setangkai langit merunduk
dengan wajah dingin
di hadapan lalu lalang musim
yang berlaluan di antara banyak kejadian
kebakaran, banjir, dan kambing hitam takdir
orang-orang berlarian
menghindar dari satu musim ke musim lainnya
dengan mengutuknya
berkata bahwa tak ada lagi musim cinta
karena nyaris semua menghanguskan rumah,
menenggelamkan sawah
mengapungkan amarah
mereka lupa
musim hanyalah punggawa
dari sebuah kekaisaran besar manusia
dengan keinginan yang melebihi tinggi kepundan,
kehendak melebih dahsyatnya gunung api yang meledak,
kemauan berlebihan yang lebih belantara dibanding rahasia hutan
mereka tak lagi ingat
bagaimana menjadikan bumi sebagai harem
lautan sebagai gundik
dan langit hanya dianggap sebagai pelacur cilik
mencumbuinya dengan tergesa-gesa
tanpa sedikitpun rasa cinta
dan ketika harem, gundik, dan pelacur itu murka
bersama-sama berlaku cedera
dengan mengguncang dunia
barulah mereka tahu menuai apa
setelah sekian lama menanam benih petaka
di rahim-rahim yang semestinya dijaga
lalu melahirkan anak-anak badai
anak-anak prahara
anak-anak api
anak-anak air bah
dengan ribuan kali kisah musibah
tertulis di buku-buku sejarah
yang tak pernah bisa diajarkan di sekolah
karena selalu datang berulang-ulang
seperti masa silam yang selalu datang
tanpa diundang
namun tak punya keinginan pulang
Jakarta, 10 Desember 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI