Dalam budaya Indonesia, norma-norma sosial yang menempatkan nilai tinggi pada komunikasi terbuka, empati, dan kesopanan dilanggar oleh ghosting. Menurut Hidayat dan Ramdhani (2020), ghosting adalah tanda keruntuhan dalam keseimbangan sosial dan ikatan kekeluargaan yang mendasari peradaban Timur. Akibatnya, fenomena ini mencerminkan perubahan yang lebih luas dalam cita-cita sosial selain mencerminkan perubahan dalam gaya komunikasi.Â
Membangun koneksi yang sehat, jujur, dan bertanggung jawab antarindividu membutuhkan dasar yang kuat dalam etika komunikasi interpersonal. Karena anonimitas dan jarak fisik dapat membuat orang merasa tidak perlu bertanggung jawab atas komunikasi mereka, normanorma etika sering kali diabaikan dalam konteks komunikasi digital. Nasution (2020) menegaskan bahwa keterbukaan, kejujuran, empati, dan penghormatan terhadap martabat orang lain adalah karakteristik komunikasi interpersonal yang etis. Ini adalah nilai-nilai yang justru sering kali hilang dalam praktik ghosting.Â
Menurut Lestari dan Fitria (2021), memahami tanggung jawab emosional seseorang terhadap orang lain diperlukan untuk koneksi interpersonal yang efektif di era digital. Kurangnya justifikasi atau klarifikasi dalam konteks ghosting 5 menunjukkan kurangnya dedikasi terhadap hubungan dan etika komunikasi. Orang yang di ghosting mengalami peningkatan ketakutan dan ketidakpastian sebagai akibatnya. Etika komunikasi, menurut Santosa (2020), bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi juga tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan penuh kasih sayang. Beliau menekankan betapa pentingnya diskusi sebagai landasan komunikasi interpersonal yang bermoral. Meskipun medium komunikasi telah berevolusi, memiliki percakapan yang jujur dan terbuka harus selalu menjadi perhatian utama dalam hubungan digital.Â
Eksistensialisme, filsafat keberadaan, menekankan otonomi pribadi, tanggung jawab eksistensial dalam semua tindakan, dan makna hidup. Filsafat eksistensial signifikan dalam konteks ghosting karena menunjukkan kurangnya komitmen terhadap interaksi sosial dan penyangkalan terhadap keberadaan orang lain. Tindakan ghosting, menurut Hermanto (2021), adalah jenis alienasi kontemporer yang menggambarkan betapa terisolasinya perasaan orang dalam koneksi virtual karena kehadiran orang lain dipandang sebagai sementara dan praktis.Â
Menurut Farida (2022), Martin Buber percaya bahwa hubungan antarmanusia seharusnya didasarkan pada relasi "Aku-Kamu" yang setara di mana kedua belah pihak mengakui keberadaan satu sama lain. Sebaliknya, ghosting merusak gagasan ini dan mereduksi orang lain menjadi objek dalam koneksi "AkuItu". Ikatan antarmanusia direduksi menjadi pertukaran emosional sementara yang dengan cepat ditinggalkan ketika tidak lagi menyenangkan dalam kemitraan digital yang menempatkan prioritas lebih tinggi pada kecepatan dan efisiensi.Â
Pentingnya keautentikan dalam filsafat eksistensial ditekankan oleh Kusnadi (2020). Karena pelaku memilih untuk menghindar daripada menghadapi kebenaran perasaan dan masalah, ghosting adalah tanda kurangnya keautentikan. Misalnya, dalam konteks kehidupan perkuliahan, banyak orang merasa bahwa "lebih aman" untuk mengakhiri hubungan dengan diam daripada dengan menyatakan alasan sebenarnya. Padahal, esensi kehidupan manusia yang sejati adalah keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam hubungan, terutama ketika dihadapkan pada perselisihan.Â
Fenomena ghosting tidak hanya ada dalam diskursus ilmiah, tetapi juga nyata dalam kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan mahasiswa. Menurut penelitian Sitinjak, Pujaastawa, dan Darmawan (2024) yang dilakukan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, ghosting telah menjadi perilaku lazim dalam interaksi romantis daring. Sepuluh mahasiswa yang pernah mengalami atau melakukan ghosting diwawancarai sebagai bagian dari studi kualitatif ini. Hasilnya menunjukkan bahwa alasan utama pelaku ghosting adalah ketidaknyamanan dalam menyampaikan penolakan secara langsung, perasaan bosan dengan hubungan, dan keinginan untuk menghindari konflik. Sementara itu, para korban melaporkan bahwa mereka mengalami perasaan kecewa, merasa tidak berharga, dan kesulitan memahami akhir dari hubungan tersebut. Dalam konteks ini, ghosting muncul sebagai bentuk komunikasi pasif-agresif yang dianggap "lebih mudah" dalam budaya digital.Â
Fenomena ghosting juga lazim terjadi dalam hubungan sosial non-romantis, demikian temuan studi lain oleh Kurniawan, Purwanto, dan Siregar (2024), yang meneliti mahasiswa dari Boyolali dan Solo Raya dalam konteks organisasi kampus. Menurut penelitian ini, ghosting terjadi ketika seseorang tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan meninggalkan tanggung jawab organisasi atau kelompok kerja, yang menyebabkan konflik dan tekanan psikologis bagi rekan-rekan mereka. Menggunakan metode fenomenologis, penelitian ini menemukan bahwa tekanan sosial, ketidakmampuan untuk memenuhi norma kelompok, dan kurangnya keterampilan komunikasi interpersonal adalah penyebab utama ghosting dalam situasi ini. Studi tersebut juga menemukan bahwa kebiasaan ghosting mencerminkan rendahnya literasi emosional dan lemahnya budaya dialog di kalangan generasi digital.Â
Kedua studi kasus ini menunjukkan bahwa ghosting bukan hanya fenomena dalam hubungan romantis, tetapi juga dalam konteks sosial dan profesional. Menurut kerangka eksistensialisme dan etika komunikasi, tindakan ghosting memperlihatkan adanya krisis kehadiran dan tanggung jawab terhadap orang lain sebagai sesama subjek. Perilaku ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hubungan yang terbuka, tulus, dan autentik yang seharusnya menjadi dasar komunikasi antarpribadi dan kelompok.Â
KESIMPULANÂ
 Kompleksitas dinamika komunikasi manusia kontemporer, yang dipengaruhi oleh transformasi budaya, terobosan teknologi, dan cita-cita etika, tercermin dalam isu ghosting di era digital. Ghosting lebih dari sekadar tren dalam komunikasi daring; ini adalah refleksi dari krisis moral dan eksistensial dalam hubungan interpersonal. Tindakan menghilang tanpa memberikan penjelasan menunjukkan kurangnya integritas, akuntabilitas, dan penghargaan terhadap kehidupan orang lain. Ghosting adalah contoh komunikasi interpersonal yang menyimpang dari standar moral yang seharusnya memandu interaksi. Landasan utama dalam membangun hubungan yang sehat adalah komunikasi terbuka, empati, dan kejujuran. Hubungan menjadi rapuh dan tidak jelas ketika aturan-aturan ini diabaikan, yang pada akhirnya dapat merusak kesehatan mental dan kepercayaan individu.Â