Mohon tunggu...
Muhammad Ali
Muhammad Ali Mohon Tunggu... Lainnya - Berdaulat Atas Diri Sendiri

AKU MENULIS, MAKA AKU ADA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Mengapa Filsafat di Indonesia Tidak Berjalan Progresif?

23 April 2023   12:38 Diperbarui: 30 April 2023   20:00 1037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi disisi lain juga ada semacam kemalasan, kemalasan untuk “Ya udahlah, yang ada kan orang maunya juga buku-buku yang gampang” dan akhirnya si penulis membuat pengantar. 

Dan itupun yang laku kira-kira seperti itu. Buku-buku yang rumit tidak akan laku. Sebenernya terkesan memalukan melihat kondisi yang ada sekarang ini dalam konteks filsafat kalau kita bandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Kita tahu tadi contohnya seni rupa, bukunya yang ada di dalamnya isinya kritik karya, kritik pemikiran. 

Di sastra juga sama, di berbagai cabang ilmu yang lain juga sama. Jadi, sudah masuk ke perdebatan yang sifatnya sangat-sangat teknis, sangat-sangat detail tentang suatu hal dan sifatnya bisa mengelaborasi. Sehingga bisa memunculkan para pemikir tentang kebudayaan tentang seni rupa, tentang sastra yang kalibernya itu bahkan bisa masuk ke tataran nasional atau regional. 

Sementara di filsafat, perbedaan antara seseorang yang mendalami filsafat pada tingkat kuliah tidak terlalu jauh berbeda dengan pemahaman yang dicapai oleh orang-orang yang belajar sendiri secara otodidak. Mungkin yang kita butuhkan juga adalah suatu kesiapan untuk tidak dimengerti ya. 

Artinya, buku-buku filsafat yang sifatnya pengantar itu kan ditulis dengan ambisi untuk dimengerti. Tujuan utamanya adalah mudah diterima pembaca, mudah dimengerti, dipahami dan seterusnya. 

Kalau perlu dengan mengencerkan berbagai macam program filsafat menjadi hal yang sangat-sangat encer. Tetapi tantangan kita jangan-jangan adalah berani untuk memang tidak dimengerti. “Jadi, tidak apa-apa tidak  dimengerti. Namun, setelah ini silahkan kita diskusi lebih jauh maka kita akan sama-sama sampai pada pengertian”. Kurang lebih harusnya seperti itu.

Artinya, buku filsafat itu mestinya ditulis dengan kesadaran untuk memposisikan pembaca sebagai orang yang punya cara sendiri untuk mencapai pengetahuan dan bisa ikut dalam diskusi yang sifatnya setara dengan kita. Kita tidak harus memposisikan penulis filsafat sebagai seseorang yang lebih tahu daripada pembaca. 

Mengajari tentang hal apapun dengan cara yang sangat mudah, dengan jembatan keledai dan seterusnya. Dan dengan kata lain menganggap bahwa pembaca itu bodoh (hanya bisa mengerti pengantar). 

Harusnya kita beranjak dari asumsi seperti itu, meninggalkan asumsi itu dan masuk ke dalam satu asumsi baru bahwa kita ini sama-sama orang yang mau berdiskusi (silahkan kalau mau ada informasi yang mau dilengkapi sehingga kita bisa berdiskusi, silahkan cari) sehingga kita bisa masuk ke dalam wacana yang sifatnya lebih advance daripada sekedar mengulang apa yang dikatakan didalam buku-buku pengantar.

Ukuran bagi kemajuan di dalam filsafat tentunya adalah sejauh mana perdebatan kita berkembang. Dan perdebatan akan berkembang kalau kita selamanya berhenti dalam dunia tulis-menulis dan baca-membaca pengantar. 

Karena itu hanya menyiapkan dasar atau fondasi saja. Jika menyiapkan dasar terus tapi tidak membangun berarti tidak ada kemajuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun