" Amin," ujar warga dengan suara koor yang menggema di langit biru.
Perkenalaan lelaki itu dengan seorang wanita setengah baya dari Kota yang berlakon bak selebritis dalam sebuah kegiatan pengajian adalah awal kehancuran hidup dan kehidupannya. Kelaraan mulai melanda hidupnya.Â
Hidupnya mulai diliputi kedukaan. Duka menjadi ornamen hidupnya sehari-hari. Dan bencana hidup pun mulai menghiasi perjalanan hidupnya sebagai manusia.Â
Pertengkaran dengan sang istri menjadi ornamen hidupnya. Tiada hari tanpa bertengkar. Dentuman barang-barang pecah dari rumah mereka, menjadi trade mark baru dalam keluarga lelaki itu sehari-hari.
" Dasar lelaki mata keranjang," serapah istrinya dengan muka beringas.
" Kamu itu istri yang tidak bisa melayani suami dengan baik sesuai dengan keyakinan kita," jawab suaminya dengan suara tak kalah garangnya.
" Kamu mau berpoligami? Langkahi dulu mayat saya. Saya tidak ikhlas dunia akhirat," celetuk istrinya dengan nada garang.
" Kamu setuju atau tidak setuju, saya tetap akan menikahi perempuan itu," jawab lelaki itu sembari meninggalkan istrinya yang masih menatap punggung suaminya.
Lelaki itu akhirnya menikahi wanita setengah baya dari Kota itu. Dan narasi pun mulai terlontar dengan tajam menghantam ulu jantungnya tanpa mengenal waktu. Â Bak peluru yang terlontarkan ke medan perang.Â
Setiap hari warga Kampung menarasikan perilaku poligaminya. Dan lelaki itu pun mulai terhuyung-huyung dalam menatap alam semesta. Pertengkaran mulai mewarnai hidup dan kehidupannya sehari-hari. Tak ada kebahagiaan yang menyelimuti pasangan pengantin baru itu. Yang terdengar dari rumah meraka, hanya pertengkaran dan pertengkaran.
" Kamu itu telah gagal sebagai suami. Dan saya sangat menyesal menikah denganmu," kata istri keduanya.