Pernahkah kamu merasa bahwa waktu 24 jam dalam sehari tidak pernah cukup untuk menyelesaikan semua yang harus kamu lakukan? Saat satu pekerjaan selesai, kamu langsung disambut oleh pekerjaan lain yang sudah menunggu.Â
Hari-harimu berlalu di depan laptop, berpindah dari satu rapat virtual ke rapat berikutnya, mengejar deadline demi deadline, dan bahkan saat malam tiba pun, notifikasi dari gadget terus berbunyi.Â
Waktu istirahat terasa semakin langka, dan hubungan sosial pun kian memudar.
Sekilas, kamu terlihat seperti sosok yang produktif. Tapi di balik semua itu, tubuhmu kelelahan, pikiranmu penat, dan hatimu kosong.Â
Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi bisa jadi kamu sedang terjebak dalam apa yang disebut sebagai hustle culture, sebuah budaya yang menormalisasi kerja berlebihan, menomorsatukan produktivitas di atas segala hal, dan menjadikan kelelahan sebagai lambang keberhasilan.
Dalam hustle culture, kamu didorong untuk terus bergerak, terus bekerja, terus mencetak hasil, seakan hidup ini adalah kompetisi yang tak pernah boleh berhenti. Tapi sampai kapan kamu bisa bertahan seperti itu?
Self Care dan Jadwal yang Jelas Adalah Hak, Bukan Kemewahan
Bekerja adalah tanggung jawab, dan tentu saja tidak bisa dihindari. Tapi bekerja tanpa henti, apalagi melampaui batas waktu normal, adalah bentuk kekerasan terhadap diri sendiri yang kerap tak disadari.Â
Banyak dari kita yang menghapus waktu istirahat hanya demi mengejar target kerja, bahkan ketika hari libur seharusnya menjadi waktu untuk mengisi ulang tenaga dan semangat.
Di sinilah pentingnya untuk menetapkan batasan yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi. Jangan biarkan jadwal pekerjaan mengambil alih seluruh hidupmu.Â
Merawat diriatau "self care" bukan hanya soal memanjakan tubuh, tetapi juga memberi ruang bagi kesehatan mental.Â