Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Nurani yang Hilang

14 April 2021   14:57 Diperbarui: 14 April 2021   15:08 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: suarainqilabi

Cerpen : Nurani yang Hilang

Cahaya matahari belum sepenuh hati menerangi jagad raya. Orang-orang baru usai bersujud di Masjid. Lafaz zikir masih  bergema di masjid, mereligiuskan alam. Perempuan muda itu meninggalkan rumahnya. Air wudhu masih membasahi wajah cantiknya. kaki panjangnya membawa dia melangkah ke Pantai. Ya, di pantai menunggu para nelayan pulang dari melaut.

" Coba kau jualan di depan rumah saja. Tak usah menjajakan ikan dari rumah ke rumah," saran seorang Nelayan.

" Iya. Capek lho menjajakan ikan dari rumah ke rumah," sambung seorang nelayan lainnya.

"  Lihat saja Pak Juragan. Dulu kan hanya jualan ikan di depan rumahnya. Kini dia menikmati pekerjaannya. Lagi pula kasihan dengan kecantikanmu kalau harus berjualan keliling Kampung," Seloroh seorang nelayan.

Perempuan muda itu terdiam. Mulutnya membisu. Sementara pandangan matanya menatap ke arah laut yang mulai ramai  dengan perahu para nelayan yang mulai menepi. 

Sudah beberapa bulan ini, semenjak dia ditinggalkan suaminya, perempuan muda itu rela berjualan ikan keliling. Perempuan muda itu dengan sepeda yang merupakan harta satu-satunya, menjajakan ikan keliling kampung. Ditemani matahari yang garang diatas kepalanya, perempuan itu mengayuh pedal sepedanya berjualan ikan yang dibelinya dari para nelayan di Pantai. 

Setiap perempuan muda itu tiba di pinggir pantai, bisik-bisik mulut para nelayan selalu menggema. Segerombolan nelayan yang baru tiba di pantai itu, biasanya ngopi dulu di warung milik Mpok Gayem sebelum pulang ke rumah.

"Matasir itu manusia aneh. Aneh banget. Istri cantik dan rajin ditinggalkan. Bingung aku dengan cara berpikirnya," ujar seorang nelayan sembari memandang ke arah perempuan muda itu yang masih sibuk memasukan ikannya ke dalam box untuk ditaruh di kursi belakag sepedanya.

" Memangnya kamu mau beristri cantik tapi bermoral bejat," sambung seorang nelayan lainnya.

"Itu hanya pikiran kamu sebagai sahabat Matasir. Wajar," jawab seorang nelayan lainnya.

" Sekarang Matasir dimana," tanya seorang nelayan.

" Ke Kota," jawab seorang nelayan teman Matasir, suami perempuan muda itu.

Gelegar petir menyambar. Matasir meninggalkan rumah dengan langkah kaki yang tergesa-gesa. Hujan makin deras. Sederas langkah kaki Matasir meninggalkan rumahnya.  lelaki itu menembus hujan.

" Apa maksud Pak Juragan  memberimu uang setiap harinya?," tanya Matasir kepada istrinya.

" Dia memberi uang itu untuk sekedar jajan anak kita, Pak. Bukan untuk aku. Bukan untuk aku," jawab perempuan muda itu.

" Dia memberi uang itu ada tujuannya. Ada maksudnya. Dia itu lelaki. lekaki. Bukan perempuan. Ingat itu," ujar Matasir. Dia memandangi wajah perempuan muda itu dengan wajah garang.   

Matasir sungguh kecewa kepada perempuan muda itu. Sungguh kecewa dia dengan istrinya. Disaat dirinya roboh dan belum mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan keahliannya, dia mendengar suara bergemuruh dari para tetangganya menyebutnya sebagai suami yang tak bertanggungjawab.

" Sebagai suami Matasir itu adalah suami yang tak bertanggungjawab. Kerjaannya cuma duduk di rumah sepanjang hari," ujar seorang warga.

" Ya, dia lelaki yang beruntung. Hidupnya enak. Bagaikan raja. Makanan dihidangkan. Kopi disediakan," sambung warag yang lain.

" Istrinya pontang-panting mencari duit. Untung ada Pak Juragan yang membantu istrinya," kata seorang warga. 

Suara lantang para warga itu memasuki  gendang telinga Matasir dengan kencangnya. 

Kalimat itu selalu terdengar  dan didengarnya berulang-ulang dari mulut para tetangganya. Sebagai lelaki, harga dirinya tercoreng. Sebagai warga kampung, martabat dirinya terhina. Dadanya terbela. Darah kelakilakiannya mengumpal. Memuncratkan kegelisahan yang mendalam. Ada sebuah luka dalam dadanya. 

" Kamu masih waraskan," tanya seorang temannya.

"Lagian buat apa kamu menantang Pak Juragan, sementara istrimu telah menghinati kamu, suaminya. Apa kamu rela membela seorang perempuan yang telah menodai sebuah ikatan perkawinan kalian," lanjut temannya.

Matasir terdiam. Matanya tajam menatap  wajah temannya. Seolah membenarkan narasi yang disampaikan temannya. Buat apa membela seorang perempuan yang telah menodai kesucian sebuah ikatan perkawinan yang amat sakral. Meninggalkan perempuan itu sungguh terhormat ketimbang mempertahankannya. 

Cahaya temaram rembulan menghiasi jagad raya. Perempuan muda itu mengikuti jejak langkah teman suaminya. jalan itu tak asing baginya. Ya, tak asing sekali baginya. Itu arah jalan menuju rumah Pak Juragan.

" Kita kemana, Pak," tanya perempuan muda itu. " Sepertinya jalan ini tak asing bagi kita," sambungnya.

" Tak asinglah bagi kamu. Ini kan jalan menuju rumah Pak Juragan,' jawab teman suaminya.

Setelah ditinggal Matasir, suaminya, perempuan itu memang pernah datang ke rumah Pak Juragan. Bertemu istri Pak Juragan.  Dia rindu sekali bertemu dengan istri Pak Juragan yang baik hati itu. Setiap perempuan muda itu bertamu ke rumah Pak Juragan, istri Pak Juragan selalu membuka tangan dan hatinya untuk perempuan muda itu sehingga perempuan muda itu bisa bercerita sepuas hatinya. Itu yang membuatnya rindu.

Di teras rumah Pak Juragan, kulihat istri pak Juragan. Sementara di sampingnya perempuan muda itu  melihat ada seorang lelaki yang amat di kenalnya. Dia teman suaminya. Ya, teman Mutasir. Istri Pak Juragan menyambutku dengan senyum khasnya yang ramah dengan balutan sapaan pujian yang menyanjung.

" Tambah cantik kamu sekarang, Nak," puji Istri Pak Juragan.

" Ibu juragan bisa aja," jawab perempuan muda itu.

" Memang benar-benar cantik. Tidak salah sama sekali skenario kita, Bu," ujar teman suaminya. Perempuan muda itu bingung. 

Perempuan muda itu masuk ke dalam ruang tamu rumah Pak Juragan dengan diikuti langkah istri Pak Juragan dan teman suaminya. Dan saat dudk di kursi tamu, perempuan muda itu duduk berdampingan dengan teman suaminya. Sementara istri Pak Juragan langsung ngeloyor masuk kamar. Meninggalkannya dengan teman suaminya.

" Kamu pasti bingung dengan ini semua, bukan? Ya, ini adalah rencana aku dan ibuku," ujar teman suaminya.

" Maksudnya," jawab perempuan muda itu singkat denganpenuh teka teki.

" Aku dan Ibu ku didukung ayahku, Pak Juragan, sudah lama sekali merencanakan ini. Sebelum suamimu, Matasir tidak bekerja lagi di tempat pelelangan ikan itu. Dan kami yang membuat suamimu dipecat dari kantor pelelalngan ikan itu. Termasuk kami yang membuat isu-isu tentang kamu yang seolah-olah berselingkuh dengan dengan ayahku, Pak Juragan. kami membayar warga untuk menggema suara itu. Mereka kami bayar,"ujar lelaki teman suaminya.

Seketika, hati peremuan muda itu hancur mendengar narasi panjang lebar dari teman suaminya, yang ternyata anak Pak Juragan. Hatinya remuk dan tak menyangkan betapa kejamnya narasi yang disenandungkan  te,an suaminya itu menusuk jantungnya. Perempuan muda itu merasa tak berharga lagi. Perempuan muda merasa dirinya tak bermartabat sebagai manusia. Hatinya hancur berkeping-keping. Seketika tubuhnya roboh dilantai.

Toboali, rabu, 14 April 2021

Salam sehat dari Kota Toboali, Bangka Selatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun