Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Amarah dari Bukit

9 Oktober 2021   08:30 Diperbarui: 10 Oktober 2021   02:44 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Hanya pohon-pohon besar di dalam bukit itu yang selama ini menjaga kita dari serbuan air yang datang dari Bukit dikala hujan," lanjutnya dengan nada suara penuh berapi-api.
" Tapi ada daya kita sebagai warga kecil.  Apakah kita mampu melawan ambisi Pakbos yang sudah terpatri diubun-ubun ingin mengusai bukit itu?," tanya warga yang lain dengan nada suara pesimis.
" Kalau kita tak berani melawan kesewenang-wenangan Pakbos. Ya, kita nikmati saja," sahut warga itu dengan suara bersungut-sungut berbalut kesal.

Pertentangan terhadap keinginan Pakbos untuk mengusai habitat Bukit, melebar hingga kepada sang mertuanya. Sebagai penduduk lama yang mendiami Kampung sejak dilahirkan, Sang mertua Pakbos tahu kemanfaatan habitat bukit.
" Berpuluh-puluh tahun habitat Bukit tak pernah diganggu warga Kampung. Tak ada warga Kampung yang berniat mengambil isi yang ada di dalam rimba di Bukit itu. Tak ada seorang pun. Baik yang miskin maupun yang kaya raya. Baik yang punya kekuasaan maupun rakyat jelata. Karena semua warga Kampung ini tahu kemanfaatan habitat yang ada didalam bukit itu.  Kok tiba-tiba kamu ingin mengusai habitat yang ada dalam bukit itu. Saya tak habis berpikir dengan tata cara otakmu bekerja," ujar Sang Mertua dengan nada suara berbalut kekecewaan. 

Malam makin menjauh. Sejauh pikiran Pakbos yang ingin mengusai habitat bukit Kampung.  

Pakbos akhirnya mampu menguasai habitat Bukit itu secara legal. Surat kepemilikan atas Bukit itu dimilikinya. Kekuatan yang dimilikinya tak mampu dilawan warga Kampung. Kekuatan modal dan jaringan  yang dimilikinya mampu menaklukan birokrasi.  Warga hanya  pasrah, Tak mampu melawan. Dan hanya dalam tempo enam bulan, Bukit itu pun gundul. Tak berpenghuni. Tak ada lagi pohon-pohon besar. Tak ada lagi kerimbunan yang terlihat.  Tak ada lagi kawasan  hijau yang selama ini menjadi diorama bagi penduduk kampung saat menatap ke arah Bukit menjelang senja tiba sembari menemani anaknya bermain. Kini semuanya rata. Tak tersisa. Kini yang terlihat mata hanya sebuah hamparan bukit yang gundul tanpa pepohonan. Kering kerontang ditelan ambisi seorang manusia yang mengekploitasi alam untuk kemakmuran hidupnya pribadi.

Malam itu, hujan datang dengan sangat derasnya. Sebelum matahari terbenam, air dari langit mulai membasahi pemukiman Kampung. Frekwensi air yang datang makin lama makin besar dan sangat deras. Intensitas air yang datang makin tak terbendung. Dan dalam seketika, semuanya terjadi tanpa mampu dibendung oleh kekuatan manusia. Banjir melanda Kampung tanpa mampu terbendung.

Jeritan dari warga terus menghingarbingarkan malam.  Bersahutan dengan teriakan minta tolong yang terus bergemuruh dari mulut penduduk. Malam sangat pekat. Tak ada senyuman dari cahaya rembulan. Suara kucing hutan pun tak terdengar. Duka mengaliri Kampung. Airmata warga membasahi tanah. Bercampur bersama derasnya air yang datang secara tiba-tiba tanpa mampu tertahan.

Hantaman air terus datang berlanjut tanpa mampu terbendung. Rumah-rumah penduduk roboh. Bangunan yang ada di kampung luluhlantak. Tercerai berai.  Dalam rentang waktu seketika, semuanya tinggal puing-puing. Hanya puing-puing.  Tak ada yang tersisa. Termasuk rumah besar milik Pakbos. Roboh diterjang air yang datang tanpa kendali. Tak ada yang terselamatkan. Tak ada sama sekali. Semuanya hanya tinggal puing-puing. Yang terdengar hanya suara kesedihan.

Pakbos masih berdiam diri dalam barak pengungsian. Berdiam diri.  Tak ada suara. Tak ada rintihan. Tak ada desis. Seiring dengan terhentinya detak jantungnya. Dalam seketika gema religius Innalillahi Wainnalillahi Rojiun pun berkumandang secara koor dari para penghuni barak pengungsian. Malam makin melarut. Cahaya rembulan makin menjauh. lelaki itu telah menjauh dari habitat Bukit Kampungnya menghadap Allah SWT, Sang Maha Pencipta.

Toboali, sabtu, 9 Oktober 2021

salam sehat dari Toboali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun