Almanak hari ini ditutup dengan kegembiraan seorang bocah gembala yang berhasil meniup serulingnya hingga selesai. Di sebuah padang rumput kecil di bawah perbukitan yang rimbun oleh pepohonan yang ditata secara kusut masai.
Baginya dunia memang dihitung pada saat hari telah usai. Seberapa banyak senyum yang dihidangkan, dan seberapa sedikit muka masam yang disajikan. Esok, masih berupa harapan. Jadi sama sekali belum saatnya diperdebatkan.
Baginya dunia adalah seberapa luas padang rumput, dan seberapa sempit ruangan untuk tempat pikiran-pikiran kalut. Kabut, adalah perkara terbaik yang terjadi. Sedangkan mimpi, sebagiannya adalah ilusi sehingga tak usah diperpanjang untuk dijadikan narasi.
Apabila ada kata yang lebih sederhana dari sederhana untuk menggambarkan seberapa sederhananya asa seorang anak gembala, maka semestinya kata itu harus segera dimasukkan dalam kosakata sebelum lahir lagi sebuah kata lainnya yang melukiskan betapa sederhana kenyataan itu baginya.
Manakala senja adalah waktu yang paling tepat untuk melihat seperti apa raut muka hari ini, maka lihatlah tatapan mata anak gembala ketika berjalan menggiring sapi-sapinya menjemput pulang. Jika dari sepasang mata polos itu terpancar langit yang belum dilukis, bisa dipastikan raut muka hari ini adalah tanpa tangis.
Namun jika dari kilatan bola matanya terlihat sekumpulan awan sebagai penanda akan turun hujan, maka barangkali hari ini sedang beraut muka seorang kekasih yang tidak hanya baru saja patah hati, tapi juga mulai kehabisan persediaan mimpi.
Jakarta, 11 Desember 2019