Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pak Tua

6 April 2021   20:58 Diperbarui: 6 April 2021   21:07 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen : Pak Tua

Glek. Aku menelan ludah. Melihat seorang Bapak tua mengangkat barang ke mobil. Sesekali badannya terhuyung-huyung. Maklum yang diangkatnya beras dalam karung  dalam jumlah yang banyak. Tiba-tiba pikiranku membumbung tinggi. Teringat dengan Bapakku di Kampung yang sedang sakit. Ku tatap wajah tuanya. Bapak tua itu tampak fokus dengan pekerjaannya. Tak terpengaruh dengan hiruk pikuk suara pedagang di pasar yang berteriak menjajakan dagangannya. 

" Ini Pak Tua buat tambahan," ujarku menyebut Bapak tua itu dengan sebutan Pak Tua, sembari memberinya selembar uang lembaran merah bergambar proklamtor kepada Bapak tua itu. Bapak tua itu memandang ku. Kulihat ada segurat kebahagian di wajah tuanya.

" Terima kasih, Pak," jawabnya dengan memanggil ku dengan sebutan Pak.

" Pak Tua sudah makan?," tanyaku. Dia menggeleng.

" Kebetulan Pak Tua. Aku juga belum makan. Mari kita makan. Perut ku tak bisa diajak kompromi lagi," ajakku. Pak tua itu mengikuti langkahku dari belakang. 

Kami makan di warung yang tak jauh dari Pasar. Pak tua  hanya memesan  nasi setengah porsi dengan lauk telur dadar dan sayur.

" Kok cuma telur dadar dan sayur, Pak Tua," protesku saat kulihat isi piringnya.

" Lauk ini sudah sangat istimewa, Pak," sahutnya.

" Harusnya di usia tua ini, Pak Tua menghabiskan waktu bersama cucu. Anak Pak Tua kemana," usutku.

" Saya tidak punya anak, Pak,: jawabnya. Aku terdiam. Mukaku tiba-tiba merona. Aku salah tingkah. Aku merasa bersalah. Aku tak mau lagi melanjutkan pembicaraan. Aku memilih untuk menikmati makanan yang sudah ku pesan tadi.

"Saya tidak tersinggung dengan omongan Bapak. Sama sekali tak tersinggung. Ini adalah takdir saya dari Allah. Saya akan terus menjadi kuli panggul di pasar ini. Inilah garis tangan hidup saya. Ilmu sesat yang selama ini saya geluti, membuat saya tak boleh menikah seumur hidup sebagai syaratnya," ujarnya dengan wajah senyum. Jawaban Pak tua itu membuatku kaget. Sangat kaget.

Aku terkejut. Seorang Bapak tua membungkuk dihadapanku. Tangannya menyentuh pundakku. 

" Bapak ketiduran. Pulanglah. Hari sudah malam," ujarnya sambil menunjuk ke arah jam yang menempel di tembok masjid.

" Terima kasih, Pak sudah membangunkan aku,'jawabku.

Aku segera memulihkan kesadaranku. Pandangan ku edar ke segala ruangan di masjid ini. Aku menyandarkan kepala ke dinding masjid. Aku tertidur di masjid usai sholat Isya tadi. Lalu kemana Bapak tua tadi? Kembali mata ku edarkan ke segala penjuru masjid. Tak ada siapa-siapa. Sepi.

Aku baru saja merapatkan punggung ke lantai. Tiba-tiba suara ponselku berdering. Kulihat nama Bapak muncul dilayar handphoneku. Jantungku berdegub dengan kencangnya. Tiba-tiba rasa cemas mengaliri sekujur tubuhku. Handpohe segera kuangkat. Aku belum selesai mengucapkan assalamualaikum, suara tangisan terdengar di seberang sana.

" Koneng. Bapakmu sakit keras. Segeralah pulang," ujar suara Pamanku.

Aku mengigit bibirku dengan kuat. Aku berusaha menahan tangisan yang ku pendam. 

" Kemarin Bapak bilang sakitnya sudah lumayan, Paman," ujarku.

" Segeralah kamu pulang," kata Paman .

Sudah puluhan tahun, Bapak menderita sakit. Tepatnya semenjak aku tamat SMA. Orang kampung menyebut Bapak terkena guna-guna. Sejujurnya, aku tak percaya sama sekali dengan omongan orang Kampung. Ini zaman moderen. 

" Ini abad moderen, Paman. Mana ada orang masih melakukan praktik-praktik purba itu," ujarku kepada Pamanku.

" Buktinya penyakit Bapakmu tak sembuh-sembuh," jawab Pamanku. Aku hanya terdiam mendengar jawaban Paman.

Usai sholat subuh, aku bergegas menuju ke pasar. Aku ingin bertemu dengan Bapak tua yang berprofesi sebagai kuli panggul di Pasar. Usai memarkir motor, aku langsung menuju ke sebuah warung kopi di pojokan pasar. Ku lihat Bapak tua itu ada disana. Dia asyik menikmati kopi seorang diri. Tak ada yang menemaninya.

" Selamat pagi, Pak," sapaku sembari duduk dihadapannya.

" Ada barang yang mau diangkat lagi Pak," tanyanya. Aku menggeleng kepala.

" Aku mohon bantuan Pak Tua. Bapakku di Kampung sakit keras," kataku dengan nada suara setengah berbisik ditelinganya.

" Bapakmu terkena guna-guna kiriman dari mantan pacar ibumu. Kiriman guna-guna itu ada dalam kamar tidurnya. Segeralah pulang dan buang barang itu dari kamar Bapakmu. Insya Allah, sakit bapakmu segera berkurang," katanya.

Tiba-tiba aku teringat dengan foto bapak dan Ibu yang selalu tergantung di kamar tidur bapak. Dan itu foto mereka berdua sudah  terpasang semenjak mereka menikah.  Sebelum aku lahir.

Tiba-tiba airmata ku berlinang. Bibirku bergetar. Hatiku merasa  luka yang  sangat perih bak luka yang ditaburi garam. Aku pun bergegas menuju Kampungku. Menuju rumahku. Ingin bertemu dengan Bapak. Dan tentunya membuang foto Bapak dan Ibuku yang ada di kamarnya dengan segera. Ya, dengan segera ingin ku bakar.

Toboali, selasa malam, 6 April 2021

Salam sehat dari Kota Toboali, Bangka Selatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun