Inilah yang dijelaskan oleh teori social comparison---manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain sebagai cara untuk menilai siapa dirinya.Â
Dan sayangnya, perbandingan ini sering kali tidak adil. Kita hanya melihat hasil akhir dari orang lain---baju bagus, mobil baru, atau iPhone terbaru---tanpa tahu proses atau beban di baliknya.
Validasi Sosial dan Tekanan Gengsi
Di era media sosial, tekanan ini makin besar. Instagram dan TikTok dipenuhi foto-foto orang dengan outfit baru, latar rumah mewah, dan tentu saja iPhone yang disengaja tampilkan.Â
Bahkan orang yang awalnya tidak peduli bisa jadi mulai tergoda. Di sinilah menyewa iPhone jadi solusi cepat: tidak perlu membeli, cukup sewa sehari, dan dalam pandangan orang lain, kamu sudah sejajar dengan mereka yang benar-benar memiliki.
Tren ini menunjukkan bahwa dalam beberapa situasi, gengsi bisa jadi lebih dominan daripada fungsi.Â
Ini bukan cuma tentang iPhone, tapi soal tekanan sosial yang membuat banyak orang merasa harus tampil sesuai standar tertentu agar diterima.
Lebaran, dalam konteks ini, jadi panggung besar untuk "memamerkan" pencapaian atau sekadar menjaga citra. Inilah yang disebut dengan impression management---usaha seseorang untuk mengatur kesan yang ditangkap orang lain tentang dirinya.Â
Dan iPhone, di Indonesia, telah menjadi simbol status sosial yang kuat.
iPhone dan Kode Kelas Sosial di Indonesia
Di banyak negara dengan budaya hierarki yang kuat, barang-barang tertentu digunakan untuk menandai status sosial.Â
Di Indonesia, iPhone menempati posisi khusus. Ia bukan sekadar alat komunikasi, tapi sebuah pernyataan: "Saya orang sukses."Â
Meskipun harganya lebih mahal dibandingkan negara lain karena pajak dan distribusi, justru itu yang membuat iPhone semakin bergengsi.