Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tak Selalu Soal Gengsi, Ini 5 Alasan Orang Membeli Barang Mewah

6 Agustus 2025   06:00 Diperbarui: 6 Agustus 2025   09:46 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi barang mewah (sumber:freepik/lookstudio)

Pernahkah kamu bertanya-tanya, mengapa ada orang yang rela merogoh kocek dalam-dalam hanya demi sebuah tas branded, jam tangan mewah, atau sepatu desainer dengan harga puluhan bahkan ratusan juta rupiah? 

Bagi sebagian orang, keputusan seperti ini mungkin terlihat tidak masuk akal, berlebihan, atau bahkan boros. 

Namun di balik pilihan untuk membeli barang-barang berlabel mewah itu, seringkali tersimpan alasan yang lebih kompleks dan tidak selalu berkaitan dengan pamer atau gengsi semata.

Di tengah perdebatan antara gaya hidup minimalis dan budaya konsumtif, kita kerap melupakan bahwa setiap keputusan konsumsi---terutama yang melibatkan jumlah uang yang besar---selalu memiliki pertimbangan subjektif yang tidak bisa disamaratakan. 

Barang mewah, meskipun tampak seperti simbol status sosial dari luar, bagi sebagian orang justru punya makna pribadi yang mendalam. Ia bisa menjadi bentuk ekspresi diri, simbol pencapaian hidup, atau bahkan sarana pelarian emosional.

Melihat fenomena ini dari sudut pandang yang lebih luas akan membantu kita untuk tidak buru-buru menghakimi, tapi memahami latar belakang dan motivasi di baliknya. 

Berikut ini adalah beberapa alasan yang sering kali melatarbelakangi keputusan seseorang membeli barang mewah, yang jauh lebih kompleks daripada sekadar ingin tampil kaya.

Pengaruh Media Sosial yang Tidak Terhindarkan

Kita hidup di era di mana media sosial tidak hanya menjadi tempat hiburan, tetapi juga arena pertunjukan gaya hidup. 

Instagram, TikTok, dan YouTube dipenuhi dengan konten yang menampilkan liburan ke luar negeri, koleksi tas mahal, outfit-of-the-day dari brand internasional, dan rekomendasi belanja yang seringkali datang dari selebriti atau influencer yang punya pengaruh besar.

Tanpa sadar, kita terpapar oleh standar hidup yang lebih tinggi dari apa yang mungkin kita butuhkan. 

Saat melihat orang lain tampil menawan dengan barang-barang mewah, timbul dorongan dalam diri untuk menyesuaikan diri agar tidak merasa "tertinggal" atau tidak relevan dalam lingkaran sosial tertentu. 

Apalagi jika kita berada dalam lingkungan pertemanan atau komunitas kerja yang menjadikan penampilan sebagai bagian dari representasi profesionalisme dan prestise.

Dalam konteks ini, membeli barang mewah bukan hanya soal kepemilikan, tetapi tentang eksistensi dan penerimaan sosial. 

Ada tekanan tidak langsung untuk tampil setara, yang akhirnya bisa mendorong orang mengambil keputusan konsumsi yang sebenarnya tidak mereka niatkan sebelumnya.

Kebutuhan Emosional dan Bentuk Pelarian

Tidak semua keputusan pembelian datang dari perhitungan rasional. Kadang, belanja dilakukan sebagai bentuk pelarian dari tekanan hidup. 

Saat stres, merasa gagal, atau mengalami kejenuhan dalam rutinitas, banyak orang menemukan semacam "kepuasan instan" dari berbelanja. Fenomena ini dikenal sebagai emotional spending, dan bukan hal yang asing dalam psikologi perilaku konsumen.

Membeli barang mewah dalam konteks ini bukan semata soal kepemilikan fisik, tetapi tentang pengalaman emosional yang menyertainya. 

Perasaan senang, bangga, atau lega saat membawa pulang tas yang sudah lama diincar, bisa menjadi obat sementara dari rasa tidak berdaya dalam aspek lain kehidupan. 

Dalam jangka panjang, tentu ini bukan solusi yang berkelanjutan. Namun dalam momen tertentu, keputusan itu bisa memberi jeda emosional yang dibutuhkan seseorang untuk kembali merasa punya kendali atas hidupnya.

Simbol dari Sebuah Pencapaian Diri

Bagi sebagian orang, barang mewah bukanlah kebutuhan harian, tetapi simbol dari titik balik penting dalam hidup. 

Setelah bertahun-tahun bekerja keras, membangun karier dari nol, atau melewati berbagai tantangan berat, membeli barang mewah bisa menjadi bentuk apresiasi terhadap diri sendiri. Ia adalah hadiah atas perjuangan.

Tas desainer pertama yang dibeli dari gaji sendiri, jam tangan mahal yang dibeli setelah promosi kerja, atau sepatu desainer yang dibeli setelah lulus dari studi panjang---semua itu membawa nilai sentimental yang hanya bisa dipahami oleh orang yang mengalaminya. 

Ini bukan tentang gengsi, tapi tentang mengabadikan momen kemenangan dalam bentuk yang nyata.

Dalam hal ini, konsumsi menjadi semacam ritual perayaan. Ia bukan tentang orang lain, tapi tentang hubungan kita dengan diri sendiri. 

Kadang, satu benda bisa merepresentasikan tahun-tahun penuh pengorbanan yang telah dilalui, dan menjadi pengingat bahwa semua usaha itu tidak sia-sia.

Dorongan untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri

Penampilan sering kali menjadi bagian penting dari kepercayaan diri, terutama dalam dunia kerja atau lingkungan sosial yang kompetitif. 

Barang-barang branded sering diasosiasikan dengan kesuksesan, rasa percaya diri, dan selera yang baik. 

Maka tidak mengherankan jika sebagian orang merasa lebih siap menghadapi presentasi penting atau pertemuan bisnis jika mereka mengenakan pakaian atau aksesori dari brand ternama.

Dalam konteks ini, barang mewah bukan sekadar simbol status, tetapi alat bantu psikologis. Ia memberikan efek yang mirip dengan "armor" dalam pertempuran---menjadikan seseorang merasa lebih kuat, lebih siap, dan lebih yakin terhadap dirinya sendiri.

Meskipun terdengar dangkal bagi sebagian orang, kepercayaan diri adalah hal yang sangat personal. 

Jika mengenakan sepatu mahal atau membawa tas berkelas bisa membuat seseorang merasa lebih berani untuk tampil dan berbicara, maka ada nilai produktif yang ikut menyertai keputusan konsumtif itu.

Barang Mewah Sebagai Investasi Bernilai

Di luar aspek emosional dan sosial, ada pula alasan yang bersifat ekonomis dalam pembelian barang mewah. 

Beberapa jenis barang, terutama dari brand tertentu, mengalami kenaikan nilai dari waktu ke waktu. 

Tas tangan klasik dari rumah mode ternama, jam tangan edisi terbatas, atau sneakers koleksi khusus seringkali menjadi objek investasi yang tidak kalah menguntungkan dari saham atau emas.

Banyak kolektor bahkan membeli barang-barang ini bukan untuk dipakai, tapi disimpan dalam kondisi terbaik sebagai aset. 

Dalam beberapa kasus, harga barang mewah bisa meningkat dua hingga tiga kali lipat dalam kurun waktu lima hingga sepuluh tahun. Tentu, tidak semua barang mewah bisa dijadikan investasi. 

Hanya merek dan tipe tertentu yang memiliki daya tahan pasar dan minat kolektor tinggi. Tapi bagi mereka yang memahami pasar ini, belanja barang mahal bisa menjadi strategi keuangan jangka panjang.

Ini menjelaskan mengapa ada orang yang rela antre berjam-jam, bahkan masuk dalam daftar tunggu bertahun-tahun demi mendapatkan produk tertentu dari brand eksklusif. 

Mereka bukan sekadar konsumen, tapi investor yang melihat potensi nilai masa depan dari benda-benda tersebut.

Jadi, Apakah Salah Membeli Barang Mewah?

Pada akhirnya, membeli barang mewah adalah keputusan yang sangat pribadi. Tidak ada satu jawaban tunggal yang bisa menjelaskan semua motivasi di baliknya. 

Apa yang terlihat sebagai pemborosan di mata satu orang, bisa jadi adalah bentuk penghargaan diri atau strategi investasi bagi orang lain.

Yang perlu menjadi perhatian bukanlah label barangnya, tetapi cara pandang terhadap konsumsi itu sendiri. 

Apakah pembelian itu dilakukan secara sadar? Apakah ia sesuai dengan kemampuan finansial? Apakah barang tersebut membawa kebahagiaan, atau justru menambah tekanan hidup?

Dalam dunia yang semakin kompleks, keputusan finansial juga menjadi cermin dari nilai, pengalaman, dan prioritas hidup seseorang. 

Kita tidak selalu perlu setuju dengan pilihan orang lain, tapi setidaknya bisa mencoba memahami bahwa di balik tas mahal atau sepatu desainer, sering kali ada cerita yang tidak kasat mata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun