Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dua Perempuan

24 Maret 2021   15:30 Diperbarui: 24 Maret 2021   23:30 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kanalmu.com

Cerpen: Dua Perempuan

Akhir-akhir ini, aku merasakan sebuah perasaan yang terkucil. Tak ada lagi yang mau bertegur sapa denganku. Tak ada lagi yang mau mengajak ku berbincang di Warung Kopi. Aku sungguh merasa terasing dari pergaulan. Aku merasa terkucil dari pergaulan masyarakat. Aku merasa terkucil di Kampung ku.

Ibu ku belum menunjukan tanda-tanda mau meninggalkan sungai kecil di ujung Kampung. Sesekali terdengar suaranya berdendang. Sebuah lagu lama yang amat terkenal pada zamannya yang disenandungkan penyanyi top pada eranya. Aku merasa Ibu sudah cukup lama beredam di aliran sungai kecil itu. Sudah hampir 2 jam. Aku terpaksa memanggilnya.

" Ibu, ayo kita pulang. Hari sudah menjelang magrib. nanti keburu azan tiba," panggilku dengan nada suara lembut. Ibu kaget. Tatapan matanya sangat tajam menatap ke arah ku. Ibu ku langsung berteriak histeris. Suaranya bergema. Mengaum bak singa kelaparan.

" Pergi. Jangan ganggu aku. Pergi kamu," Ibu terus berteriak. Matanya memerah. Lalu memunguti batu-batu yang ada di dekatnya dan melempar ke arahku.

"Istigfar,Bu. Istigfar," ujar ku. Ibu semakin menjadi-jadi. Makian terus digemakannya kepada ku. Suara cacaian terus diberondongnya kepada ku Demikian pula dengan lemparan batu terus diarahkannya kepada ku. Aku tetatp berdiri. membujuk untuk pulang. Azan magrib telah terdengar religius.

Semenjak ayah meninggalkan kami, Ibu sangat kecewa. Jiwanya mengalami kedukaan. Perempuan cantik itu mengalami gangguan pada jiwanya. Ibu sering melamun sendirian. Kadang bicaranya ngacau. Ibu sangat mencintai Ayah.

: Ibu menikah dengan ayahmu karena Allah," cerita Ibu yang dibenarkan Ayah.

" Iya. Ayah dan Ibumu menikah karena Allah," jawab Ayah pula.

Hingga usia ku sudah mencapai angka 30, aku belum juga menikah. Pernah aku mengenalkan perempuan kepada Ibu. Yang kudapatkan bukan restu Ibu, tapi malah wanita itu mendapat cacaian dan makian dari Ibu. Ibu mengamuk dengan sangat hebatnya sehingga membuat seluruh warga kampung heboh. Mereka, para warga Kampung keluar rumah dan menyaksikan Ibu yang mengamuk. Calon istri ku pun takut setengah mati. Dan langsung pulang dan meninggalkan ku hingga kini tanpa ada kabar beritanya.

Sebagai anak, aku berusaha untuk sabar dan sabar menghadapi ulah Ibu. Nasehat para tetua Kampung membuat ku makin bertekad untuk mengurus Ibu hingga ajal menjemputnya. Ibu adalah belahan jiwa ku.

" Urus Ibumu dengan baik,Nak. Ibumu adalah orang yang telah melahirkanmu ke dunia ini, sehingga engkau bisa menikmati segala keindahan dunia ini," nasehat para tetua Kampung.

" Kamu harus banyak istigfar. Banyak bersabar. Dan tentunya, jangan lupa untuk berdoa kepada Sang Maha Pencipta memohon diberikan ampunan dan kemudahan," tutur tetua Kampung lainnya. 

Hati ku lega. Bahkan teramat lega mendengar nasehat mereka, para tetua Kampung. Soal ada warga yang mengucilku dari pergaulan itu soal lain. Soal masih ada warga yang enggan menyapa dalam pergaulan sehari-hari, itu perkara lain. Aku tetap menjaga Ibu. Dan tidak boleh seorang pun yang boleh menghina Ibu ku. Tidak boleh ada seorang pun yang boleh bicara buruk tentangnya.

Usai sholat Isya berjemaah di Masjid, aku melangkah menuju rumah. Cahaya rembulan mengiringi langkah ku. Jantung ku tiba-tiba berdetak dengan sangat cepat saat melihat ke arah rumah ku. Tepatnya di teras rumah ku. Tampak  Ibu bersama seorang perempuan. Siapakah perempuan itu? Kenapa Ibu tak mengamuk? Sudah menjadi kebiasaan Ibu,  kalau kedatangan orang asing ke rumah, selalu dan dipastikan mengamuk. Tapi yang kulihat dengan mata kepala ku, Ibu malah tertawa terbahak-bahak. Ada kegirangan di nada suaranya. Ada kebahagian yang bergema di narasi suaranya. Mereka bercanda. Seolah sudah saling mengenal.

Aku mempercepat langkah kaki ku. Terasa sangat ringan langkah kaki ku menuju rumah. Dan jantung ku kembali berdegup dengan kencang, saat aku tahu siapa wanita itu. Dia adalah teman kuliah ku dulu.

"Aku akan menyayangi Ibu mu sebagaimana aku menyayangi Ibu ku yang telah tiada. Dan aku juga menyayangimu. Mencintaimu," ujarnya. Aku terdiam. Sejuta senyuman ku umbar kepada dua wanita itu. Dan aku pun bergegas meninggalkan mereka berdua, dua perempuan yang sangat ku sayangi. Degan langkah kaki yang sangat tergopoh-gopoh, aku menuju rumah Pak penghulu Kampung. Aku ingin segera mengabarkan kepadanya bahwa aku ingin segera menikah dengan seorang wanita yang bukan hanya mencintai diri ku semata, tapi wanita itu menyayangi Ibu ku dengan tulus dan ikhlas. 

Toboali, rabu, 24 Maret 2021

Salam dari Kota Toboali, Bangka Selatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun