Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menghitung Bintang di Langit yang Kelu

5 Februari 2020   23:58 Diperbarui: 6 Februari 2020   00:01 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seharusnya aku meneruskan tulisan tentang malam yang seolah terus saja bercanda dengan kematian cahaya. Namun aku tengah berdiri di bawah siraman lampu sekian puluh watt sembari menggigiti kuku. Aku memejamkan mata. Tulisanku mesti mati sebelum waktunya.

Di malam yang sekian lama kehilangan kunang-kunang, semestinya aku menghitung seberapa banyak bintang yang terjaga di langit terang. Menurutku, itu adalah pengganti sepadan. Bagi percikan cahaya tak seberapa namun bisa melupakan kegelapan walau hanya sekejap saja.

Tapi aku tak mampu. Menghitung bintang di langit yang kelu adalah sebuah pekerjaan yang mirip rindu. Tak akan pernah selesai walau almanak telah usai. Tak bisa tamat meski semua buku-buku telah kehabisan kalimat.

Pada kesunyian yang terus dihampiri redup cahaya setengah potong rembulan yang sia-sia karena terus saja disamarkan airmata dari langit yang tak putus-putus, aku merakit duri-duri kaktus. Untuk persembahan bagi cemara yang merindukan gurun yang tak pernah dimilikinya. Untuk pokok kamboja yang tak pernah merasakan seperti apa rasa gersang yang sebenarnya.

Ini semua adalah filosofi bagaimana memperlakukan segelas kopi ketika rasa dingin semakin menggerogoti hati.

Bogor, 5 Februari 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun