Gone with the Wind
Novel laris berjudul "Gone with the Wind" ditulis oleh Margaret Mitchell di tahun 1926. Pengetahuannya yang luas sebagai jurnalis di Atlanta Journal Sunday Magazine membuat novelnya yang terbit di tahun 1936 terjual sejuta kopi hanya dalam waktu 6 bulan saja. Setahun kemudian (1937) novel itu mendapat hadiah Pulitzer untuk karya fiksi, dan menjadi salah satu novel terlaris sepanjang sejarah Amerika.
Latar belakang cerita ber-setting di Perang Saudara Amerika tahun 1861-1865 dan era setelah itu. Tokoh sentralnya adalah Scarlett O'Hara dengan berbagai aspek kehidupannya, terutama cinta dan tantangan hidup yang berat, juga soal lain di seputar kehidupannya, seperti perbudakan di Amerika di era itu. Tahun 1939 novel ini dibuat film dan menjadi salah satu film terlaris di dunia.Wawasan luas Margaret Mitchell sebagai jurnalis dan ditambah dengan berbagai informasi dari berbagai sumber di perpustakaan yang menjadi kunci mengapa novel itu laku keras. Ia melakukan riset di Atlanta Public Library secara mendalam dengan membaca juga berbagai koran tua, berbagai diari dan berbagai catatan sejarah seputar Perang Saudara dan Era Setelahnya (era rekontruksi).
"Gone with the Wind" adalah salah satu contoh karya fiksi yang isinya dianggap sebagai "panduan hidup" bagi pembacanya.
Emotional Intelligence
Bukan hanya karya fiksi yang bisa menjadi "panduan hidup", namun karya non-fiksi juga. Sebagai contoh, buku berjudul "Emotional Intelligence" (1995) yang ditulis oleh Daniel Goleman menjadi buku best seller di beberapa tahun pertama penerbitannya. Buku ini mempengaruhi cara pandang baru para ahli seputar emotion regulation, psychology, leadership, productivity, social behaviour. Bahkan hingga sekarang buku ini terus menginspirasi berbagai riset seputar neuroscience yang berkaitan dengan emotion regulation.
Goleman seorang jurnalis yang sekaligus juga psychologist sehingga keluasan wawasannya patut diandalkan. Ditambah pula dengan berbagai referensi dari berbagai riset lain seputar emotion regulation menjadikan bukunya itu juga dianggap sebagai "panduan hidup" oleh pembacanya. Itu terlihat dari diterjemahkannya buku ini ke dalam 40 bahasa lain di seluruh dunia. Di Indonesia pun muncul "tokoh" EQ (Emotional Quotient) yang terinspirasi dari buku ini, meski ia menambahkan unsur mitologi atau agama ke dalam ajaran EQ-nya. Penambahan itu cocok dengan kultur Indonesia, sehingga tokoh "EQ" a la Indonesia itu hingga sekarang masih dianggap motivator ternama.
Buku Goleman tentang EQ ini terinspirasi dari riset 2 orang ahli psikologi Peter Salovey dan John Mayer (1990) yang menemukan, bahwa IQ tidak menentukan kesuksesan, prestasi dalam dunia usaha, sekolah, kepemimpinan. IQ juga tidak menentukan kualitas relationships. Dengan kata lain: IQ kurang memiliki pengaruh positif pada beberapa aspek kehidupan yang penting atau pada kualitas hidup.
Ini kata Salovey & Mayer tentang emotional intelligence:
"The ability to perceive, understand, manage, and use emotions to facilitate thinking and promote personal growth."
Jika Anda mampu memperbaiki emotion regulation (Goleman menyebutnya: Emotional Intelligence), maka Anda akan lebih mampu meraih prestasi, kesuksesan, kepemimpinan yang lebih tinggi, disukai oleh kebanyakan orang, lebih bahagia, lebih cenderung pada pro-social behaviour, dan lain-lain yang positif.