Hari itu mentari baru saja dihempas angin. Riuh oleh badai yang entah. Hingga ia terjatuh. Di sudut langit langit paling jauh.Â
Pagi yang dingin adalah pagi yang menggigil. Beku yang dilontarkannya adalah gagu yang dadu. Kau katakan mentari akan menghangatkan. Tapi tidak untuk kali ini, kau keliru.Â
Aku beringsut pergi. Mencari kayu. Mencari ranting ranting patah. Atau pecahan tembikar yang terserak di antara kerikil. Kukumpulkan puingnya. Kujadikan perapian.Â
Dalam ruang penuh hingar bingar. Orang orang sibuk digigil beku yang menggigit. Ada amah abah uwak saudara dan anak anak yang diselimuti kabut pagi.
Tak lama, aku terbiar bermimpi. Memulai perjalanan menggapai matahari. Dengan sepasang sayap lengkap beserta bahan bakar doa dan ikhtiar. Jika suatu saat nanti kepak sayapku lemah. Maka aku masih bisa bertahan mencapainya. Jika pun tidak biar Tuhan yang memapahku kembali ke bumi.
Lalu aku berjingkrak. Setelah kudapati mentari masih sama binar cahayanya. Hatiku berlompatan. Kakiku riang tralala trilili... nanana nanana... nanana... nanana. Aku menari samba antah barantah.
Aku sampai kepadanya. Lantas kutitipkan pesan. Jangan jauh jauh darinya. Hangat sapamu. Cahaya cintamu. Adalah kehidupan.
Ciputat, 7 Juli 2018