Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pledoi Buat "Mesiah" yang Katanya “Terkutuk”

27 Juni 2016   15:13 Diperbarui: 28 Juni 2016   10:41 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat gagal menjadi kampiun, apalah artinya itu rekor individu? Mungkin seperti inilah pertanyaan yang berkecamuk di dada Lionel Messi. Pemain terbaik dunia sebanyak lima kali, pencetak gol sepanjang masa Barcelona, dan terbanyak di tim Tango, tak banyak berarti buatnya. Ia, sang Mesias, lebih sebagai seorang ‘yang terkutuk’ daripada ‘yang terberkati’. Kalah untuk kali ketiga di final saat mewakili negaranya, tanpa mencetak gol, bahkan gagal mengeksekusi penalti di Final Copa America 2016 Centenario.

Ya, Lionel Messi masih belum bisa menjadi “juru selamat” bagi Argentina yang sudah puasa gelar selama 23 tahun. Ia bersujud, kecewa, saat gagal mengeksekusi penalti. Ia berjalan lunglai, di antara gemuruh fans dan teriakan kemenangan para pemain Chile, yang mempecundanginya dua kali.

Tak ada yang merangkulnya. Tak ada yang menghiburnya. Tak ada yang memeluknya. Pemain Argentina lainnya, larut dalam kesedihan yang sama. Tertunduk lesu dengan mata berkaca-kaca. 

Tatapan Messi saat merelakan trofi juara lepas dari tangannya. Tak kalah dramatis saat ia juga gagal Messi merengkuh trofi Piala Dunia 2014.

Sumber gambar: Dailymail

Pesepakbola Jenius yang Berada di Masa yang "Salah"?

Messi adalah  pesepakbola jenius, dipuji lawan maupun kawan. Sebagai seorang pribadi ataupun seorang atlet, hampir susah mencari cela dalam dirinya. Rekor personalnya pun sulit dicari tandingannya: Baru Messi yang bisa menjadi pemain terbaik dunia sebanyak lima kali. Pencetak gol terbanyak di klubnya, Barcelona, juga di timnas Argentina. Prestasi lainnya, jika ditulis semua mungkin akan menghabiskan space tulisan ini.

Jelas tak ada yang menyangsikan kualitas itu. Tapi akibat kegagalan demi kegagalannya di final saat ia menjadi kapten, suara-suara miring mucul bak keran bocor. Ironisnya, hal itu datang dari mereka yang dibelanya, rakyat Argentina sendiri. 

Tak sedikit yang menyarankannya pensiun, menuduhnya lebih berhati Catalan daripada Tango. Yang lebih menyakitkan, legenda hidup Argentina, Diego Maradona pun mengatakan kalau ia tak memiliki jiwa kepemimpinan. Padahal ia, Maradona, mungkin satu-satunya orang yang bisa dipersalahkan pada World Cup 2010, saat Argentina dibantai Jerman 4-0 di perempat final. 

Untuk poin kedua, yaitu "lebih berhati Catalan daripada Tango" bisa jadi benar. Messi memang tak memiliki akar yang kuat di Argentina. Ia diangkut pada umur 13 tahun ke La Masia, dan lebih banyak menghabiskan waktu di Spanyol hingga kini. Ia mungkin kurang "Argentinos", tak seperti  Maradona yang memiliki koneksi luas hingga ke semua golongan rakyat Argentina, politikus, penguasaha, bahkan ke tingkat mafia-mafia dan kartel. Ia juga bukan Carlos Tevez atau Riquelme yang sangat dicintai Barra Brava--sebutan untuk para suporter garis keras di Argentina.

Namun pantaskah jika semua kegagalan Albiceleste  dibebankan ke pundaknya? Bisa iya, bisa juga tidak.

Iya, karena permainan Messi di final saat mewakili negaranya seakan selalu di bawah standar. Berbeda di semua final Liga Champion Eropa bersama Barcelona, ia selalu menjadi pemain kunci. Jika tidak mencetak gol, ia memberi assist. Jika tidak keduanya, Messi akan menjadi roh permainan dengan pergerakannya yang mengganggu pemain lawan sehingga mereka kehilangan konsentrasi. Dan memberikan pemain lain – rekannya di Barcelona – mencetak gol. Hasilnya excellent, semua final Liga Champion berhasil ia menangkan.

lionel-messi-champions-league-trophy-3312566-5770cb220523bdc504a7860c.jpg
lionel-messi-champions-league-trophy-3312566-5770cb220523bdc504a7860c.jpg
Messi tak pernah kalah di 3 final Liga Champion Eropa yang dilaluinya.

Sumber Gambar: Skysport

Tapi ketika tampil final saat mewakili  timnas Argentina? Seperti yang sudah kita saksikan. Messi seakan kehilangan daya magis. Tembakannya banyak yang meleset, gagal mengeksekusi tendangan bebas sebagai salah satu signature-nya,  kehilangan kontrol emosi, dan juga tak maksimal membaca permainan. Bisa jadi hal ini terjadi lantaran ekspektasi rakyat Argentina yang terlampau besar. Memosisikannya sebagai messiah atau juru selamat pasca periode Maradona yang miskin gelar, dituntut mengembalikan harga diri Argentina sebagai salah satu kekuatan sepakbola dunia. Sehingga dengan sendirinya harapan-harapan tersebut memengaruhi sisi psikologis la pulga, saat selangkah lagi hendak mewujudkannya. 

Lalu apa argumen di balik  jawaban “tidak” tentang apakah Messi pantas dikambinghitamkan atas segala kegagalan Argentina? 

Lagi-lagi jawaban ini tak jauh subjektifnya dengan jawaban "ia" di atas. Persepektifnya akan lebih tertuju ke filosofi sepak bola modern. 

Maafkan penulis jika, analisisnya hanya menggunakan ilmu "kira-kira". 

Sepak bola modern lebih mementingkan permainan kolektif. Jika ada 11 pemain berada di atas lapangan, dengan segala peran yang diwakilinya: kiper sebagai palang pintu terakhir penghalau terjadinya gol, bek berfungsi menghalau serangan lawan, midfielder mengorganisasi penyerangan, dan striker  sebagai ujung tombak mencetak gol. Maka semua posisi itu menyerupai sebuah organ yang harus saling terhubung satu sama lain. Tak boleh ada yang menonjol di antara yang satu dengan yang lain. Team, more essential than individual skill, itu kata pengamat sepakbola terkemuka kita Bung Kusnaeni. 

Karena itu, jika kemudian tipe-tipe pemain "dewa" semacam Diego Maradona, Michel Platini, Johan Cruyf, Pele, ataupun Ferenc Puskas sebagai satu-satunya individu yang mengerakkan tim, key player yang tak tergantikan, dan juru selamat karena keberadaannya bisa memberikan perbedaan pada hasil pertandingan, kemudian sulit ditemukan pada masa ini, itu tak mengherankan. Karena itu, jika kemudian Messi menjadi satu-satunya pribadi yang dipersalahkan sebagai biang kerok kegagalan Argentina, itu sangat terbuka untuk bahan perdebatan. 

Karena ia berada dalam situasi paradoksal. Di satu sisi ia mewarisi darah "dewa" tersebut, tapi di sisi lain pelatih-pelatih seperti Jose Mourinho, Fabio Capello, Louis van Gaal, Sir Alex Ferguson, Pep Guardiola, Frank Rijkaard, dan Marcelo Bielsa, bahkan Gerardo Martino untuk menyebut beberapa nama, mengurangi ketergantungan tim terhadap seorang pemain. Dengan kata lain, pemain oleh meraka diberikan porsi yang rata, sesuai dengan posisi dan tanggung jawabnya. Jika kemudian ada pemain yang lebih menonjol seperti Messi dan Ronaldo dalam sebuah tim, itu tak muncul hanya karena mereka diberikan peran lebih oleh pelatih dan rekan-rekannya. Melainkan lebih berasal dari support dan organisasi yang baik, mulai dari manajemen, pemandu bakat, hubungan internal antara pemain, manajemen ego, dan semua elemen di dalam tim serta taktik yang berjalan di lapangan. Dan satu lagi, jangan lupakan aspek bakat! 

Messi harus berjuang dalam jiwa zaman seperti itu. Karena seberapa hebat pun ia, jelas ia tak bisa bermain maksimal tanpa dukungan pemain lain. Di Barcelona, dukungan pemain sebut saja Xavi, Iniesta, Mascherano, atau pemain fenomenal di awal mula kariernya di Barcelona yaitu Ronaldinho sangat vital dalam perkembangan permainan Messi.  Merekalah plus pelatih macam Rijkaard dan Guardiola yang mampu menjadi katalisator berkembangnya bakat Messi secara optimal. 

rijkaard-and-messi-5770dda3bf22bda81b1ac7ec.jpg
rijkaard-and-messi-5770dda3bf22bda81b1ac7ec.jpg
Frank Rijkaard, pelatih pertama yang memberikan tempat kepada Messi di skuad Blaugrana.

Sumber gambar: eurosport

Sedangkan di timnas Argentina, berbeda posisinya. Messi bermain ketika sudah menjadi pemain dengan reputasi hebat. Digadang-gadang sebagai penerus Maradona, dan bisa dikatakan ia merupakan pemain yang "paling lengkap" di Argentina. Karena itu, Messi dituntut tidak hanya "dilayani" tapi juga harus "melayani" rekan-rekannya. Alur bola bergantung darinya, umpan terobosan, mencetak gol, hingga membuka peluang mencetak gol bagi para rekannya. Messi adalah kapten sekaligus harapan, juga roh permainan tim, predikat yang mungkin terlampau berat bahkan untuk seseorang yang nyaris sempurna seperti dirinya.  

Tak begitu mengherankan kalau kemudian ia gagal di Timnas Argentina. Tapi apapun penyebab kegagalan itu sebenarnya, Messi bukanlah 'messiah' dalam arti ilahiah. Ia manusia biasa yang punya kekurangan. Ia menangis saat gagal, ia bisa marah saat pesawat terlambat dan mendapat tekel, dan ia juga (mungkin) berencana pensiun karena merasa gagal dan putus asa, saat sudah merasa tak bisa lagi membawa Argentina juara.  

argentina-juara-copa-2013-5770da3c559773801bba4b2f.jpg
argentina-juara-copa-2013-5770da3c559773801bba4b2f.jpg
Kali terakhir Argentina juara Copa Amerika, tahun 1993. Batistuta memegang Piala.

Sumber gambar: Supersoccer 

Yang perlu dicatat karena merupakan fakta tak terbantahkan, Timnas Agentina tak jauh lebih baik sebelum periode Messi.  Kecuali pada Copa America 2004 saat mencapai final di bawah komando pelatih Marcelo Bielsa dan pemain seperti Javier Zanetti, Carlos Tevez, Kily Gonzales, dan sebagainya. Sebelum itu, Timnas Argentina bisa dikatakan terpuruk: World Cup (WC) 1994 USA hanya menembus 16 besar, WC 1998 Prancis, WC 2006 Jerman dan 2016 Afrika Selatan lagi-lagi tim Tango terhenti di perempat final. Bahkan pada WC 2002 Korea-Jepang mereka tak lolos dari fase grup. Di Copa Amerika setali 3 uang, setelah menjadi kampiun pada 1993, sebelum era Messi, Argentina paling banter mencapai perempat final.

Akhir kata, menjadi runner up bukanlah kutukan Messi! Hanya saja, Chile bermain lebih baik,  berada pada periode golden era dan dinaungi dewi fortuna. Terus bermain saja, dan terus berikan permainan cantik, jadilah oase di tengah sepak bola yang semakin kering dan komersil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun