Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki yang Memaki Tuhan

5 Oktober 2021   08:52 Diperbarui: 5 Oktober 2021   13:37 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen : Lelaki yang Memaki Tuhan

Lelaki itu menatap malam yang bening dengan mata geramnya. Hatinya menebar sejuta kekecewaan. Sekujur jiwanya dibalut kelaraan yang amat mendalam. Sejuta serapah dilontarkannya ke langit yang biru.

Malam makin kelam. Sekelam hati lelaki yang masih terduduk dengan sejuta kekesalan jiwa. Sementara mulutnya masih terus memaki dan memaki tanpa tujuan. Membingarkan alam semesta. 

Indahnya cahaya rembulan seolah menjadi saksi serapahannya. Alam raya pun hanya berdiam diri. Mematung. Tak mampu menjawab kegeraman jiwa yang mengaliri sekujur tubuh lelaki itu

" Tuhan, apa salahku sehingga engkau tega menyiksaku,? serapahnya dengan narasi penuh kegeraman.

"Tuhan, tolong jawab ," sambungnya dengan narasi garang berbalut kekecewaan.

Langit masih terlihat kelam dibawah siraman cahaya rembulan yang kelam tanpa mampu menjawab serapah lelaki itu. Desiran angin  sepoi tak mampu menghilangkan kegundahan jiwanya. Lolongan dari anjing hutan liar tak mengurangi sumpah serapahnya yang terus merobek malam.

Dulu lelaki itu adalah manusia yang religius. Panutan semua warga Kampung. Narasinya dipedomani. Nasehatnya didengar para warga. Bahkan di kampungnya dia dikenal sebagai pengkhotbah bahkan Imam masjid. 

Kehidupan pribadinya bersama sang istri amat harmonis, bahkan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat. Banyak pasangan suami istri yang iri dengan kehidupan pribadi mareka yang amat bahagia dan selalu menebar keromantisan hidup.

" Duh romantis amat mareka ya," ujar seorang warga saat melihat lelaki itu dan istrinya berboncengan dengan sepeda onthelnya mengelilingi Kampung pada suatu sore yang damai dengan diiringi arakan gerombolan burung camar di langit yang biru.

" Sungguh bahagia sekali melihat mareka. Pasangan yang  bahagia. Semoga kita semua bisa seperti mereka," sela warga yang lain.

" Amin," ujar warga dengan suara koor yang menggema di langit biru.

Perkenalaan lelaki itu dengan seorang wanita setengah baya dari Kota yang berlakon bak selebritis dalam sebuah kegiatan pengajian adalah awal kehancuran hidup dan kehidupannya. Kelaraan mulai melanda hidupnya. 

Hidupnya mulai diliputi kedukaan. Duka menjadi ornamen hidupnya sehari-hari. Dan bencana hidup pun mulai menghiasi perjalanan hidupnya sebagai manusia. 

Pertengkaran dengan sang istri menjadi ornamen hidupnya. Tiada hari tanpa bertengkar. Dentuman barang-barang pecah dari rumah mereka, menjadi trade mark baru dalam  keluarga lelaki itu sehari-hari.

" Dasar lelaki mata keranjang," serapah istrinya dengan muka beringas.

" Kamu itu istri yang tidak bisa melayani suami dengan baik sesuai dengan keyakinan kita," jawab suaminya dengan suara tak kalah garangnya.

" Kamu mau berpoligami? Langkahi dulu mayat saya. Saya tidak ikhlas dunia akhirat," celetuk istrinya dengan nada garang.

" Kamu setuju atau tidak setuju, saya tetap akan menikahi perempuan itu," jawab lelaki itu sembari meninggalkan istrinya yang masih menatap punggung suaminya.

Lelaki itu akhirnya menikahi wanita setengah baya dari Kota itu. Dan narasi pun mulai terlontar dengan tajam menghantam ulu jantungnya tanpa mengenal waktu.  Bak peluru yang terlontarkan ke medan perang. 

Setiap hari warga Kampung menarasikan perilaku poligaminya. Dan lelaki itu pun mulai terhuyung-huyung dalam menatap alam semesta. Pertengkaran mulai mewarnai hidup dan kehidupannya sehari-hari. Tak ada kebahagiaan yang menyelimuti pasangan pengantin baru itu. Yang terdengar dari rumah meraka, hanya pertengkaran dan pertengkaran.

" Kamu itu telah gagal sebagai suami. Dan saya sangat menyesal menikah denganmu," kata istri keduanya.

" Gara-gara kamu saya seperti ini. Dan gara-gara kamu pula saya tidak dipercaya orang-orang," jawab lelaki itu.

" Karena kamu memang tidak layak menjadi lelaki sejati. Kamu itu pantasnya menjadi banci. Saya menyesal menikah denganmu," sambung istri barunya dengan narasi teriakan.

Lelaki itu hanya terdiam. Mulutnya terkunci dengan rapat . Hanya matanya yang menatap tajam ke arah istri barunya.

" Dan saya akan meninggalkan kamu detik ini juga. Detik ini pula" lanjut istri barunya.

Lelaki itu tergagap-gagap. Tak mampu menahan langkah sang istri barunya yang telah meninggalkan rumah dengan langkah kaki yang tergesa-gesa. Lelaki itu pun mulai terkulai. Tersungkur di lantai rumahnya.

Lelaki itu mulai menjadikan malam yang bertaburkan bintang dan kunang-kunang sebagai denyut nadi hidup dan kehidupannya. Kehidupan malam menghias hidupnya sehari-hari. 

Tak ada lagi waktu mengabdi kepada Sang pencipta. Tak ada lagi waktu untuk berbagi kebahagian untuk sesama di masjid. Malam adalah waktu yang sangat istimewa baginya. 

Setiap malam lelaki itu mengumbar nafsu dari satu pelukan ke pelukan wanita lainnya tanpa malu, Dasyatnya kejantanannya dilontarkannya kesembarangan wanita pada malam yang bening. Kejantanannya diumbar tanpa malu. Jiwanya labil. Nuraninya terkikis oleh nafsu hewani yang menyerang sekujur raganya.

Lelaki itu terkapar ketika sebuah vonis datang dari dokter yang menyatakan dirinya mengidap penyakit HIV. Berita duka itu membuat lelaki itu terkulai. Lelaki itu tersungkur. Hidupnya seolah-olah mati. 

Tak ada lagi kebanggan hidupnya sebagai manusia dan lelaki. Tak ada lagi. Hanya sumpah serapah yang terus dia lontarkan kepada Sang Maha Pencipta. Menyalahkan Sang Maha Penyanyang tanpa introspeksi diri.

Lelaki itu masih terus memaki Tuhan dalam balutan narasi kekecewaan tanpa kenal waktu. Tiada hari tanpa narasi serapah dari mulutnya kepada Sang Maha Agung, pencipta alam semesta ini. 

Tak ada lagi narasi Maha hormat kepada Sang Maha Pencipta yang pernah disampaikannya diatas mimbar . Tak ada sama sekali. Sementara waktu terus berjalan seiring perputaran matahari dan rembulan. Lelaki itu hanya menunggu waktu. Ya, lelaki itu hanya menunggu waktu.

Toboali, 5 Oktober 2021

Salam sehat dari Kota Toboali

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun