Jadi, kalau lingkungan sekitar memandang iPhone sebagai simbol kesuksesan, kita juga akan merasa bahwa punya iPhone adalah bagian dari menjadi "bernilai".
Saat lebaran, efek dari teori ini makin terasa. Kita bertemu dengan saudara jauh, teman lama, tetangga, bahkan orang-orang yang mungkin sudah lama tidak berinteraksi. Ini membuat kesan pertama jadi sangat penting.Â
Dan buat sebagian orang, membawa iPhone bisa jadi alat tercepat untuk membangun kesan sebagai "orang sukses".
Masalahnya, kalau cara membangun harga diri selalu didasarkan pada persepsi orang lain, kita bisa terjebak dalam lingkaran konsumtif yang tidak ada ujungnya.Â
Tiap tahun merasa harus tampil lebih baik, lebih kaya, lebih bergengsi. Dan semua itu tidak selalu didasari oleh kebutuhan, tapi sekadar keinginan untuk "tidak kalah".
Saat Status Sosial Jadi Ilusi
Akhirnya, yang terjadi adalah jebakan status simbol. Kita terus-menerus merasa harus mengejar standar yang sebenarnya kita bentuk sendiri.Â
Setelah iPhone, bisa jadi besok muncul tren baru: smartwatch mahal, outfit mewah, atau bahkan gaya hidup yang dibuat-buat.
Fenomena menyewa iPhone untuk lebaran adalah puncak dari gunung es yang jauh lebih besar: soal bagaimana kita mendefinisikan diri lewat pandangan orang lain. Jika kita tidak menyadari pola ini, maka tekanan sosial ini akan terus berulang.
Dan dampaknya bukan hanya di momen lebaran saja. Tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang terbiasa menggantungkan harga diri pada barang akan selalu merasa kurang.Â
Alih-alih fokus memperbaiki kondisi hidup, mereka sibuk mempertahankan image yang bahkan belum tentu benar.
Menuju Lebaran yang Lebih Sehat Secara Sosial
Tidak salah ingin tampil maksimal di hari raya. Tidak ada yang salah juga dengan ingin terlihat baik.Â