Bagiku, jendela yang terbuka adalah sebenar-benarnya mata.
di sana, aku bisa menyaksikan hilir mudik kota yang kelaparan, mencari makan, lalu melahap segala rupa keinginan.
meski kemudian memuntahkannya di halaman belakang. Hanyut di selokan. Menjadi sebuah episode buruk yang menyesakkan.
Bagimu, pintu yang tertutup adalah sebuah segmen drama yang kalut
kau enggan pergi keluar karena takut disembunyikan kabut. Namun berikrar untuk ingkar, berbuat makar, lantas berharap menjadi samar.
kekalutan yang pada akhirnya membuatmu tak bergeser seincipun dari kamar yang sesungguhnya sekian lama hanya membuatmu menjadi memoar.
Menurutku, dunia menyempit seperti memasuki sebuah lift. Kita dibatasi oleh kosakata yang baik-baik saja, sementara ujung lidah ingin memaki sekencang lolongan serigala. Padahal serigala itulah yang menjadikan kita alfa. Bukan pengekor yang melipat ekornya karena selalu cemas akan dikira berbahaya.
Menurutmu, dunia seluas pikiran yang digerakkan oleh linimasa. Kemana-mana. Tanpa batas. Hanya disekat oleh norma yang tidak tuntas.
Kita setajam pedang saat menjadi pialang isu-isu jalang. Lalu bercita-cita menjualnya dengan harga tinggi setiap kali lahir waktu senggang.
Entah kita ini malang, atau memang sengaja telanjang di tengah guyuran terik yang menggantang.
Jakarta, 13 Desember 2019
Â