Mohon tunggu...
Mira Rahmawati
Mira Rahmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Pemula

Belum tahu apa-apa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesat

5 Oktober 2020   12:46 Diperbarui: 5 Oktober 2020   12:56 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pixabay by Free-Photos

Seperti ingin merajut jaring tapi tak berani karena takut salah. Aku pun sudah berulang kali mau membahasnya, tapi selalu tak jadi sebab si Rustam tampak tak mau mendengarkan. 

Begini, aku sudah bilang beberapa kali, kalau hidup ini bukan semacam papan catur. Tapi, sungguh manusia yang sudah tertelan dunia lain akan susah buat hanya memasang  kupingnya untuk mendengar kenyataan.

"Kau tak perlu repot urus si Rustam" seseorang menasihatiku.

"Ya, tak ada guna," timpal yang lain.

"Apakah kalau dia sampai digebuk, dunia ini akan membaik? Omong kosong," seseorang itu balik lagi menyeletuk, kali ini ia sambil menyeruput kopi. Rustam memang selalu jadi topik hangat di warkop ini, apalagi ada aku sahabatnya, ada sensasi tersendiri jika aku yang mendengar umpatan itu. Mereka pun selalu punya peluang untuk mengorek sedikit aib si Rustam dariku.

Aku menanyakan dari mana rumor itu bermula, tapi mereka hanya jawab, "Semua orang kenal siapa Rustam, belum lagi ia dekat sekali denganmu. Tapi tak usahlah ambl pikir, manusia macam dia layak mampus."

Penjual kopi yang akrab denganku pun kemudian mengasongkan berita, siapa saja yang mulanya menghembuskan perihal si Rustam.

"Bisa celaka kalau begini, Mas."

Sungguh saja, si Rustam disebut-sebut namanya oleh orang-orang. Ia disebut sebagai kaki tangan pemimpin aliran sesat yang paling meresahkan warga akhir-akhir ini. Apalagi kota ini terlalu kecil untuk menyembunyikan rahasia. Si Rustam punya bibir ternyata hanya omong kosong saja.

Sekarang ia sukses karena karirnya ini.  Omonganku tak dipertimbangkannya. Lebih lagi, aku dihinanya habis-habisan.

"Bilang saja kalau kau tak suka aku jadi begini sukses. Aku memang dulu hina, tak punya kesempatan punya belajar. Tapi begini pula ternyata takdirku. Aku dilahirkan untuk punya pengaruh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun