Semenjak hujan pertama tiba, beberapa hari yang lalu, aku menemukan tempat persembunyian waktu. Ia ada di butiran gerimis, tumpahan genangan, juga hati yang diiris-iris kenangan.
Gerimis itu menyediakan panggung besar bagi pertunjukan akbar. Melodi dan memori yang terbakar. Di antara masa silam yang temaram dan masa depan yang tak kelihatan. Saling berkejaran. Ibarat angin dengan badai. Selalu berperkara untuk sesuatu yang tak pernah usai.
Genangan itu mengalir di sela batu dan tumbuhan perdu. Membawa serta kisah dan cerita. Dari hikayat cinta yang gagal, hingga keinginan untuk menjadi penjagal. Agar bisa mengebiri ingatan, untuk kemudian bersikap lupa, sehingga bisa menikmati amnesia secara leluasa.
Kenangan biasanya membawa serta tuba. Bahkan nektar yang ditawarkan pun berbisa. Menyusup masuk trakea, berdesakan di aorta, lalu berbuat rusuh di ruang-ruang kepala.
Kini, hujan sudah jatuh berkali-kali. Jadi, waktu tak lagi bisa bersembunyi. Sehingga, akupun bisa menyaksikan datangnya sandyakala, tanpa perlu lagi memperbaiki ruang beranda.
Secara sederhana saja.
Seperti apa adanya perputaran dunia.
Jakarta, 7 Nopember 2019