bapak Joko Swiwi. Respon sikap penduduk desa yang dengan terburu-buru dan tanpa musyawarah menikahkan Poniyem untuk menutupi aibnya, tidak peduli yang dinikahkan itu siapa dan bagaimana asal-usulnya seakan memperlihatkan keadaan sosial yang ada. 

SGA tidak lupa menggambarkan sifat-sifat seorang ibu pada tokoh Poniyem yang mampu menjadi kritik terhadap fenomena sekitar bahwa sudah seharusnya seorang Ibu sayang dan merasa bangga pada anak, tak peduli seperti apa wujudnya. Seperti yang tergambar dalam kutipan, “Poniyem segera merasakan tali batin hubungan ibu dan anak, tali batin ajaib yang berlaku bagi ibu dan anak mana pun, bagaimana pun bentuk rupa ibu dan anak itu, sehingga ketika dukun bayi itu mendekatkan bayi bersayap tersebut ia pun segera merengkuh dan menyusuinya… Ia bangga mempunyai anak Joko Swiwi.”

Cerpen ini berlatarkan tempat sebuah desa di perbukitan kapur tandus yang tak bisa ditanami berbagai macam tanaman atau persawahan, sehingga baik warga tempat Joko Swiwi tinggal ataupun desa lain sangat bergantung pada perternakan unggas: bebek, ayam, dan burung. Joko Swiwi mulanya dianggap sebagai anak ajaib yang memberi manfaat bagi penduduk desa tempatnya tinggal karena banyak orang dari luar desanya ingin melihat kemilau sayap bercahaya itu. Uang-uang yang dikumpulkan Pak Lurah setempat dari atraksi memamerkan sayap Joko Swiwi yang dahsyat digunakan untuk memakmurkan desa. Namun, sekali lagi dengan kepiawaiannya dalam menulis, SGA tiba-tiba menghadirkan konflik batin antara Joko Swiwi dengan dirinya sendiri yang menjadi pusat perhatian. Tersaji dalam kutipan, “Semakin naik dan semakin menyepi dari dunia ramai yang terkasih. Dalam kesunyian langit itulah Joko Swiwi merenungkan dirinya yang bersayap, yang menjadi tontonan, yang selalu dibicarakan dan dimanfaatkan.” 

SGA menggambarkan Joko Swiwi sebagai cerminan kompleksitas sikap manusia dalam menghadapi perubahan. Kritik halus SGA disampaikan lewat perubahan sikap para warga yang semula mensyukuri kehadiran Joko Swiwi sebagai berkah yang melimpah ternyata mampu berbalik arah menganggapnya menjadi musibah. Kemalangan Joko Swiwi dimulai ketika wabah melanda populasi burung dan bebek di desa tetangga. Pak Camat, Lurah-lurah desa tetangga serta seluruh warganya sepakat beranggapan bahwa Joko Swiwi adalah pembawa kutukan karena ia lahir memiliki sayap seperti para unggas, sebagaimana terdapat pada kutipan “… setelah Joko Swiwi ada, wabah ini membunuh makhluk-makhluk bersayap dan Joko Swiwi adalah makhluk bersayap. Ia suka terbang ce' blak-cebluk ke sana kemari. Barangkali saat itulah ia menyebar penyakit ke mana-mana." Mereka menuduh dan secara membabi buta berbondong-bondong datang untuk mengepung Joko Swiwi. 

Para saudara dari kampung tetangga itu setuju akan membumihanguskan seluruh warga desa jika Pak Lurah tak mau menyerahkan Joko Swiwi untuk dijadikan tumbal. Kemarahan mereka disebabkan juga oleh keiridengkian melihat desa Joko Swiwi makmur dan lebih maju dibanding desa mereka sendiri. Tak peduli ratusan nyawa manusia akan hilang sehabis ini karena warga desa tempat Joko Swiwi tinggal juga ikut mengadu jiwa yang menyebabkan peperangan antar desa, Pak Camat mencerminkan sikap pemimpin masyarakat yang hanya mendukung suara terbanyak yang dianggap menguntungkan untuk bisa dimanfaatkan saat pemilihan mendatang dan hanya menyaksikan segala kekisruhan dari kejauhan.

SGA dalam cerpen ini berhasil membedah lapisan-lapisan kehidupan Joko Swiwi mulai dari hubungan pribadi hingga pertarungan batin menghadapi dilema. Diceritakan bahwa saat terjadinya perang antar saudara kampung, Joko Swiwi menyarankan agar Poniyem ikhlas dan membiarkannya menyerahkan diri daripada harus melihat warga desa saling bertaruh nyawa. Dimuat dalam kutipan, “Biarlah kuserahkan diriku Ibu, nyawaku tidaklah terlalu berharga dibanding kehidupan desa yang kusayangi ini, aku tidak ingin melihat desa ini kosong dan hanya berisi mayat bergelimpangan di sana-sini." Namun, sebagaimana sikap seorang Ibu yang menyayangi anaknya, tak sudilah Poniyem menyerahkan Joko Swiwi kepada para lurah yang dianggap mencari-cari alasan hanya untuk membasmi mereka. Poniyem bersungguh-sungguh untuk menjaga Joko Swiwi, dia ikut dalam perang tersebut. Dibuktikan dalam kutipan, “Poniyem lantas mengambil sebatang bambu runcing dan keluar rumah dengan gagah.” Poniyem pun menyangkal keinginan putranya perihal menyerahkan diri untuk dijadikan tumbal, dapat dilihat pada kutipan, "Itu tidak mungkin terjadi wahai Joko Swiwi anakku, sebelum mereka melangkahi mayatku!"

Hal menarik yang ingin disampaikan oleh SGA adalah bagaimanapun bentuk wujudnya, Joko Swiwi tetaplah seorang manusia yang takut jika ditembak peluru, yang memiliki pikiran egois untuk menyelamatkan diri sendiri, yang merasa bersalah ketika harus melihat orang-orang perang karena kehadiran dirinya, dan kemampuan menyalahkan diri karena lahir berbeda daripada yang lain, sehingga muncul pada otaknya sebuah pertanyaan, “Mengapa perbedaan harus dipaksakan, jika persamaan masih dimungkinkan.” SGA berhasil menyampaikan keresahan dan kesedihan Joko Swiwi dalam bentuk narasi yang tak terduga dan mendalam sekaligus menggunakan cerita ini sebagai sarana untuk merenungkan kondisi sosial yang membuat cerpen ini menjadi bukan sekadar hiburan, tetapi juga mengajak pembaca merenung tentang nilai-nilai kehidupan. 

Gaya penceritaan SGA dalam cerpen ini menjadi salah satu daya tarik utama. Bahasa yang kaya oleh majas dan cenderung mengandung unsur satir memberikan kehidupan pada setiap adegan, menciptakan suasana yang mendalam, mengundang pembaca untuk menyimak sampai akhir dan ikut tenggelam dalam alur cerita. Seperti yang tergambar pada salah satu kutipan, “Bagaimana mungkin ia bisa menerima desanya akan menjadi bara merah yang menyala-nyala?” terdapat majas personifikasi pada bagian “bara merah yang menyala-nyala.” Adapun gaya bahasa yang mengandung unsur satir bisa dilihat pada kutipan, “Pak Lurah memandang Pak Camat yang ternyata cuma bisa mengangkat bahu. Pak Lurah tahu, urusan Pak Camat hanyalah supaya ia bisa terpilih lagi pada musim pemilihan mendatang dan kedudukannya sangatlah ditentukan oleh para lurah desa di dalam kecamatannya.” Pada kutipan ini, SGA menyampaikan kritiknya secara sarkas terkait sifat-sifat pemimpin yang kebanyakan lebih mementingkan apa yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.

SGA dengan kekhasannya dalam menulis cerpen menyajikan plot yang apik sebagai penutup, menjadikan cerpen ini tak terduga dan tidak mudah ditebak akhirnya. Disampaikan oleh SGA bahwa meskipun tokoh yang dominan diceritakan adalah Joko Swiwi, tetapi pada akhir cerpen disorot bagaimana keputusan akhir yang dipilih Joko Swiwi secara luar biasa mampu membuat kesedihan Poniyem menjadikannya patung menangis yang dari kedua bola matanya terus-menerus mengeluarkan air mata duka, membentuk sungai air mata yang kini letaknya di atas bukit kapur tandus di mana dulu Joko Swiwi pernah hidup, sebelum kemilau sayap bercahayanya redup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun