Kenangan tersungkur di hadapan waktu. Dibiarkan tergeletak di sana. Kelak pasti akan ada yang membangunkan. Entah itu kilas balik masa silam, yang diputar sengaja oleh lamunan, atau dilahirkan oleh keinginan, yang dijadikan rahim kesepian.
Duduk di beranda. Dengan sorot mata sejauh horison cakrawala. Sambil berhadapan dengan musim bunga kopi. Alangkah mudahnya mereka-reka cara patah hati. Atau mentertawakan kepedihan. Sampai sudut tatapan, dihanyutkan oleh pinggang bukit yang menari. Padahal ia sedang termangu, di bibir pantai yang sunyi.
Manis dan pahit berkelebatan datang. Seperti nira dan maja yang berlomba tumbuh di dalam rongga dada. Memompa bilik jantung. Ke dalam detak ritmis dan murung.
Pagi yang lebih buta dari malam tanpa purnama, terus menurunkan kabut setipis anak-anak gerimis. Tak mau menyudahi apa yang sedang bertamu. Di sudut mata dan ujung lidah yang kelu.
Tatapan lalu berlarian dari barisan almanak ke ujung pendulum. Bibir bergetar melafal kalimat-kalimat yang lebih rindu dibanding jajaran rasi terhadap langit biru. Disertai senandung lirih mengayun udara yang ikut berdiam diri. Dalam senarai mimpi.
Kenangan demi kenangan, berparade memamerkan lusinan peristiwa. Menghiasi pagi buta. Di saat embun bahkan belum berani membuka mata, dan sirip-sirip daun cemara belum sepenuhnya terjaga. Tenggelam dalam kisah cinta, yang belum ada judulnya.
Bogor, 14 Agustus 2020