Banyak orang tua merasa telah melakukan yang terbaik untuk anaknya memberi nasehat, memperingatkan, bahkan mengarahkan jalan hidup anak sejak kecil. Namun, realitas pahit sering muncul: anak justru tumbuh menjadi pribadi yang "membangkang" atau bahkan mengalami depresi.Â
Mengapa ini bisa terjadi?
Apakah nasehat yang berlimpah belum tentu menumbuhkan anak yang bahagia dan sehat mental?
Nasehat Bukan Selalu Kasih Sayang
Dalam budaya kita, nasehat sering dianggap sebagai bentuk cinta. Namun secara psikologis, terlalu banyak nasehat bisa terasa seperti kontrol atau kritik terselubung bagi anak. Anak tidak selalu menangkap "niat baik" di balik nasehat. Yang mereka rasakan adalah tekanan, tuntutan, dan kadang penolakan terhadap perasaan atau keinginan mereka sendiri.
Apalagi jika nasehat diberikan dalam nada tinggi, berulang-ulang, atau tanpa ruang dialog. Anak cenderung menarik diri, melawan secara pasif (misalnya malas, tidak nurut), atau bahkan aktif (misalnya membangkang, melawan, berperilaku nakal).
Antara Nasehat dan Validasi Emosi
Anak membutuhkan lebih dari sekadar petunjuk hidup. Mereka butuh didengarkan. Divalidasi. Dipahami tanpa selalu dinasihati. Orang tua yang terlalu cepat memberi solusi cenderung melewatkan kesempatan membangun koneksi emosional yang sehat dengan anak.
Sebaliknya, anak yang merasa dipahami dan diterima cenderung lebih terbuka menerima masukan. Nasehat akan lebih bermakna jika disampaikan dalam relasi yang hangat, terbuka, dan tidak menggurui.
Dampak Psikologis dari Nasehat yang Terlalu Sering
Anak yang terus-menerus menerima nasehat tanpa empati bisa mengembangkan:
- Perasaan tidak cukup baik         Mereka merasa tidak pernah benar di mata orang tua.
- Stres dan kecemasan                Karena terus-menerus hidup dalam ekspektasi dan tekanan.
- Depresi tersembunyi               Terlihat "nakal", padahal sedang menjerit minta dipahami.
- Self-esteem rendah                    Anak merasa tidak punya kendali atas hidupnya sendiri.