Mohon tunggu...
Muzamil Misbah
Muzamil Misbah Mohon Tunggu... Orang biasa yang gemar baca buku, makan dan jalan-jalan

Suka menulis tentang ekonomi dan puisi, financial literacy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sewa iPhone Saat Lebaran, Demi Gengsi atau Tekanan Sosial?

14 April 2025   06:00 Diperbarui: 17 April 2025   09:33 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sewa iphone (sumber:freepik/freepik)

Lebaran selalu jadi momen spesial. Setahun sekali keluarga besar berkumpul, suasana hangat dan penuh nostalgia, dan hampir semua orang ingin tampil maksimal. 

Di hari raya ini, pakaian terbaik dikeluarkan, rumah dihias sebaik mungkin, dan tidak sedikit orang yang rela mengeluarkan uang lebih hanya untuk terlihat lebih "siap" menyambut kerabat yang datang. 

Tapi di balik kemeriahan dan semangat silaturahmi itu, ada satu tren yang kian sering muncul: menyewa iPhone hanya demi tampilan.

Ya, bukan untuk dipakai kerja atau kebutuhan penting, tapi hanya agar terlihat "pantas" saat kumpul keluarga atau tampil menonjol di media sosial. 

Bukan isapan jempol, fenomena ini terus naik drastis setiap tahun, terutama menjelang lebaran. Muncul pertanyaan besar: kenapa?

Bukan Sekadar Tren, Tapi Simbol Status Sosial

Buat sebagian orang, ini mungkin terdengar konyol. Menyewa iPhone hanya untuk satu hari? Tapi kalau kita melihat lebih dalam, ini bukan semata soal ikut-ikutan atau pamer. 

Ini adalah soal bagaimana seseorang ingin dilihat oleh orang lain---terutama di momen besar seperti Lebaran.

Hari raya bukan cuma soal ibadah dan silaturahmi. Ia juga, secara tak tertulis, menjadi ajang sosial. Ketika keluarga besar berkumpul, obrolan yang terjadi seringkali lebih dari sekadar saling sapa. 

Mulai dari siapa yang baru dapat kerja, siapa yang bisnisnya naik, siapa yang baru beli rumah, sampai siapa yang pakai HP terbaru. 

Semua ini menjadi bagian dari "update" sosial yang tanpa sadar membuat banyak orang saling membandingkan.

Inilah yang dijelaskan oleh teori social comparison---manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain sebagai cara untuk menilai siapa dirinya. 

Dan sayangnya, perbandingan ini sering kali tidak adil. Kita hanya melihat hasil akhir dari orang lain---baju bagus, mobil baru, atau iPhone terbaru---tanpa tahu proses atau beban di baliknya.

Validasi Sosial dan Tekanan Gengsi

Di era media sosial, tekanan ini makin besar. Instagram dan TikTok dipenuhi foto-foto orang dengan outfit baru, latar rumah mewah, dan tentu saja iPhone yang disengaja tampilkan. 

Bahkan orang yang awalnya tidak peduli bisa jadi mulai tergoda. Di sinilah menyewa iPhone jadi solusi cepat: tidak perlu membeli, cukup sewa sehari, dan dalam pandangan orang lain, kamu sudah sejajar dengan mereka yang benar-benar memiliki.

Tren ini menunjukkan bahwa dalam beberapa situasi, gengsi bisa jadi lebih dominan daripada fungsi. 

Ini bukan cuma tentang iPhone, tapi soal tekanan sosial yang membuat banyak orang merasa harus tampil sesuai standar tertentu agar diterima.

Lebaran, dalam konteks ini, jadi panggung besar untuk "memamerkan" pencapaian atau sekadar menjaga citra. Inilah yang disebut dengan impression management---usaha seseorang untuk mengatur kesan yang ditangkap orang lain tentang dirinya. 

Dan iPhone, di Indonesia, telah menjadi simbol status sosial yang kuat.

iPhone dan Kode Kelas Sosial di Indonesia

Di banyak negara dengan budaya hierarki yang kuat, barang-barang tertentu digunakan untuk menandai status sosial. 

Di Indonesia, iPhone menempati posisi khusus. Ia bukan sekadar alat komunikasi, tapi sebuah pernyataan: "Saya orang sukses." 

Meskipun harganya lebih mahal dibandingkan negara lain karena pajak dan distribusi, justru itu yang membuat iPhone semakin bergengsi.

Ketika seseorang membawa iPhone, terutama seri terbaru, mereka akan diasosiasikan dengan gaya hidup kelas atas. 

Seseorang bisa dianggap lebih modern, lebih kaya, atau lebih "berhasil" hanya karena gadget yang ia pegang. Inilah kenapa banyak orang rela kredit, bahkan menyewa, hanya demi mencicipi status sosial ini, walau untuk sementara.

Fenomena ini diperkuat oleh iklan dan budaya pop yang secara tidak sadar masuk ke pikiran kita. Kita jadi terbiasa berpikir bahwa sukses itu identik dengan barang-barang tertentu. 

Dan lebaran, dengan semua dinamika sosialnya, jadi momen yang sempurna untuk tampil "naik kelas".

Tekanan Sosial yang Terus Meningkat

Sejak kecil, banyak dari kita sudah dibiasakan dengan pola pikir bahwa lebaran harus identik dengan "yang baru": baju baru, tampilan baru, bahkan suasana rumah baru. 

Budaya ini ditanamkan begitu kuat, sampai jadi bagian dari norma sosial tak tertulis. Dan di era digital sekarang, tekanan itu tidak lagi datang hanya dari keluarga atau tetangga. Tapi juga dari ribuan orang di media sosial.

Kita melihat orang pamer THR, foto di rumah mewah, nongkrong di tempat hits, dan tentu saja gadget mahal. 

Kalau kita tidak punya sesuatu untuk "dipamerkan", rasanya seperti ketinggalan. Inilah yang bikin banyak orang merasa harus upgrade, walau hanya sehari.

Gadget jadi salah satu alat yang paling mudah dilihat. Kamu bisa pakai baju baru, tapi kalau HP-mu masih keluaran lama, kamu mungkin tetap merasa kurang. Dan di titik ini, orang yang tadinya tidak peduli jadi merasa harus "ikut permainan".

Dampak Psikologis: The Looking Glass Self

Fenomena ini juga bisa dijelaskan lewat teori psikologi sosial yang disebut The Looking Glass Self. 

Teori ini menjelaskan bahwa identitas diri kita terbentuk dari cara kita membayangkan orang lain melihat kita. 

Jadi, kalau lingkungan sekitar memandang iPhone sebagai simbol kesuksesan, kita juga akan merasa bahwa punya iPhone adalah bagian dari menjadi "bernilai".

Saat lebaran, efek dari teori ini makin terasa. Kita bertemu dengan saudara jauh, teman lama, tetangga, bahkan orang-orang yang mungkin sudah lama tidak berinteraksi. Ini membuat kesan pertama jadi sangat penting. 

Dan buat sebagian orang, membawa iPhone bisa jadi alat tercepat untuk membangun kesan sebagai "orang sukses".

Masalahnya, kalau cara membangun harga diri selalu didasarkan pada persepsi orang lain, kita bisa terjebak dalam lingkaran konsumtif yang tidak ada ujungnya. 

Tiap tahun merasa harus tampil lebih baik, lebih kaya, lebih bergengsi. Dan semua itu tidak selalu didasari oleh kebutuhan, tapi sekadar keinginan untuk "tidak kalah".

Saat Status Sosial Jadi Ilusi

Akhirnya, yang terjadi adalah jebakan status simbol. Kita terus-menerus merasa harus mengejar standar yang sebenarnya kita bentuk sendiri. 

Setelah iPhone, bisa jadi besok muncul tren baru: smartwatch mahal, outfit mewah, atau bahkan gaya hidup yang dibuat-buat.

Fenomena menyewa iPhone untuk lebaran adalah puncak dari gunung es yang jauh lebih besar: soal bagaimana kita mendefinisikan diri lewat pandangan orang lain. Jika kita tidak menyadari pola ini, maka tekanan sosial ini akan terus berulang.

Dan dampaknya bukan hanya di momen lebaran saja. Tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang terbiasa menggantungkan harga diri pada barang akan selalu merasa kurang. 

Alih-alih fokus memperbaiki kondisi hidup, mereka sibuk mempertahankan image yang bahkan belum tentu benar.

Menuju Lebaran yang Lebih Sehat Secara Sosial

Tidak salah ingin tampil maksimal di hari raya. Tidak ada yang salah juga dengan ingin terlihat baik. 

Tapi penting untuk bertanya: apakah semua itu demi diri sendiri, atau hanya demi validasi orang lain? Apakah kita benar-benar butuh, atau hanya ingin "kelihatan"?

Kalau kita bisa melepaskan tekanan sosial itu, kita tidak perlu membuktikan apa-apa ke siapa-siapa. 

Kita bisa menikmati lebaran sebagai momen refleksi, bukan adu gengsi. Dan mungkin, justru dari situ, kita bisa menemukan arti kebahagiaan yang lebih jujur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun