Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanda Mata Air Mata

9 Februari 2019   15:59 Diperbarui: 9 Februari 2019   16:19 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keluarga  besar Matliluk tersentak saat menerima undangan dari sebuah Yayasan Nasional yang mengabarkan bahwa orang tua mereka akan menerima gelar bergengsi. Kekagetan keluarga besar Matliluk sungguh beralasan, mengingat selama ini almarhum orang tua mereka tidak memiliki catatan prestasi luar biasa yang bisa dibanggakan.

D imata keluarga besarnya, mereka berasumsi tak ada torehan prestisius yang berdampak luas bagi kemaslatan umat dan warga yang ditorehkan Matliluk. Memang orang tua mereka pernah menjabat sebagai Pak Kades selama 10 tahun.

"Apakah undangan ini tak salah alamat, Pak?" tanya anak ketiga Matliluk kepada petugas dari Yayasan yang mengantarkan undangan ke rumah mereka siang itu.
"Oh, Tidak . Kita dari panitia, selama tiga bulan telah menyeleksi siapa-siapa tokoh di daerah ini yang layak menerima penghargaan.

Ini sebuah penghargaan bergengsi yang kita berikan kepada mereka yang berjasa dalam pembangunan daerah dan warga masyarakat," jelas petugas dari yayasan itu.
"Lantas apa yang membuat orang tua kami bisa mendapatkan gelar ini Pak?" usut keluarga Matliluk yang lain.

"Banyak sekali parameter yang kita pakai dalam menentukan siapa tokoh yang layak dapat penghargaan ini. Dan saya hanya diperintahkan pimpinan untuk mengantarkan surat undangan ini. Itu saja," jawab petugas pengantar surat dari yayasan itu sambil pamit.

####


Berita tentang Matliluk akan mendapatkan penghargaan dari Yayasan Nasional menggemparkan Jagad desa. Narasinya menembus cakrawala yang biru.  Warga Desa tempat Matliluk yang pernah mereka amanahkan sebagai pimpinan Desa kaget.

Sontak berita ini menjadi sesuatu yang istimewa di dalam perbincangan sehari-hari para warga. Semua warga menarasikan tentang penghargaan bagi Matliluk. Semua kalangan memperbincangkan soal layak atau tidaknya Matliluk menerima penghargaan gelar itu

 Apalagi beberapa koran telah mengekpos nama Matliluk sebagai salah satu tokoh yang layak mendapat gelar penghargaan bergengsi itu.

"Saya heran, apa kriteria dari yayasan itu sehingga mantan kades kita itu dapat gelar yang demikian bergengsinya? Apa ukuran yang mereka pakai?" tanya Cagal saat mareka berkumpul di warung kopi deket pojokan desa.

"Iya. Saya juga kaget saat membaca berita itu di koran kota seminggu yang lalu. Sebagai warga desa saya justru malu. Bukan bangga kalau sampai Matliluk mendapat penghargaan gelar bergengsi itu," sahut warga yang lain.

"Kita jangan berprasangka buruk dulu atas penilaian dari yayasan itu. Mereka tentunya punya parameter dalam memberikan penghargaan kepada seseorang. Siapa tahu dibalik banyak kegagalan Matliluk versi kita saat memimpin, terselip prestasi besar yang pernah disumbangkannya untuk kepentingan warga," ungkap warga lain.

Semua warga terdiam mendengar paparan pendek itu. Mereka mulai menelisik rekam jejak Matliluk saat menjadi pemimpin. Mereka seolah kembali memutar rekaman sepak terjang Matliluk saat memimpin Desa mereka.

###

Selama 10 tahun memimpin desa, Matliluk memang dikenal warga Desa sebagai seorang pemimpin otoriter dalam memimpin dan menata organisasi desa. Banyak kalangan era itu yang tidak sepakat dengan kebijakan Matliluk harus menerima buahnya. Mereka bukan hanya dikucilkan, namun usaha mereka di Desa  banyak yang tak berjalan mulus.
"Kalau kamu tidak setuju dengan kebijakan saya sebagai Kades, silahkan kamu angkat kaki dari Desa ini. Cari tempat usaha di Desa lain yang bisa menguntungkan pribadimu," ungkap Matliluk kepada seorang pengusaha desa.

"Tapi Pak Kades, kami kan membuka usaha ini untuk mencari untung," jawab pengusaha desa itu.
"Silahkan kamu mencari untung tapi kamu jangan memeras keringat masyarakat. Apa kamu enggak berpikir bahwa harga gabah yang perusahaan kamu beli dengan harga murah itu menyusahkan rakyat saya? Bisa menyengsarakan rakyat Desa ini? Bisa membuat warga tak mau lagi menanam padi? Padahal desa kita ini ditetapkan sebagai lumbung padi nasional," papar Matliluk.

Selama 10 tahun memimpin, Matliluk amat benci dengan aksi warga yang mengkritisinya. Apalagi kritik yang disampaikan para warga tidak memberikan solusi atas sebuah permasalahan. Bagi Matliluk kesejahteraan warga diatas segalanya.

"Saya, anda amanahkan sebagai pemimpin kalian. Dan kewajiban saya harus menjawab amanah Bapak dan Ibu sekalian dengan prestasi, yakni mensejahterakan kalian semua. Kalau saya sebagai pemimpin kalian tidak bisa menyejahterakan kalian yang telah mengamanahkan beban ini, buat apa saya bisa menjadi pemimpin yang berguna bagi kalian semua?," ujar Matliluk dengan nada suara setengah bertanya saat mengadakan pertemuan dengan warga masyarakat di pematang sawah.
"Jadi kami sebagai warga tidak boleh mengkritik kebijakan Pak Kades, ya?" celetuk seorang warga.

"Boleh. Bahkan sangat boleh. Itu hak demokrasi kalian sebagai warga Desa. Asalkan kritik yang disampaikan itu memberi solusi dan bukan malah memperkeruh suasana kehidupan Desa kita ini," jawab Matliluk.
"Lantas kenapa kawan kami yang mendemo Pak Kades harus Bapak laporkan kepada aparat keamanan?" tanya warga lainnya.
"Karena mereka demo tidak pakai aturan. Dan isi orasi mereka cuma menghujat dan mengecam. Tidak ada solusi kongrit untuk kesejahteraan warga. Apa demo harus menghujat? Apa kalau warga demo harus mencaci maki?" kata Matliluk setengah bertanya.

Semua warga terdiam mendengar paparan Matliluk. Dalam hati mereka membenarkan juga jawaban Matliluk. Buat apa demo kalau hanya menghujat.
Harus diakui para warga, selama 10 tahun memimpin desa, kesejahteraan dan peningkatan pembangunan desa terlihat. Desa yang dulunya tak memiliki Poskesdes kini telah hadir sebuah bangunan pusat kesehatan desa yang representatif. Bukan hanya ada paramedis, namun ada pula tenaga dokternya di pusat kesehatan desa itu untuk melayani warga berobat. Demikian pula dengan institusi pendidikan. Hampir setiap dusun memiliki sekolah.
Dan yang amat membanggakan para warga, selama menjadi pemimpin Desa, kesejahteraan dan taraf hidup warga naik drastis. Panen warga yang tadinya setahun hanya dua kali, di era kepemimpinan Matliluk menjadi 3 kali setahun. Harga gabah dari petani juga dibeli dengan harga yang pantas. Tidak merugikan petani. Petani juga diberi bantuan alat-alat pertanian yang semi moderen untuk membantu peningkatan kualitas pertanian warga. Ada juga pasar tani tempat kegiatan jual beli para petani.

Pendek kata di era kepemimpinan Matliluk sebagai Kades, warga desa sejahtera. Pendapatan perkapita warga naik. Kendaraan roda dua dan empat mulai menghiasi lalu lalang di jalanan desa yang makin mulus. Beberapa kali Pemerintah Desa mendapat penghargaan dari pemerintah pusat.
"Kalau kita mau jujur dengan nurani, memang di era kepemimpinan Matliluk desa ini tenang dan damai. Tak ada kekerasan. Masyarakat sejahtera. Saya juga merasakan saat masih sekolah," ujar Roy tokoh pemuda desa.

"Iya sih. Cuma di era kepemimpinan beliau kalau kita mengkritisi kebijakan beliau sebagai Kades, langsung dilaporkan kepada aparat keamanan. Buktinya ayah saya pernah mendekam di sel gara-gara mengkritisi kebijakan beliau," sahut Akang.

"Karena ayahmu mengkritisi kebijakan beliau yang mau membangun sebuah sekolah di dekat Kantor Desa, jauh dari pemukiman. Ternyata tujuannnya untuk perluasan Desa," jawab warga yang lain.
"Dan kini kita sebagai warga baru merasakan produk kerja beliau sebagai pemimpin. Memang, kadangala kita baru merasakan hasil perjuangan seorang pemimpin itu ketika pemimpin itu tidak bersama kita lagi. Dan kita bisa membandingkannya dengan era kepemimpinan sekrang," sambung Roy. Dan semua warga terdiam mendengar paparan pendek itu.

###
Warga Desa sontak terkejut. Kaget ketika mendengar kabar bahwa pemberian gelar untuk Matliluk dari Yayasan Nasional ditunda. Mereka para warga lantas berbalik amat menyayangkan gagalnya Matliluk mendapat gelar bergengsi itu. Mereka berubah asumsi bahwa Matliluk memang pantas mendapat gelar dan penghargaan itu, mengingat hingga kini kontribusi yang diberikan Matliluk saat menjabat sebagai Pak Kades masih mereka nikmati.
Usaha dari para warga untuk memprotes kebijakan Yayasan Nasional yang menunda gelar penghargaan untuk Matliluk tidak digubris panitia. Narasi tokoh agama dan masyarakat yang disuarakan lewat media massa pun tak didengar panitia.

"Penghargaan untuk Matliluk, kami tunda hingga waktu yang tepat," ujar Ketua panitia dari Yayasan Nasional kepada perwakilan warga desa yang datang ke Kantor yayasan Nasional. Dan mereka, para warga Desa pun pulang dengan gigit jari. Usaha warga Desa untuk memberikan tempat terhormat kepada putra Desa menjadi gagal dan gagal. Akhirnya, wacana tanda mata dari yayasan itu menjadi air mata bagi warga desa.

Angin semilir berhembus hingga ke pematang. Desisnya menyapa rongga dada para petani yang bekerja keras menanam padi di sawah mereka. Sepoinya angin menerjang ujung lidah batang padi. Meliuk-liuk bak para penari. Eksotis sekali. Diorama alam yang indah. Senja mulai memerah sebagai tanda malam akan tiba. Para warga kembali keperaduannya. Kembali bermimpi dan bermimpi. Tentang hari esok mereka. Ya, tentang hari esok. (Rusmin)

Toboali, 9 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun