Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Kolase Musim di Hati yang Dingin

10 Desember 2019   14:36 Diperbarui: 10 Desember 2019   14:37 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.pexels.com

setangkai langit merunduk
dengan wajah dingin
di hadapan lalu lalang musim
yang berlaluan di antara banyak kejadian
kebakaran, banjir, dan kambing hitam takdir

orang-orang berlarian
menghindar dari satu musim ke musim lainnya
dengan mengutuknya
berkata bahwa tak ada lagi musim cinta
karena nyaris semua menghanguskan rumah,
menenggelamkan sawah
mengapungkan amarah

mereka lupa
musim hanyalah punggawa
dari sebuah kekaisaran besar manusia
dengan keinginan yang melebihi tinggi kepundan,
kehendak melebih dahsyatnya gunung api yang meledak,
kemauan berlebihan yang lebih belantara dibanding rahasia hutan

mereka tak lagi ingat
bagaimana menjadikan bumi sebagai harem
lautan sebagai gundik
dan langit hanya dianggap sebagai pelacur cilik
mencumbuinya dengan tergesa-gesa
tanpa sedikitpun rasa cinta

dan ketika harem, gundik, dan pelacur itu murka
bersama-sama berlaku cedera
dengan mengguncang dunia
barulah mereka tahu menuai apa
setelah sekian lama menanam benih petaka
di rahim-rahim yang semestinya dijaga
lalu melahirkan anak-anak badai
anak-anak prahara
anak-anak api
anak-anak air bah
dengan ribuan kali kisah musibah

tertulis di buku-buku sejarah
yang tak pernah bisa diajarkan di sekolah
karena selalu datang berulang-ulang
seperti masa silam yang selalu datang
tanpa diundang
namun tak punya keinginan pulang

Jakarta, 10 Desember 2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun